Sunday, January 04, 2009

Rossie Setiawan: Menyebarkan Virus Membaca

KOMUNITAS Reading Bugs memang tergolong baru. Perkumpulan yang beberapa anggotanya adalah ibu muda ini baru dibentuk pada April 2008 lalu. Tapi, pesan yang dibawakannya bisa berguna bagi perkembangan balita.

Roosie Setiawan, pendiri komunitas Reading Bugs, ingin menularkan virus membaca kepada semua orang tua, pendidik, dan anak-anak di Indonesia. Lebih khusus pada kepedulian orang tua untuk mau membacakan dengan nyaring sebuah buku cerita kepada anak-anaknya. "Cara itu yang dinamakan read aloud," ujar ibu dua anak ini.

Melalui metode read aloud, membacakan cerita bukan sekadar mengeja atau melafalkan deretan huruf. Tapi, juga mengajarkan cara membangun keingintahuan anak, sekaligus memotivasi mereka untuk bertanya. "Membacakan cerita kepada balita merupakan salah satu langkah untuk membangun karakter dan kepribadian gemar membaca. Sehingga, pengaruh sejak kecil itu dapat tumbuh menjadi sebuah kebiasaan belajar melalui banyak membaca buku ketika sudah bertambah dewasa," kata wanita kelahiran Bandung, 13 April 1956, itu.

Dari gagasan itu, semenjak berdirinya Komunitas Reading Bugs, Rossie aktif mengampanyekan Read Aloud kepada guru dan orang tua melalui workshop-workshop yang digagasnya. Salah satu pesan yang diusung, 20 menit membacakan cerita untuk perkembangan masa depan anak. Selain itu, dia juga berusaha keras untuk menerjemahkan buku Read Aloud Handbook karya Jim Trealease agar semua orang dapat belajar dan tahu cara membacakan cerita yang mampu merangsang keingintahuan anak.

"Buku ini sangat berguna, tapi sayang susah sekali mendapatkannya di Indonesia. Saya saja baru bisa mendapat buku ini ketika di Malaysia. Oleh karena itu, dengan versi bahasa Indonesia ini saya berharap semua orang bisa membacanya," ungkap Rossie.

Setelah buku tersebut diluncurkan pada pertengahan Desember 2008 lalu, dia berencana membagikan 1.000 buku tersebut kepada 1.000 Taman Kanak-kanak terpilih di seluruh Indonesia. Berikut wawancara Rosyid Nurul Hakim dan fotografer Amin Madani, dari Republika, tentang perjalanan sang penyebar virus membaca ini.

Bagaimana awalnya Anda bisa mempunyai ide membentuk komunitas ini?
Saya adalah ibu rumah tangga yang masih bekerja dengan dua anak. Anak saya yang pertama sudah menikah dan yang kedua sudah selesai S1, lalu mengambil S2 di luar negeri. Karena anak saya sudah besar-besar dan tidak satu rumah lagi, saya benar-benar merasa kehilangan. Saya berpikir kalau saya begini terus nanti bakal tidak berguna. Soalnya sebelumnya saya sangat aktif bekerja dan mengurus anak.

Kemudian waktu saya ke Amerika untuk menengok anak yang sedang sekolah pada bulan Januari dan Februari 2008, saya pergi ke toko buku. Kebetulan saya kalau ke mana-mana pasti ke toko buku. Nah, di situ saya melihat ada orang yang membacakan cerita untuk anak. Saya tahu bahwa mendongeng merupakan sebuah kegiatan yang sangat positif dan bermanfaat. Akhirnya saya memutuskan untuk mempunyai sebuah kelompok pendongeng yang nantinya bisa dipanggil ke toko buku, terus ada buku yang dia bacakan untuk anak-anak.

Setelah berada di Indonesia saya kemudian tanya ke sana ke mari siapa yang bisa melakukan ini. Saya mencari orang yang bisa memberikan training bagaimana caranya mendongeng. Akhirnya saya bertemu beberapa nama seperti Mas Agus, Kak Kusumo, sampai pada Ibu Murti Bunanta, salah seorang dari kelompok pendongeng anak. Tapi, untuk menyewa jasa orang-orang tersebut terlampau mahal buat saya, karena satu pertemuan bisa sekian juta.

Saya lalu bertemu dengan seseorang bernama Nanda, salah seorang yang bergerak di KKS (Kelompok Kerja Sosial) Melati. Dari Nanda itu saya diperkenalkan dengan Aryo, dia itu seorang story teller. Dia hobi story telling, tapi background pendidikan dia adalah perpustakaan. Jadi, dia tahu teori-teori yang saya butuhkan. Melalui dia juga saya mencari buku Read Aloud Handbook dan mendapatkan banyak hal yang bermanfaat dari buku tersebut. Selain itu saya jadi sadar bahwa virus membaca itu bisa ditularkan kepada orang lain.

Berawal dari pertemuan itu kami lalu berencana membuat workshop mendongeng. Dalam sebuah workshop perlu organisasi yang bakal mengundang para orang tua tersebut, maka lahirlah Komunitas Reading Bugs. Mimpi saya yang ingin ada orang mendongeng untuk anak di toko buku sedang saya upayakan. Saya sudah kontak Mizan, dan mereka sudah memberi waktu buat saya. Jadi, mereka yang mengatur dan yang mengundang pelanggannya.

Mengapa mengambil nama Reading Bugs?
Nama Reading Bugs itu muncul karena saat itu saya sedang membaca bukunya Paul Jenning yang berjudul The Reading Bug and How You Can Help Your Child to Catch It. Sebuah buku tentang cara untuk para orang tua agar bisa menularkan kebiasaan membaca bagi anak-anaknya.Tapi, kita juga dikenal dengan nama Komunitas Read Aloud karena metode yang kami gunakan memang sesuai dengan buku Read Aloud Handbook milik Jim Trelease. Ternyata saat browsing di internet, di Amerika komunitas ini juga ada. Ada yang namanya Read Aloud West Virginia, ada yang Read Aloud America, Read Aloud Hawaii. Di sana juga ada orang-orang yang ada passion terhadap penyebaran virus membaca dengan membuat workshop-workshop. Jadi, saya meniru konsep itu karena di sana berjalan sangat baik.

Apa sebenarnya manfaat Read Aloud ini?
Ada tiga manfaat penting dari metode ini. Perkembangan otak anak menjadi sehat, kedekatan orangtua dan anak, lalu mengenalkan literasi sejak dini. Untuk perkembangan otak, pada waktu otak anak tumbuh, sinapsnya itu belum tersambung satu sama lain. Diperlukan stimulasi yang baik untuk membuat sinaps ini tersambung. Salah satunya dengan membaca. Dalam kegiatan membacakan cerita untuk anak ada kata-kata yang dia pelajari, ada pengertian dan juga nilai-nilai moral, sehingga perkembangan otak anak menuju pada kualitas yang baik.

Lalu, pada saat anak berumur 0 sampai 6 bulan, kita ingin membangun kedekatan anak dengan orangtua dan membiasakan anak dengan suara orangtua. Jadi, sebenarnya, apa pun yang orangtua baca dengan suara nyaring, baik itu koran atau majalah, nanti anak akan mendengar dan terbiasa dengan suara orangtua sehingga bisa lebih dekat.Kemudian dalam mengenalkan literasi sejak dini, ternyata dengan membacakan cerita, secara otomatis kata-kata yang terekam pada anak akan bertambah. Saat kita berbicara anak akan menangkap kata-kata dalam bahasa lisan, tapi saat kita membacakan cerita, mereka akan mengenal bahasa buku. Anak juga akan mengerti sebuah kata itu digunakan untuk apa, jadi tahu apa itu kalimat, tahu intonasi, yang semua hal ini bisa dijadikan bekal untuk belajar membaca nantinya.

Bagaimana cara Anda menularkan manfaat ini kepada orang lain?
Melalui workshop, kita sudah dua kali mengadakan workshop. Dari situ tersaring mana yang suka mana yang enggak. Mungkin sekarang tidak banyak yang aktif membacakan untuk anaknya, paling tidak 10 orang. Tapi, kita punya milis. Dengan milis itu kita punya interaksi dengan hampir 200 ibu-ibu dari mana saja. Ada yang dari Samarinda, Lubuk Linggau, atau Balikpapan.

Sejak bulan September saya sudah datang ke TK-TK. Sewaktu datang ke TK saya juga membuat workshop untuk orangtua dan guru. Jadi, mereka yang melanjutkan misi kita dengan menceritakan banyak dongeng pada anak-anak. Tidak jarang saya juga datang ke beberapa perusahaan besar untuk mengadakan workshop serupa. Saya memang ingin menyampaikan apa sih pentingnya mendongeng atau membacakan buku untuk anak itu. Jadi, memang target saya adalah orangtua yang memiliki anak dengan usia nol sampai 4 tahun.

Selama ini Anda bekerja sebagai seorang marketing, apakah ada pengaruhnya dalam penyebaran kampanye 20 menit membacakan cerita untuk anak?
Selama 12 tahun terakhir ini saya menjadi marketing dari Glaxo Smith Kline, sebuah perusahaan produsen obat. Saya memang selalu membuat konsep untuk penjualan. Salah satu konsep saya justru bisa melambungkan penjualan produk perusahaan itu sampai berkali-kali lipat. Nah, konsep itu kemudian justru saya terapkan untuk komunitas ini. Dulu kan kampanye produk sekarang kampanye 20 menit orangtua membacakan cerita untuk masa depan buah hati. Cara-cara marketing saya itu yang saya analogikan untuk kampanye ini.

Jadi, saya bikin effort priority ada lima. Menerbitkan buku, melalui kegiatan di mal, workshop kepada orangtua atau guru TK, melalui dokter anak karena tidak ada orangtua yang punya anak 0 sampai 5 tahun yang tidak pernah membawa anaknya ke dokter anak, dan terakhir program ini harus masuk televisi. Karena, melalui televisi pesan ini akan semakin cepat sampai kepada anak. Kita rencananya bikin acara mendongeng di televisi.Untuk kegiatan di mal, yang menjadi target adalah orangtua muda. Kalau mau cari keluarga muda pasti ada di mal. Bentuknya kita gelar karpet terus kita gelar buku, relawan kita duduk di situ, mengumpulkan anak-anak sama memanggil orangtuanya. Lalu kita bacakan cerita.

Apakah ada pesan lain yang ingin Anda sampaikan melalui komunitas ini?
Pada saat read aloud kita memberikan jeda pada anak untuk think aloud, merangsang anak untuk kritis dan menganalisis. Hal seperti ini tidak pernah dilakukan pada generasi saya sewaktu kecil. Semua hal dilakukan dengan satu arah. Kalau ingin berpendapat di-sangkain nantang. Dari budaya seperti ini kebanyakan orang kita jadi malu atau enggan berpendapat. Sehingga ada cap bahwa orang Indonesia itu bicara sedikit. Akibat bicara sedikit itu dianggap bodoh tidak ngertiapa-apa.

Kita kalah dengan orang Filipina atau India seperti yang saya perhatikan selama saya bekerja. Selama 12 tahun bekerja di Glaxo Smith Kline saya selalu berhubungan dengan regional office di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan ada juga India. Kita selalu dicap sebagai orang tidak tahu apa-apa, karena tidak pernah omong. Saya sekarang ini ingin mengubah pandangan itu. Saya maunya dalam tiga tahun ada lima juta orangtua yang mau membacakan cerita untuk anak, sehingga anak bisa belajar berpendapat dan mengungkapkan argumentasinya.

Meski dulu Anda belum mengenal metode ini dan juga Anda bekerja, bagaimana Anda mengenalkan budaya membaca pada anak anda sendiri?
Ibu yang bekerja dan punya anak itu adalah superwoman. Karena pagi-pagi saya sudah harus menyiapkan anak. Biasanya anak itu kan kebutuhannya harus siap sebelum kita meninggalkan mereka untuk bekerja. Dari mulai makanan sampai anaknya nanti kira-kira mau ngapain. Apalagi kalau anaknya sudah sekolah, kita harus menyiapkan buku pelajaran dan perlengkapan sekolah.

Setelah pulang sekolah pasti telepon dulu, ada tugas apa, kalau prakarya saya pasti ke Blok M untuk beli tetek-bengek, baru pulang ke rumah. Itu memang konsekuensi jadi ibu yang bekerja. Dan, untuk mendongeng itu saya lakukan hanya pada saat anak mau tidur saja. Pokoknya mau tidur saya pasti mendongeng buat mereka walaupun hanya dengan satu buku, tapi bisa dengan gaya yang macam-macam.

Kegiatan itu sudah saya lakukan sejak anak saya yang kecil umur dua tahun, dan yang besar umur 3-4 tahun. Karena saya tahu mendongeng itu bagus, maka saya selalu pengin-nya mendongeng. Tapi, saya tidak punya perbendaharaan dongeng yang cukupm, sehingga saya pakai buku. Jadi, memang selalu saat saya punya anak, dia harus punya buku pertama si anak. Walaupun zaman dulu, buku yang lembarannya tebal itu mahal banget saya tetap beli.

Pengaruhnya ternyata besar sekali, saya tidak pernah mengajarkan anak saya membaca. Tapi, mereka bisa membaca dengan lancar. Rupanya setelah saya baca buku Read Aloud Handbook itu memang harusnya dilatih seperti itu. Kita tidak perlu susah-susah melatih anak untuk bisa membaca kalau dari sedini mungkin kita sudah membacakan cerita untuk anak. Jadi, kata-kata itu menjadi fondasi di dalam otaknya si anak.

Selain itu, mendongeng dengan menggunakan buku juga mempunyai efek positif untuk mengajarkan anak menyukai buku. Manusia itu cenderung mengulangi sesuatu yang dianggapnya menyenangkan. Jadi, ketika dari kegiatan membacakan cerita itu anak mendapat pengalaman menyenangkan, maka dia akan mengetahui buku itu sumber ilmu pengetahuan yang menyenangkan dan ingin terus-menerus membaca. Waktu anak terakhir saya berumur dua tahun saya baru mau belajar masak. Jadi, saat saya baca buku resep, anak saya mendengarkan dan sekarang justru ketertarikannya untuk memasak luar biasa.


Cara Lain Mengajarkan Membaca

Fenomena belajar membaca menurut Rossie Setiawan merupakan sebuah pengalaman yang menyulitkan bagi anak-anak. "Bahkan dulu saya tidak bisa membaca sampai umur tujuh tahun," ungkapnya. Hal ini disebabkan karena dia mengidap dislexia. Sebuah gangguan pada anak yang kesulitan merangkai atau melafalkan huruf menjadi sebuah kata-kata. "Saya waktu itu pusing sekali melihat deretan huruf-huruf."

Untuk mengatasi itu, orangtuanya sempat memanggil guru privat yang mengajarinya membaca setiap hari di rumah. Selama empat bulan dia dilatih untuk terus membaca. Cara itu berhasil. "Dulu saya diajari membaca dengan ejaan B tambah U jadi BU, lalu K tambah U jadi KU, kemudian disambung menjadi BUKU," kenang Rossie.

Cara ini, menurut Rossie, kurang efektif. Anak hanya dikenalkan huruf dan cara bacanya tanpa dibiarkan berimajinasi dengan kata-kata itu. Berdasarkan pengalamannya, di dalam otak yang terbentuk hanya deretan huruf yang membentuk kata itu dan bukan sebuah benda yang mengasosiasikan kata itu.

Dengan read aloud, si anak tidak hanya mendengarkan cara membaca sebuah kata dalam kalimat dengan benar, tetapi juga dibantu dengan gambar-gambar dalam buku itu yang membuat dia bisa mengasosiasikan benda dengan kata-kata. "Otak kita ini menyimpan sebuah pola, sehingga saat sang anak menggambar kata-kata dalam sebuah bentuk benda dalam otaknya, dia akan lebih mudah menggunakannya," ujar Rossie.

Sumber: Republika, Minggu, 04 Januari 2009

No comments: