Monday, May 17, 2010

[Resensi] Bersinar di Kala Krisis

-- Hermawan Kertajaya

( KOMPAS/RIZA FATHONI)

• Judul: The Martha Tilaar Way: Sukses Meraih Bisnis

• Penulis: Theresa CY Liong

• Penerbit: Penerbit Buku Kompas

• Cetakan: I, 2010

• Tebal: xxiii + 210 halaman

• ISBN: 978-979-709-470-6


BAGI kebanyakan perusahaan di Indonesia, tahun 1998 adalah titik terendah dalam sejarah perusahaan. Namun, tidak demikian dengan PT Martina Berto. Di tahun 1998, perusahaan yang mengusung corporate brand Martha Tilaar ini justru melakukan ekspansi pasar.

Lini produk kelas atas mereka bahkan menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan merebut pasar kosmetik impor yang harganya menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan ini bahkan berhasil bangkit pada tahun 1999 dan membeli 60 persen saham PT Martina Berto yang sebelumnya dipegang oleh Grup Kalbe Farma.

Dalam buku berjudul The Martha Tilaar Way, Theresa CY Liong mencoba menelusuri dan mengidentifikasi apa saja yang menjadi kunci keberhasilan Martha Tilaar menghadapi krisis saat itu. Melalui serangkaian wawancara dan observasi, penulis melakukan analisis kondisi perusahaan pada era 1996-2000. Dengan membatasi diri pada rentang waktu yang sempit, analisis yang dilakukan terfokus pada faktor-faktor yang benar-benar berpengaruh dalam menghadapi krisis.

Berkembang dari usaha salon kecantikan di garasi, pada tahun 1970-an, Grup Martha Tilaar kini berkembang menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia dengan bisnis yang mencakup berbagai industri, mulai dari kosmetik hingga spa. Namun, harus diakui, kemampuan PT Martina Berto melewati krisis finansial 1998 adalah salah satu titik paling cemerlang dalam sejarah grup ini.

Analisis dalam buku The Martha Tilaar Way disusun berdasarkan serangkaian interviu yang dilakukan penulis dari tahun 2004 hingga 2005. Penelitian tersebut mencakup pihak internal—diwakili karyawan perusahaan dari berbagai tingkatan, mulai dari anggota serikat pekerja hingga manajer puncak— dan pihak eksternal, meliputi distributor, pemasok, pengelola pasar swalayan, wartawan, dan pengurus asosiasi jamu.

Dengan melibatkan pihak internal ataupun eksternal, penulis berhasil mendapatkan dua sudut pandang yang berbeda mengenai faktor-faktor yang menjadikan PT Martina Berto mampu menghadapi krisis. Dua sudut pandang berbeda ini memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai apa yang benar-benar terjadi saat itu.

Faktor keberhasilan

Buku ini diawali dengan pembahasan mengenai industri jamu dan kosmetik di Indonesia. Dalam bab ini penulis ingin memberikan latar belakang dan konteks terhadap business landscape yang dihadapi PT Martina Berto saat itu. Diterangkan secara rinci mengenai sejarah pendirian PT Martina Berto, dari awal hingga akhirnya mencapai keberhasilan dan kebesaran di abad ke-21.

Bab kedua berupaya meletakkan kerangka analisis yang digunakan penulis dalam menilai keberhasilan suatu bisnis, khususnya bisnis jamu dan kosmetik di Indonesia. Di sini penulis memaparkan kerangka kerja yang digunakannya untuk menggambarkan faktor-faktor yang memengaruhi kesuksesan suatu bisnis.

Dalam bab ketiga, penulis menjelaskan secara detail napak tilas keberhasilan PT Martina Berto. Di sini penulis menggunakan model bunga teratai sebagai metafora budaya perusahaan.

Konsep bunga teratai ini memiliki tiga bagian utama. Daun mahkota bunga melambangkan sesuatu yang dapat dilihat dari perusahaan, yaitu benda-benda (artefak), seremoni, ritual, kisah, dan legenda. Kemudian, dua daun yang mengapung melambangkan opini dan prinsip-prinsip. Dan terakhir, ada pula bagian yang tidak tampak (akar) karena berada di bawah permukaan air, maknanya: kepercayaan, nilai-nilai, dan anggapan yang dianut di perusahaan.

Bab keempat adalah inti utama dari buku ini. Dalam bagian ini penulis mengungkapkan situasi yang dihadapi PT Martina Berto dalam menghadapi tantangan usaha dari sudut pandang para pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal. Bab ini berisi kumpulan kutipan wawancara yang dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor yang menurut penulis menjadi kunci keberhasilan perusahaan menghadapi krisis.

Pada awalnya pembaca mungkin akan sedikit kesulitan memahami bab ini karena penulis memilih untuk mencantumkan transkrip wawancara apa adanya, atau verbatim. Misalnya seperti yang dituliskan pada halaman 142, bab 4: ”Tapi pada saat perusahaan mengalami suatu profit yang lumayan di tahun… awal tahun 1999, kalau enggak salah, itu mendapatkan suatu profit yang agak lumayan. Karyawan diberikan suatu bonus yang dua kali dari… dari… dari… apa dari gaji”.

Namun, pada akhirnya, ternyata dengan cara ini pembaca dapat benar-benar melihat berbagai sudut pandang dan nuansa yang mewarnai situasi PT Martina Berto saat itu. Mulai dari semangat kepemimpinan Martha Tilaar, tentang budaya perusahaan yang kondusif dan saling mendukung, hingga nasib baik yang tidak dimungkiri juga merupakan salah satu faktor keberhasilan perusahaan.

Pada akhir bab ini penulis menawarkan analisisnya sebagai kesimpulan dari The Martha Tilaar Way. Penulis menilai bahwa yang terjadi adalah suatu powerful display of interventionists at work. Namun, uniknya, di PT Martina Berto fungsi interventionists yang menjadi kunci keberhasilan ini tidak melekat pada satu atau bahkan beberapa individu berpengaruh saja, tetapi tersebar di seluruh organisasi.

Organisasi horizontal

Melalui percontohan yang konsisten, pribadi Martha Tilaar berhasil menciptakan suatu budaya perusahaan yang mendorong kesatuan dan kerja sama yang pada akhirnya menjadi kunci keberhasilan perusahaan ini. Dalam organisasi ini, kesulitan yang dihadapi tidak menjadikan para pemegang tanggung jawab untuk putus asa, tetapi justru sebaliknya, mereka memulai suatu proses dengan niat berprestasi jauh lebih baik lagi dibandingkan pada waktu sebelumnya. Di sinilah letak kunci kesuksesan PT Martina Berto saat itu.

Kutipan-kutipan wawancara yang disertakan memperlihatkan betapa seorang figur pemimpin dapat memberikan inspirasi bagi seluruh perusahaan untuk bergerak bersama dalam satu kesatuan. Meskipun ini tidak lantas menyebabkan terjadinya over dependency terhadap satu atau segelintir pemimpin perusahaan. Sebaliknya, tiap manajer merasa punya kekuatan dan tanggung jawab. Di sini Martha Tilaar bisa disebut berhasil membentuk organisasi yang horizontal.

Pada tahun 1996–2000, sebelum teknologi komunikasi dan informasi benar-benar mendorong terciptanya dunia yang semakin datar dan semakin horizontal, di PT Martina Berto sudah tercipta suatu organisasi yang horizontal. Kehendak pemimpin bukan lagi menjadi segala-galanya, dan komunikasi antar-jabatan tidak lagi terlihat seperti perintah, tetapi mulai menuju conversation.

Budaya percaya dan kerja sama tim ini ternyata tidak muncul begitu saja, tetapi dimulai dari contoh pemimpin teratas, yang lalu menjadi tabiat karyawan, dan akhirnya menjadi budaya perusahaan.

Terungkap pula bahwa dalam organisasi ini terjadi conversation horizontal di antara berbagai pihak. Wakil serikat buruh mengakui bahwa mereka lebih mementingkan bermusyawarah. Suatu unjuk rasa bahkan bisa diselesaikan dengan baik setelah manajemen melakukan penjelasan secara damai kepada serikat pekerja. Fokus Divisi Industrial Relation juga terlihat tidak sekadar untuk ”mengendalikan” para buruh, tetapi lebih penting sebagai jembatan komunikasi agar karyawan memahami kesulitan manajemen, dan sebaliknya.

Dengan modal saling percaya ini, mulai terbentuklah budaya caring dalam perusahaan. Karena itu, ketika awal krisis ekonomi tahun 1997 karyawan diajak untuk tidak naik gaji, semua mau menerima. Saat itu yang penting adalah bagaimana secara bersama-sama bisa melewati masa-masa yang susah. Hal ini berlaku sebaliknya pula. Pada tahun 1999, saat perusahaan mendapatkan keuntungan yang cukup besar, karyawan mendapatkan bonus yang memuaskan sebesar dua kali gaji.

Didorong globalisasi dan kemajuan teknologi yang semakin pesat, business landscape tentunya akan menjadi lebih horizontal pula dalam beberapa tahun mendatang. Tidak hanya dalam industri jamu dan kosmetik, tetapi di seluruh peta bisnis global. Dalam era yang disebut New Wave Era oleh MarkPlus Inc ini, pasar akan semakin menuntut perusahaan untuk menjadi horizontal. Selain menerapkan konsep New Wave Marketing dan Connect untuk menggapai pasar yang berubah, tentunya perlu didukung juga oleh organisasi internal yang horizontal pula. Inilah yang bisa kita pelajari dari Martha Tilaar, The Martha Tilaar Way.

* Hermawan Kartajaya, CEO MarkPlus Inc

Sumber: Kompas, Senin, 17 Mei 2010

1 comment:

Paper Underground said...

Artikelnya bagusss...
Pemimpin memiliki peran yang sangat vital dalam sebuah organisasi. Hidup matinya sebuah organisasi tergantung dari visi misi pemimpnnya.
Sekedar ingin berbagi aja, barangkali bisa menambah sedikit referensi mengenai kepemimpinan dalam organisasi
Klik --> Makalah Kepemimpinan