Wednesday, May 26, 2010

[Teropong] Potret Pendidikan: Sekolah Beratap Daun dan Berlantai Tanah

-- Frans Sarong

SEKOLAH ini berstatus negeri. Namun, bangunannya darurat. Kerangkanya kayu bulat, atapnya daun, dan berlantai tanah. Dindingnya dari rangkaian pelepah gewang, sebangsa palem. Jika komunitas sekolah kebelet buang air, harus menumpang ke rumah tetangga karena belum tersedia jamban.

SDN Asam Tiga di Desa Naibonat, Kabupaten Kupang, NTT, hingga Kamis (20/5) masih mengandalkan bangunan darurat yang reyot dan terancam runtuh. Bangku dan meja sekolah terbuat dari belahan papan kasar serta bertiang kayu bulat yang ditancapkan ke dalam tanah. (KOMPAS/FRANS SARONG)

Itulah gambaran Sekolah Dasar Negeri Asam Tiga di Desa Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, 36 kilometer sebelah timur Kota Kupang. Jaringan jalannya pun masih berupa jalan tanah berlubang. Pada musim hujan, badan jalan berlumpur. Kendaraan yang nekat menerobos pun pasti hanya sampai separuh jalan.

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Kupang Benyamin Nomleni juga mengalami itu ketika bersama timnya dan Kompas mengunjungi sejumlah sekolah di wilayah tersebut, termasuk SDN Asam Tiga.

”Kalau dipaksa maju, mobil pasti terperangkap di dalam lumpur,” tutur Johny Siokain, sang pengemudi, Kamis (20/5).

Kunjungan terpaksa dilanjutkan dengan berjalan kaki dan harus meniti bagian jalan yang masih padat untuk menghindari jebakan lumpur. Dari arah berlawanan lalu muncul empat bocah berseragam SD, bertelanjang kaki. Mereka semua ternyata siswa kelas I SDN Asam Tiga yang hendak pulang ke rumah. ”Kalau pakai sendal, nanti talinya putus,” ucap Lince Klau Seran (7).

Di belakang para bocah itu menyusul dua ibu guru, Lenitsa Kaseh dan Welmince Nomleni, yang tergesa-gesa melangkah. Ternyata, keduanya sedang kebelet. ”Kalau mau buang air, kami harus ke rumah tetangga,” keluh Lenitsa sambil terus melangkah.

Bangunan SDN Asam Tiga masih darurat, bahkan terancam roboh sehingga harus ditopang tiang penyangga dari dua sisinya. Perabot sekolah pun serba darurat. Bangku dan meja siswa, misalnya, dari potongan papan kasar dan kayu bulat. Begitu juga pasangan kursi dari potongan papan kasar dan kayu bulat yang dirangkai seadanya.

”Kalau hujan lebat, genangan air masuk sampai ruang kelas. Pelajaran terpaksa dihentikan,” sambung Welmince Kono, guru kelas II.

Tenaga pendidik di SDN Asam Tiga hanya 11 guru. Dari 11 guru, hanya 2 orang berstatus pegawai negeri sipil dan 9 orang lainnya guru honor bergaji Rp 250.000 per bulan dari dana bantuan operasional sekolah.

Disamaratakan

SDN Asam Tiga merupakan potret betapa masih buruk fasilitas pendidikan di NTT. Potret ini bisa jadi jauh berbeda dengan sekolah kebanyakan di Jawa, terlebih lagi di Jakarta, tempat Menteri Pendidikan Nasional bekerja.

Ironisnya lagi, sekolah darurat seperti SDN Asam Tiga ini tidak hanya satu, tetapi masih banyak lagi. Bupati Ayub Titu Eki menyebutkan, setidaknya masih terdapat 38 sekolah dari 504 SD/SMP/SMA di daerah itu dengan bangunan masih darurat. Tingkat SD sebanyak 28 sekolah, SMP (3), dan SMA (7).

”Dengan DAU (dana alokasi umum) yang hanya sekitar Rp 200 miliar, sulit bagi kami langsung memperbaiki sekolah-sekolah yang masih darurat itu,” paparnya.

SMA Amabi Oefeto di Kabupaten Kupang adalah contoh SMA darurat itu. Sekolah yang berlokasi di Kampung Hunaek, Desa Fatukamnutu, ini didukung tiga bangunan, semuanya berkerangka kayu bulat, lantai tanah, dan berdinding bebak. Satu bangunan dengan tiga ruang belajar beratap seng tua yang sudah karatan. Dua bangunan lainnya—ruang guru dan kegiatan lain—beratap daun.

