POLITIK negara di sektor pendidikan nasional seperti tak punya arah. Rakyat bingung menerjemahkan politik pendidikan yang diimplementasikan pemerintah. Anggaran sektor pendidikan coba dinaikkan sesuai titah konstitusi, 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Asumsinya, semua anak didik kita tak akan lagi mengalami kesulitan serius dalam mendapatkan akses belajar dan pengajaran. Ekstremnya, keluarga-keluarga Indonesia tidak lagi terlalu dipusingkan oleh biaya pendidikan anak-anak karena negara lewat APBN telah mengambil sebagian beban biaya anak-anak bangsa. Dengan politik APBN yang memberi porsi besar untuk sektor pendidikan, kita sudah boleh bermimpi tidak akan lagi melihat anak-anak berkeliaran di ruang umum saat jam sekolah berlangsung. Bahkan negara sudah boleh menerbitkan undang-undang wajib belajar bagi setiap anak usia sekolah, tak peduli dia miskin atau kaya. Sebab, demikianlah hakikatnya peran negara dalam menyiapkan generasi penerus.
Hingga hari ini, kita belum melihat negara sedang melakoni politik pendidikan yang mewajibkan setiap anak usia sekolah wajib bersekolah. Bahkan, alat-alat negara yang mengelola sektor pendidikan kita bergerak sangat liar, nyaris tidak memedulikan anak usia sekolah. Di jalan-jalan raya dan di ruang publik lainnya, kita masih melihat begitu banyak anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu mendapatkan akses belajar di sekolah. Masa depan banyak anak-anak kita direnggut begitu saja oleh implementasi politik pendidikan yang lebih mementingkan uang. Sekolah-sekolah negara berlomba-lomba menguras uang keluarga dengan berbagai modus.
Apa yang kita ilustrasikan itu tergambar dengan nyata dari maraknya sekolah negeri yang mengambil inisiatif mengalihkan statusnya menjadi rintisan sekolah bertaraf Internasional (RSBI) atau sekolah bertaraf internasional (SBI). Bagi jutaan keluarga Indonesia, konsekuensi menjadi RSBI atau SBI sangat serius karena menyekolahkan anak di sekolah negeri pun menjadi sangat mahal. Teramat sulit dijangkau oleh jutaan anak dari keluarga yang berpenghasilan pas-pasan. Banyak orangtua hanya bisa bersedih, mengelus dada karena negara membiarkan kecenderungan itu. Inikah implementasi politik negara di sektor pendidikan kita?
Sekolah negeri adalah alat negara yang biaya operasionalnya juga dari negara. Maka, pengelola sekolah negeri harus taat pada kehendak negara. Dia boleh berimprovisasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, manajemen sekolah negeri tak boleh liar. Dia harus tetap dalam rel politik negara di sektor pendidikan, yakni memberi akses seluas-luasnya kepada setiap anak bangsa mendapatkan pengajaran yang bermutu tinggi. Sekolah negeri tidak boleh menjadi sarana "memeras" keluarga Indonesia yang menginginkan anak-anak mereka pandai, kompetitif dan eksis di eranya.
Kita sepakat dengan pendapat seorang ahli pendidikan bahwa modus RSBI atau SBI mengingatkan kita pada politik pendidikan era kolonial. Waktu itu, sekolah mempraktikkan perbedaan kelas untuk pribumi, kulit putih dan China. Sekarang, sekolah negeri membedakan sekolah untuk orang kaya dan sekolah untuk orang miskin. Bukan mengada-ada kalau kita ingatkan bahwa RSBI dan SBI yang diinisiasi banyak sekolah negeri sudah meresahkan masyarakat. Politik pendidikan negara mengarah pada pengastaan sistem pendidikan.
Pemerintah dan DPR harus menghentikan kecenderungan itu. RSBI dan SBI itu manipulatif. Kementerian Pendidikan harus melakukan penertiban. Selain itu, kita juga mendesak agar pemerintah dan DPR segera berinisiatif merevisi Undang-Undang No.20/2003, khususnya pasal 50 ayat 3, sebagai faktor terbentuknya RSBI dan SBI. Kalau dibiarkan, pemerintah bisa dituduh melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 45
Sumber: Suara Karya, Rabu, 19 Mei 2010
No comments:
Post a Comment