JAKARTA, KOMPAS - Genap berusia 80 tahun pada Senin (10/5), wartawan tiga zaman Marthias Duksy Pandoe, Sabtu di Ballroom Gedung Penerbitan Kompas, Jalan Palmerah Barat, Jakarta, meluncurkan buku Jernih Melihat Cermat Mencatat (Editor Julius Pour, Penerbit Buku Kompas, Mei 2010). Wartawan senior yang sudah pensiun dari Kompas itu tak ingin berhenti menulis. Banyak keteladanan yang patut ditiru wartawan muda.
”Menulis untuk terhindar dari kepikunan,” ujar Marthias Dusky Pandoe. ”Saya menulis sampai di usia senja, tantangan bagi generasi muda untuk lebih produktif di usia muda. Saya menjadi wartawan tanpa ijazah. Ini tantangan bagi mereka yang mengantongi ijazah perguruan tinggi, lebih-lebih jurusan jurnalistik, publistik, komunikasi massa.”
Peluncuran buku kedua Pandoe setelah yang pertama, A Nan Takana (Penerbit Buku Kompas, 2001), ditandai penyerahan buku oleh Executive Chairman Kompas Gramedia Jakob Oetama kepada Marthias Dusky Pandoe. Hadir sejumlah tokoh pers, seperti Rosihan Anwar, Dja’far Assegaf, Basril Djabar, Rikard Bagun, Sutan Zaili Asril. Juga mantan menteri Fahmi Idris, Hasan Basri Durin, sejarawan Taufik Abdullah, dan sejumlah tokoh Sumatera Barat.
Marthias Dusky Pandoe dilahirkan di Kampung Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 10 Mei 1930. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1953 dalam koran sore Keng Po. Kemudian pindah ke Pemandangan, Abadi, Aman Makmur, dan tahun 1970 bergabung dengan Kompas sampai pensiun tahun 1998. Hingga kini ia masih aktif menulis.
Kritis dan cerdas
Jakob mengatakan, walau Marthias tidak memiliki ijazah, ia tak kalah dari wartawan lulusan perguruan tinggi. Hal itu karena Marthias terus belajar. Otodidak. Pekerja keras, gemar membaca, dan membangun jaringan luas. ”Bung Marthias sosok pekerja keras, cerdas, dan tajam melihat persoalan. Inisialnya MDP nyaris identik dengan Sumatera Barat, dengan sosiologi budaya Minang, termasuk kedekatan yang disertai sikap kritis dan kecerdasan mengambil jarak dengan sumber berita, terutama dengan kalangan pejabat. Sikap itulah yang mengesankan saya,” katanya.
Marthias Pandoe mengatakan, ”Saya dididik 20 tahun oleh Pak Jakob Oetama.”
Bung Marthias, kata Jakob, ibarat ”pembawa bendera” karena Bung Marthias, Kompas dikenal di ranah Minang. Sebaliknya, karena Kompas keberadaan Sumatera Barat lebih dikenal luas, yang sudah dikenal sejak tahun 1920-an lewat nama-nama besar dan karya-karya fiksi klasik Indonesia.
Rosihan Anwar, senior Pandoe yang lebih tua 8 tahun dan lahir pada tanggal yang sama, mengatakan, Pandoe telah membuktikan dalam kariernya sebagai wartawan yang sangat berharga dan menentukan, yaitu integritas, jujur pada diri sendiri, keikhlasan dengan hati. (NAL)
Sumber: Kompas, Minggu, 9 Mei 2010
No comments:
Post a Comment