APA kabar syair dan pantun Melayu? Masih adakah karya sastra tertua ini dibuat pada era sekarang? Jangan-jangan tak pernah ada lagi karya syair dan pantun terbaru yang dibuat orang, kecuali "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang bernilai religius dan monumental itu.
Asumsi itu ternyata keliru. Pada era kehidupan sastra, khususnya sajak (puisi) yang sudah begitu banyak jenis dan ragamnya -- seperti puisi mbeling, puisi mini kata (haiku), puisi pesantren, puisi internet, dan masih banyak lagi -- syair dan pantun masih dibuat orang. Seperti buku kumpulan syair dan pantun Bual Kedai Kopi karya Hj. Suryatati A. Manan dan Martha Sinaga yang diperbincangkan pekan kemarin di sebuah hotel di Bandung.
Buku berisi 19 syair dan 15 pantun dari Suryatati dan 35 syair dan 11 pantun karya Martha Sinaga ini, dibahas Ahmadun Y. Herfanda, Sides Sudyarto D.S., dan Matdon.
Suryatati A. Manan dikenal sebagai Wali Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau. Sementara Martha Sinaga dikenal sebagai wartawati penulis.
Namun persoalannya adalah apakah syair dan pantun sebagai bentuk sebuah kesaksian realitas manusia pada zamannya yang ditulis kedua penyair ini harus "steril" dari perubah-an? Padahal manusia terus berubah. Kebutuhan manusia dalam menggunakan bahasa sebagai media berekspresi notabene juga berubah. Akan tetapi, mengapa Ahmadun Y. Herfanda justru menganjurkan buku yang ini harus direvisi? Di sinilah titik diskursus mengapa diskusi yang dihadiri sebagian besar masyarakat Kepulauan Riau ini menjadi perdebatan menarik.
**
DALAM pandangan Sides, "Bual Kedai Kopi" bukanlah sebuah bualan, melainkan sebuah kesaksikan dua pribadi mengenai realitas sosial yang memancing kritik kedua penulis. Kesaksian dan kritik sosial itu dikemas dalam bentuk pantun dan syair.
Dengan demikian, antologi karya kedua penyair ini, menurut dia, mempunyai dua fungsi ganda. Di satu sisi, ke-dua penyair ikut melestarikan bentuk pantun dan syair sebagai genre sastra. Di sisi lain, mereka menyampaikan sumbangan pemikirannya berupa keprihatinan menyangkut lingkungan manusia dan lingkungan hidup yang sedang meradang akibat ulah sesama manusia.
Tentu saja, sudut pandang kedua penyair ini berbeda. Suryatati A. Manan sebagai orang yang memangku jabatan pemerintah banyak menulis tentang pekerja di jajaran birokrasi. Sementara Martha Sinaga yang mempunyai latar belakang sebagai jurnalis, banyak menyoroti berbagai hal tentang nasib dan kehidupan masyarakat luas.
Persamaan keduanya mencoba bicara jujur dan terbuka. Mereka juga berbicara apa yang mereka ketahui. Mereka tidak berbicara apa yang mereka tidak ketahui. Hasilnya, karya lugu yang disampaikan dalam bahasa merakyat, komunikatif, dan mudah dicerna oleh kalangan atas hingga pa-ling bawah. Keduanya memihak kepada kepentingan rak-yat, terutama kaum lemah terpinggirkan.
Sejak dulu, kata Sides, syair dan pantun telah memainkan peran dalam kebudayaan Melayu. "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji sangat sarat dengan nilai religius. Sitor Situmorang termasuk penyair era kekinian yang menggunakan jiwa pantun untuk karya puisinya yang berjudul "Lagu Gadis Itali".
**
SEDANG Almukarom Kyai Majelis Sastra Bandung ini, menyoalkan "Bual Kedai Kopi" pada muatan lokal dan profannya. Ia membandingkannya dengan sisindiran yang berkembang di Tatar Parahyangan.
Sebagai identitas lokal, "Bual Kedai Kopi" dapat dikenali dari judulnya. Kata "Bual" sudah menjadi penanda pragamatik kelokalan itu. Ini bagus, karena dengan pemilihan kata "Bual" sebagai judul, kedua penyair menyadari betul estetika lokal yang dipilihnya. Hal ini juga memperjelas dasar keberangkatan kedua penyair dari Kepulauan Riau. Bahkan lokalitas sebagai tanda ini tidak berhenti pada "kelokalan", tetapi menjadi local genius karya sastra yang juga mengemban misi universal.
