Saturday, May 08, 2010

Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul

-- Maria Hartiningsih

INDONESIA setelah reformasi 1998 dikenal sebagai negara transisi demokrasi yang relatif tenang. Namun, pada saat yang sama, keberagaman Indonesia terancam. Fenomena menggunakan demokrasi untuk memaksakan moral kebenaran tunggal melalui kebijakan formal juga semakin jelas.

International Center for Islam and Pluralism (ICIP) mencatat digunakannya strategi ’pintu belakang’ dengan pengerahan massa, propaganda antipluralisme, dan pemaksaan pada pemerintah untuk mengakomodasi agenda-agenda politik agama.

Selama beberapa tahun sejak tahun 2005, dilaporkan terjadinya serangkaian pembakaran masjid serta kekerasan terhadap anggota kelompok Ahmadiyah, selain perusakan dan penutupan rumah ibadah di Jakarta, Jawa Barat, dan lain-lain.

Dalam laporan The Condition of Religious and Faith Freedom in Indonesia, Institut Setara untuk Demokrasi dan Perdamaian mencatat 265 kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama pada Januari-Desember 2008 atau hampir dua kali dibandingkan dengan pada periode sama tahun sebelumnya.

Laporan tahun 2008 mengenai Religious Pluralism: Tracing the Footsteps of an Incresingly Devided Nation oleh Wahid Institute mengindikasikan 60 persen peristiwa kekerasan antar- warga di berbagai komunitas terkait dengan agama.

”Meningkatnya kekerasan oleh kelompok radikal konservatif tampaknya harus menjadi catatan bersama,” ujar Direktur Eksekutif ICIP Dr Syafii Anwar.

Tanpa tuntunan

Meski tantangannya berat, Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Küng (82) sangat yakin, pluralisme Indonesia akan tetap kokoh. Namun, dibutuhkan landasan yang sangat kuat untuk memeliharanya.

Teolog, pemikir, dan filsuf terkemuka dunia itu berada di Indonesia selama hampir sepekan atas undangan ICIP, dibantu Kedutaan Swiss di Jakarta. Ia melakukan serangkaian ceramah dan dialog dengan berbagai pihak yang bekerja untuk isu perdamaian, hak asasi manusia, dan dialog antariman di Jakarta dan Yogyakarta.

Menurut dia, saat ini manusia berada di tengah kekosongan orientasi, baik terlepas maupun terkait dengan globalisasi. Dunia diwarnai ketiadaan visi besar, kain kusutnya berbagai masalah yang tak terselesaikan, kelumpuhan politik serta kepemimpinan politik di tangan para mediocre tanpa wawasan dan perspektif masa depan.

Itu semua menyebabkan krisis fundamental di seluruh ranah kehidupan. Agama dan politik saling memecah, perang dan konflik terus terjadi, dan hampir tidak ada prinsip-prinsip yang menjadi tuntunan.

Penulis puluhan buku penting penting menyangkut etika, pemikiran, dan sejarah agama-agama besar itu mengungkapkan carut-sengkarut dunia saat ini: ratusan juta orang—jumlahnya bertambah setiap detik—menderita akibat pengangguran dan pemutusan hubungan kerja, kemiskinan, kelaparan, dan keruntuhan keluarga. Kerusakan ekosistem yang mengancam kehidupan semua makhluk di Bumi.

”Kita hidup di suatu masa, di mana banyak kekuasaan moral kehilangan kredibilitasnya, banyak lembaga terperangkap dalam krisis identitas yang parah, banyak nilai diselewengkan, suatu masa di mana orang bisa duduk berjam-jam berhadapan dengan realitas maya,” sambung penulis buku My Struggle for Freedom: Memoirs (2003) ini.

Prinsip universal

Prof Küng meyakini, ”Tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog di antara para pengikutnya. Trust dibangun dari situ. Namun, tidak ada dialog antaragama tanpa standar-standar etik global. Tak ada kesetaraan dan keadilan bisa dipertahankan tanpa paradigma baru dalam hubungan-hubungan, tanpa standar-standar etik global.”

Ia menyadari, agama tak bisa menyelesaikan masalah politik, ekonomi, dan sosial di dunia. Namun, prinsip-prinsip moral universal yang dikandung dalam semua agama dan keyakinan dapat mengubah orientasi di dalam diri setiap individu, mentalitas dan hati orang, dan menggerakkan untuk menuju orientasi hidup yang baru.

Meski demikian, agama hanya dapat memberi cakrawala pemaknaan manusia terhadap hidup dan menjadi rumah spiritual, kalau dapat menghapus konflik yang muncul dari dalam dan membongkar citra atas sikap bermusuhan, kecurigaan, ketakutan, dan ketidakpercayaan terhadap semua yang dianggap ’berbeda’.

”Ada soal interpretasi teks dalam masalah itu,” ujar penulis buku Islam: ”Past, Present and Future” (2007) itu.

Toh istilah ’standar’ dan ’global’ tetap saja menuai pertanyaan. Seorang penanya bahkan memasuki wilayah teologi yang menarik garis tegas keterpisahan antaragama.

Penulis buku Global Ethic for Politics and Economics (1997) itu menegaskan, Etik Global tidak bermaksud menyatukan agama, melainkan mentransendensikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar semua agama dan keyakinan, baik bagi orang beragama maupun non-believers.

Perbincangan mengenai Etik Global telah mempertemukan Prof Küng dengan Paus Benediktus XVI, September 2005, di luar ketidaksepahaman tentang doktrin gereja yang menyebabkan ketegangan antara Vatikan dan Prof Küng. Paus bahkan memuji komitmen Küng dalam menyebarkan nilai-nilai Etik Global itu.

Menuju Etik Global

Dalam wawancara dengan Kompas, Prof Küng—didampingi Dr Stephen Schlensog, Sekjen Global Ethic Foundation—menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip itu muncul dan dikembangkan. Ia seperti menegaskan kembali apa yang ia paparkan dalam pidato pembukaan Pameran ”World Religions-Universal Peace-Global Ethic” di Washington DC, AS, September 2002.

Ia membandingkan kristal di alam dan kultur dalam kehidupan manusia. Seperti bentuk dan warna kristal yang tak terhitung jumlahnya di alam, kultur mengandung nilai-nilai moral, pun berbagai agama dan norma-norma yang tak terhitung jumlahnya.

Seluruh kristal di alam berasal dari 32 kelas kristal. Struktur simetris dari setiap kelas menunjukkan tujuh bentuk sederhana dari kristal. Dalam tradisi beberapa kebudayaan besar yang berasal dari Timur Tengah, India, dan China, juga terdapat lima, enam, atau tujuh elemen dasar norma-norma etika.

Kendati begitu, ada perbedaan besar antara struktur kristal dan struktur norma-norma etika yang tak boleh diabaikan. Struktur kristal terjadi secara alamiah dalam proses evolusi kosmos. Sedangkan struktur elemen dasar dari gagasan norma dan nilai dibentuk sejalan dengan evolusi manusia, oleh manusia sendiri, dalam proses sosial yang sangat rumit dan dinamis.

Itu berarti, jika suatu kebutuhan yang menjadi keprihatinan dan kepentingan bersama muncul dalam kehidupan, aturan-aturan yang mengatur tingkah laku manusia menjadi sangat penting.

Itulah norma-norma etik, yang mendasari prioritas, konvensi, hukum, petunjuk, adat-istiadat, dan lain-lain.

Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010

No comments: