RASA ingin tahu Mundardjito terhadap segala hal yang berbau ilmiah muncul sejak ia kecil. Ayah Mundardjito, drh Soedardjo, pernah menjabat sebagai Kepala Kebun Raya Bogor di era prakemerdekaan. ”Rumah kami dulu berada di dekat Museum Geologi dan Herbarium. Jadi, sejak kecil saya sudah dekat dengan alam, karena tepat di belakang rumah sudah hutan,” tutur anak kedua dari enam bersaudara ini.
Salah satu tugas ayah Mundardjito adalah mengklasifikasi berbagai jenis tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bogor. Mundardjito kecil sering diajari ayahnya bagaimana metode klasifikasi tanaman tersebut. ”Itu yang mengilhami saya pertama kali. Arkeologi adalah ilmu klasifikasi juga, meski obyeknya berbeda,” tuturnya.
Pengalaman masa kecilnya itulah yang ia bawa hingga ke bangku sekolah dan akhirnya masuk ke Jurusan Arkeologi UI pada pertengahan 1950-an. Kecemerlangan Mundardjito di kampus membuat ia langsung dipercaya sebagai asisten dosen begitu ia lulus sarjana muda.
Ekologi
Gelar doktornya pun diraih tanpa melalui jenjang S-2 lebih dulu. Selain secara teknis masih memungkinkan pada waktu itu, karya-karya penelitiannya sudah dianggap layak untuk langsung masuk dalam program pascasarjana setingkat S-3. ”Saya masuk program pascasarjana tahun 1991, setahun kemudian sudah selesai karena penelitiannya sudah saya lakukan sebelum masuk. Jadi, setelah siap dengan hasil penelitian, baru saya putuskan masuk program pascasarjana,” kenangnya.
Obyek penelitiannya adalah candi-candi Hindu-Buddha di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi Mundardjito mengambil sudut pandang yang berbeda.
”Jika selama ini orang hanya melihat dari sudut pandang proses pembangunan dari sisi keagamaan, saya melihat dari sudut pandang ekologi atau lingkungan di sekitar candi,” ungkapnya.
Dalam disertasinya tersebut, Mundardjito mengatakan bahwa sebuah candi didirikan di sebuah lokasi bukan hanya karena pertimbangan keagamaan, melainkan juga melibatkan pertimbangan ekologis, seperti jarak dari sungai, kemiringan tanah, kesuburan tanah, dan kedalaman sumber air tanah. ”Sebuah candi tidak dibangun untuk kemudian ditinggalkan, tetapi untuk digunakan. Dan, orang yang menggunakan candi itu harus bisa hidup di sekitarnya sehingga membutuhkan syarat-syarat seperti kemiringan tanah yang tidak terlalu terjal, dekat dengan sumber air, dan bisa bercocok tanam,” paparnya.
Layangan putus
Meski disertasi ini sudah selesai pada 1992, ujian doktornya baru digelar pada 1993 karena berbagai kendala teknis. ”Waktu itu, ujian doktor hanya bisa digelar tiap hari Sabtu dan harus dipimpin rektor. Saya sampai sudah bosan mempersiapkan ujian. Isi disertasi sudah hafal di luar kepala,” kenang Mundardjito.
Hanya dua tahun setelah mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude, Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi, sampai pensiun pada 2001. Namun, setelah pensiun, ia tetap diminta menjadi guru besar tidak tetap di UI sampai sekarang. ”Saya dulu mengira setelah pensiun bisa hidup lebih santai dan tenang. Ternyata malah dua kali lebih sibuk. Saya sekarang seperti layangan putus, diperebutkan banyak orang,” tuturnya.
Seperti saat ini, saat seluruh rakyat Indonesia membutuhkan keahlian dan kepakaran Mundardjito untuk menyelamatkan lapisan-lapisan sejarah yang sangat penting bagi jati diri bangsa ini. (DHF)
Sumber: Kompas, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment