Sunday, January 04, 2009

Bayang-bayang Sebuah Kejayaan

-- Dahono Fitrianto & Ingki Rinaldi

MASIHKAH kita harus bertanya, seberapa besar makna Majapahit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini?

Peserta kirab Budaya Majapahit berdandan laksana raja Majapahit pada Grebeg Suro di kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (30/12). (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images)

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, setiap orang Indonesia telah diajari betapa besar arti Kerajaan Majapahit bagi bangsa ini. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika kita ambil dari karya sastra era Majapahit, kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.

Sang Merah Putih pun sering disebut-sebut diilhami panji-panji Gula Klapa dari Majapahit, yang memiliki warna merah seperti gula (jawa) dan putih seperti daging kelapa. Lebih jauh dari itu, gagasan Wawasan Nusantara (dan kata nusantara itu sendiri) yang menjadi landasan bagi konsep NKRI juga diambil dari Majapahit.

Sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia Since C.1200 (Stanford University Press, 2001) menyebutkan, memori akan kebesaran Majapahit hidup terus di Indonesia dan dianggap telah memunculkan gagasan awal tentang batas- batas politik yang digunakan RI saat ini.

Para raja kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa setelah Majapahit selalu melihat ke belakang dengan bangga dan berusaha mengaitkan dirinya sebagai keturunan langsung atau paling tidak penerus kebesaran Majapahit. Hingga di abad ke-21 ini, masyarakat dan para pejabat pemerintahan kita masih terus berikhtiar membuat ”koneksi” dengan Majapahit.

Mengenang kejayaan

Beberapa titik di kawasan bekas ibu kota Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, hingga saat ini selalu dikunjungi masyarakat untuk berziarah. Salah satu titik ziarah itu adalah Pendapa Agung, sebuah tempat yang dipercaya masyarakat sebagai lokasi asli pendapa Kerajaan Majapahit di masa lalu.

”Dari artis sampai bapak- bapak pejabat, mulai dari para jenderal sampai presiden, sering datang ke sini untuk berziarah,” ungkap Zaini, warga Trowulan yang hari Minggu (28/12) malam sedang berziarah ke Pendapa Agung.

Menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim, secara arkeologis di lokasi itu hanya ditemukan 26 umpak batu, tiang batu miring, dan struktur batu bata di bawah lokasi makam Kubur Agung.

Tiang batu miring itu dianggap sebagai tonggak tempat menambatkan gajah milik raja, sementara lokasi Kubur Agung dipercaya sebagai titik yang digunakan Raden Wijaya untuk bertapa sebelum mendirikan Majapahit pada tahun 1292 (ada juga yang menyebut 1293) dan tempat Gajah Mada memantapkan hati sebelum mengucapkan Sumpah Amukti Palapa. ”Ya, di sini ini kejayaan bangsa kita berawal, Mas!” tukas Joko, seorang peziarah dari Rembang, Jawa Tengah, pada hari Minggu yang bertepatan dengan Malam 1 Suro itu.

Sari pati

Selain Pendapa Agung, titik tujuan peziarah lainnya adalah kompleks Makam Troloyo dan Siti Hinggil, yang dipercaya sebagai makam Raden Wijaya. ”Paling ramai setiap malam Jumat Legi. Orang bisa antre untuk bisa masuk kompleks makam,” ujar Ny Sarjono (42), penduduk asli Trowulan yang membuka warung makan di dekat Makam Troloyo.

Mereka datang ke lokasi-lokasi itu dengan berbagai tujuan. Ada yang sekadar mencari berkah, ada yang bertujuan mengasah ilmu kebatinan, bahkan ada yang berniat mencari pusaka peninggalan Majapahit. ”Yang paling penting kita mengenang dan meneladani kebesaran para leluhur dulu. Jadi kalau punya hajat atau niat untuk kiprah besar, kita ke sini untuk mengingat para leluhur kita dulu pernah berhasil mewujudkan kiprah besarnya,” tutur Widagdo (32), peziarah dari Sidoarjo yang tiga tahun terakhir ini rutin datang ke Trowulan tiap malam 1 Suro.

Momen 1 Suro atau Tahun Baru dalam sistem penanggalan Jawa (Islam) di Trowulan juga dimeriahkan dengan Grebeg Suro Majapahit. Sebelas tahun terakhir ini, tradisi tersebut dihidupkan lagi. ”Acara ini digelar untuk memotivasi generasi sekarang agar punya kebanggaan dan kekuatan mental sebagai bangsa Indonesia, yang sari patinya banyak diambil dari zaman Majapahit,” ujar KPA Djati Kusumaningbongso Soeharto Soerjodiningrat, ketua panitia Grebeg Suro Majapahit.

Tak sejalan

Namun, keterikatan dan kepedulian dalam semangat itu kadang tak sejalan dengan kepedulian dalam bentuk fisik. Sudah sejak puluhan tahun silam peninggalan fisik sisa-sisa ibu kota Majapahit di Trowulan terkikis kegiatan ekonomi penduduk di sekitarnya.

Penggalian tanah untuk membuat sawah atau industri batu bata di sekitar Trowulan berlangsung liar tanpa kendali, padahal di mana pun kita menggali di daerah Trowulan, hampir dapat dipastikan akan menemukan sisa-sisa peninggalan Majapahit.

Seperti yang terlihat hari Selasa (30/12), tenda-tenda tempat pembakaran batu bata berderet hanya beberapa meter dari situs Candi Brahu dan Candi Gentong di Desa Bejijong, Trowulan.

Tanah persawahan di sekitar tempat pembakaran itu pun sudah menganga, tergali hingga kedalaman satu meter, sekadar untuk dicetak menjadi batu bata. Ironisnya, terpal- terpal plastik untuk melindungi bata yang belum kering itu ditindih bongkahan batu bata kuno dari era Majapahit. ”Kita gali sedikit saja pasti akan ketemu peninggalan Majapahit. Mulai dari pecahan gerabah, fondasi bata, bahkan pernah ada yang nemu emas,” ungkap Rusiono (46), salah satu pembuat batu bata di Bejijong.

Jika menemukan struktur bangunan kuno, para pembuat bata itu tak ragu untuk membongkarnya meski mereka sadar itu berasal dari zaman nenek moyang. Dulu, saat fondasi-fondasi itu masih banyak ditemukan, bongkaran bata kuno itu dijual dengan harga Rp 1.000 per biji. ”Dulu banyak yang nyari bata seperti ini. Tetapi, sekarang sudah jarang karena batanya tinggal sedikit. Kami juga sudah diperingatkan pemerintah untuk tidak boleh membongkar bangunan kuno lagi,” kata Pomo (49), perajin bata lainnya.

Andil

Kerusakan skala besar itu tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak awal, niat pemerintah untuk melindungi situs ibu kota Majapahit memang tak pernah total. Dari luas keseluruhan kota kuno yang diperkirakan berukuran 9 x 11 kilometer persegi tersebut, pemerintah hanya menguasai sebidang tanah seluas 57.255 meter persegi dan belum bertambah hingga saat ini. Di luar lahan itu, pemerintah tak bisa berbuat banyak mencegah kerusakan yang terjadi.

Tanah, yang berada dekat Situs Kolam Segaran, itu menjadi lokasi berdirinya Balai Penyelamatan Arca, yang lebih dikenal masyarakat sebagai Museum Trowulan dan sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Di lapangan di sebelah museum itulah para arkeolog melakukan ekskavasi dan penelitian arkeologi, karena di bawahnya ternyata tersimpan peninggalan situs kota Majapahit yang sangat kaya.

Namun kini, di lahan yang tak seberapa luas tetapi sangat berharga dan harus dilindungi itu, pemerintah sendiri justru ugal-ugalan mendirikan bangunan beton Trowulan Information Center yang menghancurkan peninggalan purbakala di bawahnya.

Di saat para pemimpin Majapahit dulu mengajarkan kepada kita untuk bercita-cita luhur dan berpandangan jauh ke depan, para pejabat Indonesia masa kini, yang terlibat dalam pendirian bangunan beton itu, sedang mendemonstrasikan penghambaan terhadap kepentingan sesaat dengan mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

Sumber: Kompas, Minggu, 4 Januari 2009

No comments: