-- Budi Suwarna dan Dahono Fitrianto
HANYA sampai Terminal Bukittinggi saja remaja tanggung itu diantar orangtuanya. Selanjutnya, dia harus mencari jalan sendiri menuju perantauan nun jauh di Jawa.
Remaja itu bernama Yasraf Amir Piliang. Tahun ini dia telah genap 34 tahun di perantauan. Selama kurun waktu itu dia berjibaku di bangku kuliah hingga sukses meraih gelar doktor dan diangkat sebagai dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Pria asal Maninjau, Kabupaten Agam, itu tidak pernah lupa perjalanan panjangnya naik bus dari Bukittinggi hingga Bandung. Waktu itu dia baru lulus SMA dan berusia sekitar 19 tahun. Meski masih belia dan buta Kota Bandung, kedua orangtuanya hanya mengantarnya hingga terminal bus di Bukittinggi.
”Di Terminal Bukittinggi kami berpelukan dan tangis-tangisan. Mirip rombongan orang yang sedang berkabung. Maklum, waktu itu merantau masih dianggap masalah hidup dan mati,” ujar Yasraf (53), awal April lalu.
Ketika bus bergerak dan orangtuanya melambaikan tangan, Yasraf pun menempuh perjalanan seorang diri. ”Waktu itu jalan trans-Sumatera belum ada. Jalannya masih jelek sekali. Setiap 10 kilometer penumpang harus turun untuk mendorong bus yang terjebak lumpur. Sampai di Bandung, celana sudah berlapis lumpur tebal,” ungkap Yasraf, yang baru tiba di Bandung 10 hari kemudian.
Sesampai di Bandung, Yasraf langsung ke Sekretariat Ikatan Pemuda Maninjau di daerah Balubur. Itulah satu-satunya alamat yang dia tuju. Dia pun menumpang di sana bersama beberapa perantauan asal Minang lainnya. Ketika mendaftar kuliah di ITB, dia mengandalkan bantuan perantau Minang yang lebih dulu tinggal di Bandung.
Kisah seperti itu bukan hanya milik Yasraf seorang. Itu menjadi romantika hidup jutaan perantau Minang lainnya, termasuk Syafii Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan pendiri Ma’arif Institute for Cultural and Humanity. Syafii merantau ke Yogyakarta dari kampungnya di Sumpur Kudus tahun 1953.
Dia berangkat bersama kakak sesuku dan dua adik sepupunya dengan kapal laut berbekal rendang burung kikiak dan sebuah koper besar. Kisah perjalanan Syafii ke tanah rantau itu dituliskan di otobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku (Ombak, 2006). Kisah Buya—begitu dia sering disapa—juga difilmkan dengan judul Si Anak Kampoeng. Proses shooting film itu telah rampung dan beberapa bulan lagi akan diedarkan.
Agustidarman (48) merantau sejak tahun 1981 ke Jakarta untuk belajar mengelola rumah makan padang di rumah bibinya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Setelah enam bulan di sana, dia merantau ke Palembang dan bekerja di Pertamina sebagai tenaga peng-input data. Sayang, setelah 10 tahun bekerja dia terkena PHK.
Dia kemudian kembali ke Jakarta meneruskan ”pelajarannya” mengelola rumah makan padang di rumah bibinya. ”Saya diajarkan memasak dan cara melayani pembeli,” katanya.
Tahun 1998 Agustidarman berhasil mendirikan Rumah Makan Padang Restu Bundo sendiri di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Tiga tahun kemudian dia memindahkan rumah makannya ke kawasan Palmerah Selatan hingga sekarang.
Evi Fadilah (37) merantau sejak lulus SD di Bukittinggi. Awalnya dia merantau dekat ke Padangpanjang yang berjarak 25 kilometer dari Bukittinggi. Gadis cilik itu diantar ibunya kemudian ”ditinggalkan” di tempat kos. Di kota itu dia menyelesaikan pendidikan SMP, kemudian merantau ke Jakarta tahun 1988 untuk melanjutkan SMA, dan ke Bandung tahun 1993 untuk melanjutkan pendidikan S-1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran hingga selesai.
Bumi dipijak
Di Jawa para perantau Minang bekerja ekstrakeras untuk bertahan. Evi, misalnya, harus berjualan kerudung sejak SMA agar memiliki uang untuk ikut bimbingan belajar di Bandung.
Pada masa kuliah dia pun harus mencari beasiswa ke sana-sini dan bekerja di sebuah radio swasta di Bandung agar bisa membeli buku. Kerja kerasnya menuai hasil. Dia bisa menjadi sarjana hingga tingkat S-2. Kini dia bekerja sebagai dosen di Unpad.
Apa yang membuat mereka bertahan di perantauan? Yasraf menjelaskan, salah satunya karena orang Minang menerapkan pepatah ”di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Pendek kata, mereka selalu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi apa pun.
Tidak heran jika Yasraf pun paham benar kebudayaan dan kesenian Sunda. Bahkan, dia fasih berpidato dalam bahasa Sunda halus.
Evi pun begitu. Perempuan yang akhirnya menikah dengan orang Bandung itu, sekarang, kalau ditelepon, spontan menjawab dalam bahasa Sunda, ”Ieu teh saha nya?” (Ini siapa ya?).
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment