-- Sunlie Thomas Alexander
SUATU pagi di tahun 1970, sastrawan Jepang Yukio Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer menyerbu markas Kementerian Pertahanan di Tokyo. Usai berpidato tentang Jepang yang kehilangan keagungan klasik, di hadapan perwira tinggi yang disanderanya, penulis novel Senandung Ombak dan Kuil Kencana itu pun menjalankan seppuku. Seorang pengikutnya yang disebut khaisakunin kemudian memenggal kepalanya.
Syahdan, kematiannya itu adalah sebuah rasa masygul terhadap westernisasi dan kelemahan Jepang yang menurutnya telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.
Untuk kita, bunuh diri Mishima mungkin sebentuk nasionalisme sempit yang menakutkan, tapi sebagai seorang pejuang (warrior) dalam perspektif Jepang lama, apa yang ia lakukan tentunya sesuatu yang menggetarkan bagi sebagian orang. Mishima adalah pendukung politik sayap kanan, pujaannya pada semangat berani mati para samurai masa silam telah mendorongnya membentuk organisasi Tatenokai yang berupaya mengembalikan keagungan kaisar dan kejayaan para samurai.
Kebangkitan Asia-Afrika
Nasionalisme memang tak sesederhana selembar bendera dikibarkan dan lagu kebangsaan dikumandangkan. Dalam perspektif Barat, ia dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Yang mana dalam hal ini, ia memiliki kapasitas memobilisasi massa lewat janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.
Sebagai penemuan sosial paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah selama seratus tahun terakhir, boleh dikatakan tak satu pun ruang sosial di muka bumi terlepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, di sini jalan sejarah tentu saja lain sama sekali.
Namun sebagai negara dengan bangsa yang homogen, nasionalisme Jepang tak lain adalah kesinambungan genealogi kekaisaran Jepang selama berabad-abad. Memang, di zaman feodal (1200-1600) banyak terjadi kekacauan di seluruh penjuru negeri Jepang akibat perebutan kekuasaan oleh kelas prajurit. Tetapi kedudukan Kaisar sebagai pemersatu negeri toh tak tergoyahkan hingga kini. Kendati setelah Perang Dunia II misalnya, gelar “dewa” sang kaisar konon telah dilucuti Jenderal McArthur dari Amerika Serikat.
Dengan demikian, nasionalisme Jepang lebih dekat kepada nasionalisme romantik (disebut juga nasionalisme organik). Ia adalah perwujudan budaya etnis yang menempati idealisme romantik; tatkala cerita tradisi direka sebagai sebuah konsep. Bukankah "nation" sendiri berasal dari kata Latin, "natio" yang mengakar pada kata "nascor" (saya lahir) di mana semasa Kekaisaran Romawi, kata ini digunakan untuk mengolok-olok orang asing?
Karena itu dalam etnonasionalisme, kita pun menemukan bagaimana fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dari sudut pandang inilah, nasionalisme adalah konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa silam yang disebut sebagai “ethnie”, suatu kelompok sosial terikat perangkat kultural yang meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Sehingga di sini, gerakan politik nasionalisme merupakan sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya.
Hal ini berbeda dengan banyak bekas jajahan Barat--bersuku-bangsa majemuk--di Asia-Afrika yang mana nasionalismenya merupakan sebuah sikap poskolonial. Atau meminjam Ben Anderson dalam "Imagine Community", adalah hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Lahir dari perasaan senasib-sepenanggungan; berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama. Nasionalisme semacam ini di banyak negara Asia-Afrika adalah jawaban yang mengemuka sejak akhir abad 19 atas perasaan tertindas. Ia pun lekat dengan "kebangkitan".
Maka pernah di Indonesia, Bung Karno dengan berapi-api berpidato tentang "kepribadian nasional" dan karena itu politik demokrasi liberal yang "kebarat-baratan" dan segala corak pemikiran yang "tak autentik/tak nasional" haruslah dibuang karena bakal meracuni bangsa. Akibatnya musik "jingkrak-jingkrak" The Beatles pun diharamkan, kran kebebasan terbendung sehingga nasionalisme pun menjadi collective identity yang berfungsi sebagai instrumental dalam berinteraksi dengan sosial grup lain demi kepentingan mobilisasi politik.
Padahal, kendati bertumbuh pada budaya lokal sebagaimana negara-negara Asia-Afrika lainnya, Indonesia, baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya tak lepas dari produk kolonialisme yang diilhami oleh semangat modernitas dengan budaya Barat sebagai sumber inspirasi utama.
Persoalan nasionalisme Jepang berpijak lebih jauh ke masa lampaunya. Dalam sejarahnya, politik isolasi yang pernah dijalankan Keshogunan Tokugawa tak lain juga sebentuk ekspresi nasionalisme. Selama 200 tahun sejak 1633, Jepang menutup pintu ke dunia luar sebagai akibat kecemasan akan penyebaran pengaruh Barat dan Kristen.
Dalam kasus Jepang, proses pertemuan dengan Barat dan modernisasi selepas keberhasilan Komodor Perry memaksa shogun menandatangani perjanjian dagang dengan Amerika yang kemudian mencetuskan Restorasi Meiji, telah timbul perdebatan tentang seberapa banyak Jepang dapat meminjam kemajuan peradaban Barat. Dalam waktu singkat setelah 1868, sebagian besar orang Jepang pun berubah dari xenofobia ke xenophilia. Yang tak hanya mengadopsi banyak aspek luar peradaban Barat seperti dansa ballroom, juga mengadopsi banyak ide-ide dan lembaga-lembaga Barat sebagai oligarki Meiji dengan menerapkan kebijakan fukoku ky'hei (negara kaya, militer yang kuat) untuk mengejar ketinggalannya. Restorasi Meiji hendak membawa Jepang memasuki dunia Barat dengan segenap budaya: busana, life style, dan peralatan tempur.
Di sinilah awal dihapusnya fungsi samurai sehingga menjadi kelas kedua yang memicu pemberontakan terbesar pada 1877. Sebagaimana dapat kita saksikan dalam film The Last Samurai besutan Edward Zwick (2003), tak kurang 40 ribu samurai ditumpas tentara pemerintah yang bersenjata modern.
Nasionalisme Tak Stabil
Namun apabila di masa lampaunya, terbawa semangat kemenangan perang atas Rusia pada 1905, nasionalisme Jepang telah mengembangkan imperialisme Asia yang mengerikan, seperti apa sebetulnya nasionalisme yang dimiliki masyarakatnya dewasa ini? Apakah benar yang dikatakan pengamat sosial Takahara Motoaki (2006), bahwa saat ini Jepang sedang memasuki Fuan-gata Nashonarizumu Jidai atau zaman nasionalisme tak stabil?
Tingkah laku para remaja menggambar bendera Hinomaru di pipi tatkala mendukung Tim Jepang dalam Piala Dunia misalnya, menurut analisis sosial Kayama Rika, juga salah satu bentuk nasionalisme masyarakat Jepang dewasa ini. Meskipun aksi mereka sebagai suporter sepak bola tersebut hanyalah sebatas persoalan kejiwaan belaka, yang tak berkaitan dengan sikap politik. Untuk ini, ia pun mengenalkan istilah “Petite Nationalism” atau nasionalisme kecil (Kayama, 2002). Namun berbeda Kayama, bagi Takahara kendati kelakuan para remaja ini bukanlah termasuk sikap politik yang serius, toh komentar-komentar pribadi mereka di internet mengenai hubungan Jepang dengan negara lain (contohnya hubungan Jepang-China-Korea) telah dapat dikategorikan ke dalam sebuah sikap politik.
Syahdan, di tahun 1960-1970 perkembangan rasa kebangsaan masyarakat Jepang pascakekalahan Perang Dunia II dipicu oleh beberapa hal. Antara lain, telah dewasanya anak-anak yang lahir saat baby boom (1945-1955). Kekritisan mereka—dengan kemudahan akses pendidikan—memicu banyak demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, misalnya perpanjangan perjanjian pertahanan keamanan Jepang dan Amerika. Demikian pula di tahun 90-an ketika perekonomiannya mengalami masa keemasan dan sebagian besar masyarakatnya yang bekerja di sektor bisnis dan jasa berlomba-lomba dalam perdagangan luar negeri, nasionalisme Jepang cenderung berbasis faktor kepentingan ekonomi.
Tetapi seiring dengan krisis perekonomian pada akhir tahun 1990, para remaja yang lahir pada masa baby boom kedua (1975-1980-an) pun tumbuh menjadi remaja yang pesimistis dan cuek pada masa depan mereka sendiri, apalagi masa depan bangsa.
Karena itulah, pemerintah Jepang dan kalangan lain yang peduli pada degradasi moral masyarakatnya lalu berupaya menformulasikan rumus yang tepat agar masyarakat Jepang kembali bangkit dari keterpurukan moral ini. Rencana reformasi dalam bidang pendidikan dirancang agar daya saing dan SDM Jepang dapat ditingkatkan. Untuk itu, dipersiapkan secara tersembunyi ide-ide moralitas bushido sebelum jaman perang. Beberapa contoh upaya untuk mengembalikan rasa kebangsaan dan patriotisme ini, antara lain lewat penayangan drama-drama yang bertema kehidupan samurai di zaman feodal oleh stasiun NHK, penggagalan usaha pembicaraan tentang kaisar wanita, dukungan terhadap pembentukan pasukan perang Jepang, dan kunjungan ke Kuil Yasukuni oleh para pemimpin pemerintah. Upaya-upaya ini terutama digalang oleh kelompok sayap kanan.
Tentu saja, ide mengembangkan semangat bushido pada zaman modern merupakan sesuatu yang menarik. Walaupun pada hakikatnya bushido (jalan prajurit) adalah untuk mati, tapi toh ia memiliki pemaknaan lebih mendalam: bahwasannya anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh. Meraih kesuksesan melalui kerja keras merupakan cita-cita luhur dari setiap manusia—di mana untuk mewujudkannya, membutuhkan disiplin tinggi dengan ditunjang mentalitas pantang menyerah. Maka apabila bagi para samurai, mati dalam melaksanakan tugas sebagai wujud kesetiaan pada tuannya adalah cita-cita tertinggi, bagi manusia Jepang kontemporer, kerja keras untuk menggapai keberhasilanlah cita-cita tertinggi itu. Tentu saja tak cuma dalam bushido nilai-nilai semacam ini terkandung, lantaran ia merupakan nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap kebudayaan…
Bagaimana dengan Indonesia setelah 102 tahun Boedi Oetomo? Ini sebuah pernyataan buat kita semua!
Ah, Mishima, novelis besar itu, baru berumur empat puluh lima tahun dan sedang berada di masa puncak kepenulisannya. Tatkala perutnya robek oleh tanto di tangannya, tubuhnya yang ia rawat melalui olahraga keras itu tampak bagus dengan otot-otot menggembung. Begitulah. n
Sunlie Thomas Alexander, Cerpenis; Periset Parikesit Institute Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment