-- Dahono Fitrianto dan Ingki Rinaldi
PROF Dr H Ahmad Syafii Ma’arif bukan satu-satunya perantau dari kawasan Kanagarian Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Masih banyak perantau lain yang memilih mencari penghidupan lebih baik di luar desa terpencil itu.
Menurut Syafii, ada dua kakak beradik dari Nagari Silantai, desa sebelah Sumpur Kudus, yang berhasil menjadi guru besar di Universitas Andalas, Padang. ”Namanya Novirman dan Novesar. Novirman doktor lulusan sebuah universitas di Filipina, sementara Novesar doktor lulusan ITB,” tutur Syafii dalam sebuah perbincangan di Maarif Institute di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pertengahan April.
Dalam otobiografinya, Titik-titik Kisar di Perjalananku (Ombak, 2006), Syafii bahkan menyebutkan, paling tidak ada empat nama lain yang berhubungan dengan Sumpur Kudus yang meraih sukses di bidang akademis.
Memang tidak semua orang seberuntung mereka yang bisa menuntut ilmu hingga tingkat tertinggi itu. Sebagian besar merantau sekadar untuk mencari tambahan penghasilan, tak jarang hingga ke negeri jiran Malaysia. ”Saya dulu sempat dua kali pergi ke Malaysia. Yang kedua tidak pakai paspor, masuk lewat Dumai menyeberang ke Malaka, terus ke Kuala Lumpur,” tutur Yusrafizal (38).
Para perantau ini pun membawa pengaruh dan warna tersendiri saat pulang kampung. Salah satunya adalah hobi main biliar atau snooker, jenis olahraga hiburan yang digemari di Malaysia.
Saking banyaknya peminat snooker itu di Sumpur Kudus, Yusrafizal akhirnya membuka tempat biliar di kawasan Pasar Calau, sekitar 2 kilometer dari pusat Nagari Sumpur Kudus. ”Dulu sempat buka, lalu tutup satu tahun. Sekarang buka lagi karena peminatnya masih banyak,” tutur Epi, panggilan akrab Yusrafizal, Selasa (20/4) malam.
Meski sederhana, tempat biliar itu hampir selalu dipenuhi orang tiap malam. ”Mejanya saya bikin sendiri. Karpet dan bolanya beli di Padang. Saya rutin ke Padang buat jual karet, pulangnya beli bola biliar,” ujarnya.
Selain dilengkapi dengan tempat biliar, los pasar yang hanya buka tiap Jumat itu juga disulap menjadi arena bulu tangkis. Beberapa warung pun masih buka hingga malam untuk menyediakan makanan dan minuman bagi warga yang berkumpul untuk main biliar dan bulu tangkis.
Pasar Calau pun menjadi semacam civic center bagi masyarakat Sumpur Kudus. Hampir tak terlihat lagi suasana desa tertinggal di tempat itu. Warga datang menunggang sepeda motor buatan Jepang terbaru.
Para pemain bulu tangkis pun berganti kostum lengkap dengan sepatu kets yang masih mengilap. Di salah satu sudut warung, sekelompok muda-mudi sedang asyik ngobrol dan membuka Facebook dari HP mereka. ”Sekarang hampir semua yang punya HP pasti sudah bisa buka Facebook,” kata Wali Nagari (setingkat kepala desa) Sumpur Kudus Nasirwan (46).
Sejak tersedianya jalan beraspal mulus, listrik dari PLN, dan sinyal telepon seluler, hubungan Sumpur Kudus dengan dunia luar pun makin leluasa. Dan, seperti juga desa-desa lain di dunia ini yang sudah terkoneksi dengan jaringan global, arus globalisasi pun masuk tak terbendung ke Sumpur Kudus. Pergeseran pun mulai terjadi.
Pergeseran
Menurut Nasirwan, sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi anak-anak lelaki yang tiap hari berkumpul, bahkan tidur, di surau. Sesuai tradisi matrilineal di kalangan masyarakat Minangkabau, anak laki-laki tidak memiliki hak atas kamar di rumah. Itu sebabnya mereka lebih banyak tidur di surau.
”Zaman saya kecil dulu, masih merasakan kebiasaan tidur di surau itu. Pulang sekolah langsung menggembalakan sapi. Malam mengaji dan terus tidur di surau. Tidak ada pilihan lain karena tidak ada PR (pekerjaan rumah) atau hiburan TV,” kenang Nasirwan.
Sejak era 1980-an, seiring dengan program-program pembangunan pemerintahan Orde Baru, pola itu mulai berubah. Sekolah mulai memberikan PR bagi para murid dan perubahan pola pertanian membuat lahan penggembalaan sapi menyempit, bahkan hilang sama sekali. ”Ditambah masuknya TV meski masih dinyalakan pakai aki. Anak-anak pun lebih memilih tinggal di rumah untuk menggarap PR dan menonton TV. Kepedulian mereka terhadap adat pun mulai berkurang,” kata Nasirwan.
Demikian juga dengan kultur dan tradisi merantau orang Minang, sudah mengalami pergeseran di sana-sini. Pergeseran paling nyata adalah makin banyaknya orang Minang yang memilih marantau cino atau ”merantau China”, yakni pergi merantau dan tak pernah kembali lagi ke kampung halaman. ”Rata-rata orang Minang yang merantau tidak kembali lagi ke kampung,” tutur Syafii Ma’arif.
Menurut penulis novel ES Ito, pengaruh globalisasi membuat para perantau Minang tidak rindu pulang. ”Di mana-mana semuanya seragam, sama saja,” tutur penulis yang berasal dari Kamang, Bukittinggi, Sumatera Barat, ini.
Kehilangan
Pengamat kebudayaan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Yasraf Amir Piliang, khawatir makin banyaknya orang yang merantau China itu membuat kondisi brain drain alias kehilangan sumber daya intelektual di Sumatera Barat sendiri.
”Sekarang agak susah mencari orang-orang Minang yang sukses secara intelektual. Mereka lebih banyak merantau untuk berdagang atau berbisnis. Motifnya ekonomi,” ungkap Yasraf yang berasal dari Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Padahal, pada masa lalu, para intelektual asal Minang inilah yang berperan besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Sebut saja nama-nama seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, M Natsir, Mohammad Yamin, hingga Tan Malaka adalah orang-orang asli Minang. ”Mereka jadi ’orang’ setelah bergumul dengan kultur lain di rantau,” tulis Syafii dalam otobiografinya.
Menurut Yasraf, dengan makin berkurangnya orang-orang berkualitas yang berkiprah di kampung halamannya sendiri, akhirnya pembangunan di Sumatera Barat justru lebih banyak didorong oleh para perantau dari luar Minang.
Motif merantau pun bergeser. Dari sekadar motif sosial ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dalam hal ilmu dan materi, kini mulai bergeser dengan motif adat. ”Di luar alasan ekonomi, (orang Minang) merantau juga untuk melepaskan diri dari kekangan adat. Banyak unsur suku lain (di luar Minang) yang lebih manusiawi,” ungkap Syafii Ma’arif.
Sistem matrilineal yang diterapkan di masyarakat Minangkabau dalam beberapa hal memang terlalu memarjinalkan kaum laki-laki, seperti tidak adanya hak waris anak laki-laki terhadap harta benda orangtuanya. ”Sekadar satu biji piring pun kami tidak berhak. Kakak laki-laki saya yang kembali ke kampung tidak berhak menempati rumah pusaka peninggalan orangtua meski rumah itu kosong,” ungkap Yasraf.
Menurut Yasraf, masyarakat Minangkabau perlu melakukan reposisi budaya dalam konteks globalisasi sekarang ini. ”Tafsiran hermeneutik terhadap berbagai aspek warisan kebudayaan Minangkabau harus diberi tempat, sekali lagi, bukan untuk mengubah prinsip-prinsip dasarnya, melainkan memberinya tafsir dan makna-makna baru agar keberadaannya di dalam kancah globalisasi lebih dapat diterima, diapresiasi, dan dipahami,” tutur Yasraf. (BUDI SUWARNA)
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment