-- P. Ari Subagyo
KITA bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena kita ingin hidup lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena ”ideaal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan cultuur. Pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya.”
Dua kali Soekarno mengemukakan nukilan itu. Pertama, menjelang tahun 1930-an atau dua dekade pasca-berdirinya Boedi Oetomo, yaitu saat Soekarno muda. Kedua, dalam amanat bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Rediscovery of Our Revolution) saat HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1959.
Waktu Soetomo, Wahidin, dan mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) mencetuskan gerakan Boedi Oetomo—20 Mei 1908—usia Soekarno baru sewindu, tetapi ia menangkap ide dan semangat dasar Boedi Oetomo dengan jitu. Perasaan senasib-sependeritaan sebagai pihak terjajah menjadi embrio terbentuknya ikatan kebangsaan Indonesia. Perasaan dan ikatan itu terus menguat hingga terwujud nasionalisme dan patriotisme. Berkat nasionalisme dan patriotisme itu, lahir negara bangsa Indonesia yang berkedaulatan politik.
Situasi mirip
Boedi Oetomo merupakan bukti pencerahan di kalangan pribumi terdidik. Mereka prihatin atas dua masalah besar. Pertama, nasib buruk yang menimpa kaum pribumi. Di tanah leluhur sendiri mereka dibodohi dan martabatnya dilecehkan bangsa lain. Kedua, perilaku para pamong praja yang hanya memikirkan jabatan dan kepentingan sendiri. Mereka tega menindas sesama pribumi, misalnya dengan menarik pajak secara paksa demi menyenangkan hati para atasan dan penguasa asing.
Situasi mirip seperti itu nyatanya sedang terjadi (kembali) di negeri ini. Apa yang disebut Soekarno sebagai ”hidup lebih layak”, ”cukup makan”, ”cukup pakaian”, ”cukup tanah”, ”cukup perumahan”, dan ”cukup pendidikan” masih menjadi mimpi bagi banyak anak negeri. Mereka masih menghadapi ”kesengsaraan” dan mendambakan ”perbaikan nasib dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya”.
Krisis keindonesiaan
Pamong praja yang menindas rakyat saat ini menjelma sebagai pejabat dan aparat negara yang korup. Korupsi merupakan bentuk nyata penjajahan oleh dan kepada bangsa sendiri. Akibatnya, negara ini sungguh ironis. Ia tidak mampu bekerja maksimal menyejahterakan rakyat—sebagai tanggung jawab utama dan alasan meng-”ada”-nya—tetapi justru repot mengurusi aparatnya. Padahal, aparat semestinya menjadi alat dan kepanjangan tangan negara dalam menunaikan tanggung jawab utama menyejahterakan rakyat.
Dalam istilah Syafii Maarif, elite bangsa ini telah mati rasa (Kompas, 14/5/2010).
Selain itu, krisis keindonesiaan pun terus mendera. Boedi Oetomo (”pikiran yang mulia”) memahami kebangsaan Indonesia bukan sebagai kesamaan suku atau agama, melainkan kesamaan nasib. Namun, pemahaman itu kian terabaikan. Primordialisme dan sektarianisme justru lebih mendapat tempat. Praktik diskriminasi dan ketidakadilan atas nama suku dan—terutama—agama merupakan bukti tak terbantah yang mengikis keindonesiaan.
Primordialisme dan sektarianisme merembes ke berbagai ranah, termasuk ranah paling strategis untuk membangun kebangsaan, yaitu pendidikan. Dalam berbagai jenjang pendidikan, simbol-simbol agama hadir menggantikan wacana kebangsaan. Secara kasatmata, sekolah menjadi ajang kontestasi simbol-simbol agama. Akibatnya, solidaritas antaranak bangsa lebih terbentuk karena agama. Kita merasa menjadi sesama pertama-tama karena kesamaan agama. Inilah ancaman terbesar bagi keindonesiaan.
Masyarakat lalu kehilangan daya kritis. Orang asing pun—asalkan seagama—diterima tanpa prasangka. Padahal, bisa saja mereka anggota jaringan teroris atau kartel pemasok narkoba.
Krisis keindonesiaan juga ditebar oleh partai politik. Ini sungguh ironis mengingat gerakan Boedi Oetomo menjadi embrio lahirnya tradisi berpartai di kalangan pribumi. Partai-partai itu pada gilirannya melembagakan kehendak rakyat untuk mewujudkan Indonesia Merdeka.
Sekarang—setelah lebih dari seabad—ternyata partai politik belum sanggup menjadi lembaga untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Alih-alih melahirkan negarawan yang menyejahterakan rakyat, partai politik justru asyik bermain sendiri dalam koalisi setengah hati, mekanisme parlementer yang terselubung, agenda politik kekuasaan jangka pendek, ataupun sekretariat gabungan yang misterius. Tersisakah visi keindonesiaan di benak mereka?
Membangkitkan Indonesia
Soekarno menggunakan kata ”bergerak” sebagai variasi ”revolusi”. Semiotika ”bergerak” merupakan pilihan tepat untuk melihat dinamika Indonesia seratus dua tahun setelah Boedi Oetomo. Dibandingkan dengan seabad lalu, keseluruhan ”tubuh” Indonesia sesungguhnya tidak melemah, tetapi gerakannya kehilangan koordinasi dan arah. Kepala, tubuh, tangan, dan kaki bergerak sendiri-sendiri tanpa kendali. Bagian-bagian tubuh itu cenderung do many things about nothing.
Indonesia ibarat tubuh besar yang tersungkur kelelahan penuh luka. Ia harus (di)bangkit(kan) kembali. Luka-lukanya perlu diobati. Jalannya mesti ditopang agar tegak dan berarah.
Siapa pun yang merasa menjadi bagian tubuh Indonesia, ia wajib bergerak dalam keserempakan. Hanya dengan begitu, tubuh Indonesia mampu bangkit kembali, kecuali kita ingin melihatnya terus terkapar tak berdaya dan tanpa martabat. Sebab, luka dan kejatuhan Indonesia itulah justru sumber kehidupan para penjajah bangsa sendiri.
* P. Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Mei 2010
No comments:
Post a Comment