-- Mawar Kusuma
MESKIPUN telah pensiun dan berusia menjelang 75 tahun, setiap hari Riboet Darmosoetopo tetap terbangun pada pukul 03.00. Dia lalu bergegas menuju ruangan di sudut depan rumahnya yang berukuran sekitar 3 x 3 meter. Di antara tumpukan buku dan kamus di ruang itulah dia bertekun dengan tulisan-tulisan pada berbagai naskah kuno.
Riboet (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Riboet adalah orang yang selama ini menjadi rujukan berbagai pihak untuk pembacaan naskah kuno, terutama prasasti. Dibantu penerangan lampu duduk di ruang itu, helai demi helai lontar, daluwang, kertas kuno, hingga prasasti dia alih bahasakan ke dalam aksara Latin.
Setiap kali ditemukan prasasti baru, nyaris bisa dipastikan Riboet adalah orang pertama yang dihubungi oleh penemu atau pihak yang berkepentingan. Dia akan diminta menerjemahkan prasasti itu.
Sebut beberapa pihak yang menjadi ”langganan” Riboet, antara lain, adalah Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, juga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keahliannya memang diperlukan hingga sekarang. Oleh karena itulah, meskipun dilihat dari sisi usia Riboet telah pensiun, kepakarannya masih diperlukan dan ”dibagikannya” kepada para mahasiswa pada jenjang S-1 hingga S-3 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain mengerti bahasa Sanskerta, Riboet juga menguasai bahasa lokal kuno, seperti Sunda kuno, Kawi kuno, Jawa kuno, dan Jawa tengahan. Bahasa Jawa baru, bahasa Arab, bahasa Belanda, dan bahasa Perancis pun dikuasainya.
Ditemui di rumahnya di kawasan Gendeng GK IV, Gondokusuman, Yogyakarta, Riboet tampak sedang asyik menyapu halaman rumahnya. Melihat ada tamu, dia lalu bergegas meletakkan sapu lidinya, lalu menuju deretan kursi besi lipat di teras rumah yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamunya.
”Jika ada temuan prasasti baru, pasti orang membawanya ke sini,” kata Riboet membuka pembicaraan.
Bendungan irigasi
Pada tahun 2003, misalnya, Riboet dan seorang rekannya telah berjasa membaca Prasasti Penanggaran dan Prasasti Sumundul yang ditemukan di sekitar Candi Kedulan, Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta.
Setelah terbaca oleh Riboet dan rekannya, barulah diketahui bahwa prasasti berangka tahun 791 Saka atau 869 Masehi itu berkisah tentang bendungan irigasi yang digunakan untuk merawat candi tersebut.
Selain menjadi rujukan untuk membaca prasasti-prasasti yang ditemukan, Riboet juga telah menghasilkan beberapa publikasi ilmiah, antara lain berjudul Hubungan Tanah Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X (2003), Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada abad IX-XV Masehi (1992), dan Seekor Lembu Akan Tertipu dengan Seekor Buaya, Ringkasan Relief Cerita Kancil dari Museum Trowulan (1971).
Riboet ikut terlibat sebagai anggota tim penggalian Benteng Vredeburg, Yogyakarta, tahun 1984; juga dalam ekskavasi Situs Kejambon, Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, pada 1990.
Di samping itu, dia juga tetap aktif menerjemahkan beragam naskah kuno di Museum Sonobudoyo. Tahun lalu, misalnya, Riboet menyelesaikan penerjemahan naskah Sutasoma karya Mpu Tantular. Di dalam naskah itu termuat, antara lain, tentang Bhinneka Tunggal Ika dari masa Kerajaan Majapahit.
Selain naskah Sutasoma, Riboet juga menerjemahkan beberapa lakon keropak, seperti Babad Cebolek dan Babad Janti. Babad Janti dia terjemahkan bersama kurator naskah kuno dari Museum Sonobudoyo.
”Setiap naskah itu mempunyai keunikan tersendiri,” kata Riboet yang ingin bergulat dengan naskah kuno hingga tutup usia.
Tak hanya naskah yang berkaitan dengan kebangsaan, tetapi dia juga mengalihbahasakan tulisan tentang makanan dan obat-obatan yang terekam pada prasasti atau babad. Dari tulisan kuno, kata Riboet, kita bisa belajar banyak hal, seperti delapan ajaran kepemimpinan atau Astabrata yang termuat dalam naskah Ramayana. Isinya, antara lain, tentang pentingnya perhatian pemimpin kepada rakyat.
Menurut Riboet, Museum Sonobudoyo menyimpan kekayaan sejarah, antara lain, berupa 172 keropak lontar. Sayang, sekitar separuh dari jumlah itu mulai rusak. Kondisi serupa juga dialami sekitar 1.200 naskah kuno dengan media kertas.
Untuk mengatasi hal itu, dengan berbekal kamera saku, Riboet memotret naskah-naskah tua tersebut. Ia lalu menerjemahkan naskah-naskah itu lewat bantuan komputer.
Mendalami epigrafi
Riboet tertarik tulisan kuno sejak menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah UGM. Kala itu, ruang kuliahnya menempati Ndalem Yudanegaran, Kompleks Keraton Yogyakarta.
Ketika pertama kali dibuka Jurusan Arkeologi, ia tertarik dan mendalami epigrafi, ilmu yang mempelajari tentang tulisan kuno. Semua benda yang berumur di atas 50 tahun, sangat berguna bagi ilmu pengetahuan dan punya makna khas. Inilah yang menjadi ranah pembelajaran epigrafi. Menurut dia, epigrafi tak sebatas ilmu tentang prasasti.
Meskipun pensiun sejak 2004, sampai kini ia tetap mengajar sebagai dosen Paleografi dan Kapita Selekta pada program S-1 jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Dia juga mengajar Histografi bagi mahasiswa S-2, dan membimbing mahasiswa S-3, juga di UGM.
Namun, Riboet selalu menolak pencantuman gelar doktor di depan namanya. ”Ah, (tidak perlu) saya sudah pensiun,” katanya beralasan.
Sayangnya, besarnya kecintaan dan pengabdian Riboet terhadap naskah kuno belum sepadan dengan penghargaan yang diberikan negara ini. Di Indonesia, pekerjaan sebagai epigraf, seperti yang dia lakoni, kurang dihargai dari sisi materi. Meskipun demikian, ia tak pernah mengeluh.
Penghasilan yang dia terima dengan membantu mengajar di perguruan tinggi tak mencukupi, bahkan sekadar untuk membayar ongkos becak, sekitar Rp 25.000 dari rumahnya ke kampus. Maka, ia memilih dibonceng sepeda motor oleh anak-anaknya setiap kali pergi mengajar. Bagi Riboet, lebih penting berkarya menerjemahkan naskah kuno dan membagi pengetahuan yang dimilikinya kepada para mahasiswa.
Pria yang jauh dari gelimang materi dan puja-puji itu tetap berharap agar beragam ilmu dari masa lalu bangsa ini tidak punah ditelan zaman. Untuk itulah, ditemani cahaya lampu meja, Riboet tetap berjuang menguak tabir rahasia naskah-naskah tua yang belum terbaca.
RIBOET DARMOSOETOPO
• Lahir: Yogyakarta, 21 November 1935
• Istri: Wiwik Mariyani
• Anak:
1. Wahyu Mahendratama
2. Intani Ganeswari
• Pendidikan:
- SD Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta
- SMP Muhammadiyah Purwodiningratan, Yogyakarta
- SMA Pendidikan, Yogyakarta
- S-1 Universitas Gadjah Mada - S-3 Universitas Gadjah Mada.
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Mei 2010
No comments:
Post a Comment