-- Yurnaldi
DI Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, banyak bukti yang bisa disaksikan tentang kebesaran peradaban Majapahit. Peradaban tersebut berkembang lebih dari 200 tahun, mulai berdiri tahun 1293 dan diperkirakan runtuh tahun 1521 Masehi.
Gapura Bajangratu, peninggalan Kerajaan Majapahit di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pintu gerbang berbentuk paduraksa dengan tinggi 16,5 meter, dengan seni pahat pada bata ini, diduga merupakan gerbang masuk menuju pusat pemerintahan Majapahit. (KOMPAS/YURNALDI / Kompas Images)
Situs Trowulan sangat penting dari sisi sejarah dan bisa mengungkap kebesaran bangsa ini pada masa silam. Yang menggelikan, Trowulan juga punya arti khusus bagi yang percaya mistis.
”Karena itulah, banyak tokoh politik yang datang ke kawasan Trowulan untuk ’mencari ilham’,” kata Supardi (66), juru kunci di Wringin Lawang, salah satu dari ribuan artefak di Trowulan, seraya menyebut sejumlah nama.
Karena itu, tidak aneh ketika muncul pertanyaan, apakah pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) dalam kawasan Majapahit Park bermuatan politis? Mengapa proyek PIM terkesan terburu-buru sehingga mengabaikan perizinan dan prosedur arkeologis?
Apa pun alasannya, ”Pemerintah tak bisa seenaknya merusak situs yang sangat bersejarah dan unik di mata dunia itu. Tindakan sekecil apa pun harus berlandaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, a tetapi di atas semua itu harus dilandasi etika moral dan hati nurani,” ujar arkeolog dari Universitas Indonesia, Prof Dr Mundardjito yang didampingi Arya Abieta, Osriful Oesman, Daud Aris Tanudirjo, dan Anam Anis dari Tim Evaluasi Pembangunan PIM.
Pentingnya Trowulan
Hasil rapat 8 Januari 2009 dengan puluhan pemangku kepentingan di Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, disepakati Situs Trowulan yang rusak akibat proyek PIM harus direhabilitasi dan diteliti kembali dengan melibatkan para ahli. Selain itu, proyek tersebut harus dicarikan alternatif lokasi yang baru (relokasi) ke tempat yang tidak merusak situs.
Trowulan, sekitar 60 kilometer barat daya Kota Surabaya, diduga merupakan ibu kota kerajaan saat Majapahit mencapai puncak kejayaan. Pada areal 11 kilometer x 9 kilometer, sebagaimana yang pernah diteliti Nurhadi Rangkuti, telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih kurang 6,5 hektar, serta dua pintu gerbang; Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang. Selain itu, ditemukan permukiman dan pendapa kuno, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong.
Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Hari Untoro Dradjat mengatakan, Situs Trowulan merupakan satu-satunya peninggalan purbakala berbentuk kota dari era kerajaan-kerajaan kuno di masa klasik Nusantara, dari abad V sampai XV Masehi.
”Sebagai bekas kota, di Situs Trowulan dapat dijumpai ratusan ribu peninggalan arkeologis baik berupa artefak, ekofak, serta fitur,” katanya.
Situs bekas kota Kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yang merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung, yaitu Gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasamara.
Mundardjito mengatakan, dari kerajaan lain yang tersisa hanya candi-candi atau prasasti.
Jika Yunani memiliki Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan Pompeii, Kamboja bangga dengan Angkor Wat, dan Peru masih setia merawat Machu Picchu, Indonesia hanya memiliki Trowulan yang hingga saat ini pun belum tergali sempurna.
Menurut data, penelitian terhadap Situs Trowulan pertama kali dilakukan oleh Wardenaar pada tahun 1815. Ia mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan arkeologis di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar tersebut dicantumkan oleh Raffles dalam bukunya, History of Jawa (1817), yang menyebutkan berbagai obyek arkeologis yang berada di Trowulan sebagai peninggalan dari Kerajaan Majapahit.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh WR van Hovell (1849), JVG Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian RDM Verbeek (1889), RAA Kromodjojo Adinegoro seorang Bupati Mojokerto (1849-1916), J Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921-1924).
Hasil penggalian di Situs Trowulan menunjukkan bahwa sebagai tempat terakumulasinya aneka jenis benda yang biasa disebut kota ini tidak hanya berupa situs tempat tinggal saja, tetapi juga terdapat situs-situs lain, seperti situs upacara, situs agama, situs bangunan suci, situs industri, situs perjagalan, situs makam, situs sawah, situs pasar, situs kanal, dan situs waduk. Situs-situs ini membagi suatu kota dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil dengan tembok keliling blok-blok segi empat dan diikat oleh jaringan jalan.
”Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Hasil penelitian kerjasama Bakosurtanal dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan itu diketahui bahwa Situs Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas, memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna tanah,” kata peneliti Nurhadi Rangkuti.
Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil lagi.
Tindakan destruktif
Penelitian dan penggalian arkeologis sampai sekarang masih berlangsung, tetapi kalah cepat dengan penggalian yang dilakukan masyarakat. Lihatlah, di sekitar situs, ribuan warga melakukan tindakan destruktif berupa pembuatan batu bata atas nama desakan kebutuhan hidup.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo mengatakan, situs Majapahit di Trowulan mengalami kerusakan sejak tahun 1990. Sedikitnya 5.000 keluarga menggantungkan hidupnya pada industri batu bata yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit.
”Tindakan destruktif sebagian masyarakat berlangsung terus- menerus dan semakin meluas. Kondisi ini semakin menyulitkan upaya menyelamatkan situs,” katanya.
Menurut Mundardjito, agar pembangunan kawasan Trowulan tidak menimbulkan dampak negatif, perlu segera ditetapkan secara hukum batas-batas kawasan dan batas-batas zona di dalam kawasan itu secara geografis, administratif, dan kultural sehingga jelas mana wilayah perlindungan dan mana wilayah pengembangan.
Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, juga mengatakan hal senada.
Belum ditangani khusus
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengakui sisa-sisa kejayaan Majapahit selama ini belum ditangani secara khusus. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan, tak kurang dari 6,2 hektar lahan di Situs Trowulan rusak setiap tahunnya.
Arkeolog Mundardjito ketika memaparkan hasil seminar ”Integratif Kajian dan Perlindungan Situs Kerajaan Majapahit” di Jakarta, Mojokerto, dan Depok tahun 2008, menegaskan, pembangunan kawasan Trowulan seharusnya dilandasi dengan konsep pembangunan berwawasan pelestarian dan pelestarian berwawasan pembangunan. Ini berarti bahwa di kawasan ini tidak mungkin melaksanakan pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek pelestarian peninggalan Majapahit.
”Pembangunan kawasan ini harus dilandasi konsep pengelolaan secara bersama, untuk kepentingan bersama, dan berdasarkan kesepakatan dari semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Rencana induk yang integratif semacam itu hingga sekarang belum dibuat. Padahal, sudah saatnya kawasan Trowulan dikelola secara integratif dan partisipatif. Artinya, masyarakat juga dilibatkan agar bertanggung jawab memelihara Trowulan. Sebab, inilah peninggalan kebesaran Kerajaan Majapahit yang masih tersisa hingga sekarang....
Sumber: Kompas, Selasa, 13 Januari 2009
No comments:
Post a Comment