Pengasuhan pelajaran yang diberikan guru di sekolah itu juga tidak sesuai kompetensi. Guru Geografi, misalnya, ada yang mengajar Sosiologi. Dari 14 guru yang ada, hanya 1 orang yang berstatus PNS. Tiga belas guru lainnya berstatus honorer. Jasa mereka dihargai Rp 8.000 per jam dan dibayarkan sekali enam bulan. Monika Masneno, contohnya, mengajar 17 jam per minggu atau 68 jam per bulan. Berarti honor bulanannya Rp 544.000 saja.

Ironisnya, meski kondisi sekolah-sekolah ini tidak mendapat perhatian pemerintah yang sama, pemerintah tak peduli. Sekolah darurat ini pun harus mengikuti ujian nasional dengan standardisasi sama. Tak heran hasil ujian nasional pun jeblok. Tahun ini, dari 36 peserta yang mengikuti ujian, hanya 13 siswa yang lulus dan 23 siswa lainnya harus mengulang.

Di Kabupaten Ende, Pulau Flores, bahkan ada sejumlah SMA yang tingkat kelulusannya nol persen, yaitu SMA Katolik Taruna Vidya (Tarvid), SMA Negeri 1 Nangapanda, SMA Negeri Wolojita, dan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Walisanga Ende.

Persentase kelulusan SMA di Ende tahun ini memang sangat anjlok, yaitu hanya 27,64 persen dari peserta UN sebanyak 2.591 siswa. Sebanyak 1.875 siswa tidak lulus. Sementara tahun 2009 persentase kelulusan mencapai 71,29 persen.

Setidaknya ada 17 SLTA di NTT tahun ini dengan kelulusan nol persen. Sekolah-sekolah itu berada di Kabupaten Manggarai dan Ende masing-masing 4, Flores Timur (3), Sika dan Manggarai Timur masing-masing 2. Lainnya di Kabupaten Lembata dan Sumba Barat Daya masing-masing 1 sekolah.

Pendidikan di NTT memang sedang muram, setidaknya berdasarkan kelulusan UN tahun ini. Kelulusan UN SMA di NTT dengan nilai rata-rata hanya 5,4, paling rendah dari 33 provinsi di Indonesia. Persentase kelulusannya pun hanya 47,96 persen, merosot jauh dari tahun lalu, 75 persen. Begitu juga dari UN SMP, secara nasional menempatkan NTT sebagai provinsi dengan siswa tak lulus terbanyak (39,87 persen).

Kendala

Anggota Komisi D DPRD NTT, Charles E Lalung, berkeyakinan, buruknya kondisi sekolah menjadi salah satu penyebab kemerosotan pendidikan di NTT, sebagaimana tergambar pada ujian nasional SMA dan SMP tahun ini.

Penyebab lainnya, menurut Charles E Lalung, adalah pengasuhan mata pelajaran oleh para guru dan jabatan di dinas terkait yang tak sesuai kompetensi. ”Saya mencatat ada sejumlah jabatan di Dinas PPO yang ditempati para pejabat bukan karena kompetensinya, melainkan karena jasa politik. Begitu juga di kalangan guru, tidak sedikit guru yang tak sesuai kompetensinya,” sorotnya.

Wakil rakyat dari Fraksi Golkar itu mencontohkan Kepala Dinas PPO NTT yang insinyur peternakan dan merangkap jabatan sebagai Penjabat Bupati Sabu Raijua. ”Dari segi kompetensi saja sudah layak dipertanyakan. Ditambah perangkapan jabatan, jelas saja perhatian mengurus pendidikan menjadi tidak total,” tegasnya.

Mengingat sedemikian kompleks persoalan pendidikan di daerah, khususnya di NTT, untuk meningkatkan mutu pendidikan pemerintah pusat hendaknya jangan hanya mengambil cara gampang, melakukan standardisasi ujian nasional, tetapi tidak mau menyelesaikan segudang persoalan pendidikan di daerah. (Samuel Oktora)

Sumber: Kompas, Rabu, 26 Mei 2010

1 comment:

Andra Veda said...

anggaran untuk Kemendiknas tahun ini saja 55.5 triliun, berkurang dibanding tahun lalu yang 62.9 triliun, itu pula harus dibagi-bagi ke seluruh indonesia,memperbaiki sekolah seperti itu yang tidak sedikit jumlahnya dan biayanya, sampai untuk membantu dosen-dosen melanjutkan s2. kompleks sekali masalah negeri ini. baca ini artikel saya http://membualsampailemas.wordpress.com/2011/04/09/alokasi-pendidikan-20-apbn-kemana-saja/

oiya, mohon ijin untuk memasang gambar di blog saya yang subernya blog anda. makasih.