Ia menilai, pantun sebagai alat pemelihara bahasa, penjaga kata, dan mampu menjaga alur berpikir. Melatih sese-orang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar.
Kendati begitu, Matdon juga menenggarai, telah muncul fenomena pantun dan syair profan yang berkembang di masyarakat. Meski pantun "jenis baru" ini keluar dari pakem pantun dan syair, keberadaannya lebih komunikatif di kalangan anak muda. Bahkan sejalan dengan fungsi pantun dan syair pada dasarnya, pantun dan syair profan ini kerap pula menjadi media komunikasi rekreatif yang menghibur. Contoh, Jaka Sembung bawa golok/teu nyambung goblok/ atau buah pepaya buah kendondong/orang kaya minta rokoknya dong/ dan seterusnya.
Bagi Matdon, pantun dan syair profan seperti itu sah-sah saja. Toh fungsi kata yang terangkum dalam bahasa dan terekspresikan dalam pantun dan syair sebagai genre sastra, pada hakikatnya adalah media komunikasi masyarakat pada zamannya.
Dalam kaitan "Bual Kedai Kopi", Matdon senada dengan Sides. Dia lebih menyoroti pesan yang disampaikan kedua penulis. Menurut dia, Suryatati dan Martha merupakan penyair pantun dan syair yang telah menguraikan banyak tentang potret sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dengan bahasanya yang lugas telah jujur berujar. Beberapa karya malah menunjukkan pengolahan kata dalam pantun dan syair di dalamnya, terasa sangat kental dan intens sehingga penyair mampu menggiring pembacanya pada wilayah empiris dalam memahami kehidupan.
**
BERBEDA dengan kedua pembicara ini, Ahmadun Y. Herfanda justru memperkarakan kedua penulis yang telah berani mengubah pola dan pakem pantun dan syair. Menurut dia, hal ini berbahaya karena akan mengubah definisi pantun dan syair yang telah diyakini dan dipahami selama ini.
Kedua penyair dengan lelua-sa mengubah pola pantun dan pola syair dengan lebih bebas. Bukan hanya pola pantun ab ab atau aa aa yang diubah, tetapi jumlah suku kata pun menyimpang dan tidak dihiraukan lagi. Padahal syair memiliki konvensi yang ketat, rimanya harus aa, dan kepanjangan baris 8-12. Syair diadopsi dari sastra Arab. Jumlah suku kata perbaris 8-12 suku kata perbaris dan pola suku kata terakhirnya "a" semua.
Sementara eksistensi pantun dan syair juga sudah menjadi common sense dan konvensi masyarakat Melayu. "Bagaimana mungkin pantun dan syair dibongkar-bongkar seperti ini, padahal bentuk pantun dan syair ada konvensinya," ucap Ahmadun.
Kendati begitu, Ahmadun menilai, karya pantun dan syair milik Suryatati cenderung lebih tertib dibandingkan dengan karya pantun dan syair milik Martha. Hal ini bisa jadi dipengaruhi latar belakang kedua penyair. Surya-tati sebagai birokrasi yang cenderung masih memegang teguh aturan-aturan baku dan konvensi. Sementara Martha jurnalis yang cenderung "nakal" dengan ide-idenya sehingga memengaruhi pola dan rima pantun dan syair.
Padahal, setiap karya sastra itu, kata Ahmadun, ada genrenya masing-masing. Kalau saja kedua penyair menamakan "Bual Kedai Kopi" ini sebagai genre pantun dan syair bebas, mungkin keberadaannya tidak jadi "mengaburkan" definisi dan eksistensi pantun dan syair. Oleh karena itu, Ahmadun menganjurkan untuk merevisinya. "Atau bila kedua penyair terutama Martha ingin berekspresi lebih bebas dan leluasa, tuangkan saja dalam bentuk puisi. Bukan dalam bentuk pantun dan syair," ucapnya.
Walaupun begitu, Suryatati dan Martha saat mempertanggungjawabkan karyanya me-ngatakan, "Bual Kedai Kopi" telah lahir dan menjadi kesaksian dari sebuah realitas manusia dan kehidupannya. Kalaupun karya itu dinilai telah menyimpang dan keluar dari konvensi pantun dan syair, biarkanlah pula menjadi penanda sejarah. "Tidak akan terlahir sebuah kebenaran tanpa kesalahan yang mencuat ke permukaan," tutur Martha. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment