Thursday, January 15, 2009

Opini: Pak Lie dalam Kenangan

-- Indria Samego

CUKUP lama penulis tak mendengar kabar Pak Lie (Dr Lie Tek Tjeng). Sejak pertemuan terakhir tahun 2002, kontak langsung tak ada lagi.

Baru malam menjelang dipanggilnya Pak Lie ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa, masuklah sebuah pesan singkat yang mengingatkan kami semua, bekas anak didiknya, kepada beliau. Pesan itu dikirim Prof Dr Syamsudin Haris yang secara struktural menjadi penerus Dr Lie Tek Tjeng untuk memimpin lembaga yang pada masa lalu pernah mengharumkan namanya. Pesannya, Harris mengajak kami untuk menjenguk Pak Lie pada Kamis siang, 15 Januari 2009, di rumahnya. Siapa tahu kedatangan kami membawa ”mukjizat”.

Kenangan

Sayang, sebelum hari Kamis yang ditunggu tiba, Tuhan telah memanggilnya. Berita duka di Kompas yang mengatakan Dr Lie Tek Tjeng meninggal Senin malam, 12 Januari 2009, amat mengejutkan kami. Apa daya, Sang Maha Pencipta telah menentukan lain. Kami tidak mungkin lagi mendoakan kesembuhannya, tetapi berharap agar almarhum dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Yang tersisa kemudian adalah sejumlah kenangan masa lalu, saat Pak Lie masih memimpin Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN).

Pertama, kegigihannya untuk mengembangkan studi wilayah sebagai fokus kajian LRKN. Berangkat dari otoritas keilmuannya sebagai seorang sinolog, Pak Lie berusaha menjadikan ilmu yang dipelajarinya selama di Universitas Harvard semakin berarti bagi negara dan masyarakat.

Melalui LRKN, Pak Lie menawarkan Studi Wilayah China dan Timur Jauh umumnya kepada berbagai lembaga negara yang membutuhkan. Selain perguruan tinggi, Pak Lie juga diminta mengajar studi ini di Lemhannas dan Sesko TNI.

Kedua, pengembangan staf peneliti di LRKN, pikiran, dan sikap Pak Lie sangat konsisten. Dalam pandangannya, penguasaan sejarah dan bahasa menjadi syarat mutlak bagi siapa pun dalam memahami wilayah tertentu. Hanya dengan mendalami kedua bidang itu, seorang peneliti akan memiliki bekal amat berarti dan tak akan mudah digoyahkan.

Studi lanjutan di perguruan tinggi hanyalah kebutuhan lanjutan setelah sang peneliti muda ”jatuh cinta” pada wilayah yang dimaksud. Dengan kata lain, almarhum kurang memberi stimulasi pada peneliti muda yang ”mau cepat pandai”.

Karena itu, Pak Lie tidak jarang mengingatkan para peneliti binaannya untuk tidak berusaha cepat terkenal. Sebelum sungguh-sungguh memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, peneliti muda harus amat berhitung dalam menyatakan pendapat.

Masalahnya, jika ternyata pandangannya keliru, akan susah untuk diluruskan kembali. Masyarakat, kata Pak Lie, sudah telanjur tak percaya kepadanya. Sementara jika sang peneliti sudah merasa yakin dengan kemampuannya, silakan kemukakan. Namun, sekali lagi, kata Pak Lie, ”siki-siki saja, lah”. Filosofi gunung es menjadi pegangan utamanya. Biarkan sedikit saja yang tampak di permukaan, tetapi di bawahnya harus kokoh dan mendalam.

Tak mudah dipraktikkan

Sayang, kegigihan Pak Lie dalam membina LRKN dan filosofi keilmuannya tidak terlalu mudah dipraktikkan. Terutama dalam kaitannya dengan Studi Wilayah Timur Jauh yang menjadi keahliannya, LRKN tidak berhasil menciptakan Dr Lie Tek Tjeng muda. Hingga kini, saat LRKN telah berubah nama menjadi Pusat Penelitian Politik LIPI, belum seorang pun mampu tampil menggantikan posisinya. Keharusan untuk menguasai bahasa China atau Jepang menjadi hambatan utama bagi para peneliti muda yang mau meneruskan program pascasarjana di wilayah itu.

Hal ini mengakibatkan adanya semacam missing link antara Pak Lie dan generasi penerusnya.

Lebih dari itu, pada hemat penulis, ini merupakan ”utang” lembaga terhadap keharusan untuk mengembangkan Studi Kawasan Timur Jauh yang dulu pernah dirintis almarhum. Dengan kata lain, Puslit Politik LIPI harus berupaya keras agar Studi Kawasan Timur Jauh kembali dikenal, bersamaan makin mekarnya Studi Timur Tengah dan Asia Tenggara di lembaga ini.

Meski dengan pendekatan yang sedikit berbeda dengan apa yang dulu dipikirkan Pak Lie, paling tidak, pengembangan Studi Kawasan Timur Jauh akan tetap mengundang banyak peminat. Bila hal ini terwujud, sedikit banyak kita telah meneruskan tradisi yang dulu dirintis Dr Lie Tek Tjeng.

Namun apa daya, kini beliau telah mendahului kita. Tuhan telah memutuskan lain. Tinggal kita yang pernah mengenal almarhum pada masa pengabdiannya mencoba mengenang segala jasanya.

Selamat jalan Pak Lie, semoga ketenangan abadi Bapak dapatkan di sana.

Indria Samego Dewan Direktur CIDES; Prof Riset LIPI; Anak Didik Dr Lie Tek Tjeng Tahun 1970-an

Sumber: Kompas, Kamis, 15 Januari 2009

No comments: