JAKARTA, KOMPAS - Homogenisasi kultural yang mengacu pada peradaban Barat mengancam melunturkan jati diri bangsa. ”Bunuh diri budaya” tengah terjadi di sekitar kita. Karena itu, gerakan konservasi pusaka budaya mendesak untuk terus digalakkan. Kota yang baik adalah kota yang mampu menghadirkan sejarahnya dari waktu ke waktu secara fisik dan visual dalam wujud lingkungan dan bangunan kuno bersejarah.
Demikian benang merah yang dikemukakan Profesor Eko Budihardjo, anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam Pidato Inaugurasi, Selasa (11/5) di Jakarta. ”Kita prihatin, banyak sekali bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok Tanah Air dibongkar untuk memberikan tempat bagi pembangunan baru yang modern, late modern, postmodern, yang sering tidak kontekstual dan tidak berkarakter,” ujarnya.
Eko menjelaskan, dalam era desentralisasi dan otonomi daerah tampak kecenderungan bahwa para pejabat kunci, seperti gubernur, bupati, wali kota, tidak memerhatikan keberadaan pusaka budaya di daerah masing-masing. Perhatian mereka tercurah pada pembangunan ekonomi dan sarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Undang-Undang Benda Cagar Budaya yang disahkan tahun 1992 belum banyak dipahami atau dijadikan acuan dalam proses penataan ruang dan pembangunan daerah. Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini seyogianya diikuti dengan peraturan daerah (perda). ”Surat keputusan wali kota saja tidak cukup,” kata Eko Budihardjo, yang telah menerbitkan 23 buku dalam bidang arsitektur, perumahan, dan perkotaan.
Menurut peraih Penghargaan Kalpataru tahun 1998 dan Adhicipta Rekayasan dari Persatuan Insinyur Indonesia tahun 1996 ini, karya-karya arsitektur di masa mendatang mestinya menghadirkan bentuk-bentuk yang merupakan kesinambungan dengan masa lampau dan masa kini dalam suatu perpaduan. (NAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 12 Mei 2010
No comments:
Post a Comment