BATA-BATA merah kuno dalam timbunan tanah teriris, terbelah, terkepras, terkoyak. Begitu pula bejana terakota, tergempur menjadi gerowong dan berantakan. Itulah nasib situs Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, melalui foto-foto yang dipaparkan ahli arkeologi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Mundardjito. Tidak seperti Pompeii yang pernah terkubur dan kemudian ditemukan kembali setelah sekitar 1.700 tahun, Majapahit yang riwayatnya begitu dekat dengan masa kini kita dikoyak-koyak dikarenakan alasan kepedulian sekaligus ketidakpedulian. Itulah Trowulan kini, dalam proyek pembangunan Trowulan Information Center.
Tidak ada kerajaan seinspiratif Majapahit, yang membantu kita menemukan jati diri sebagai bangsa. Dirintis oleh Raden Wijaya di Hutan Tarik pada tahun 1292, perlahan-lahan Majapahit membesar dan mencapai masa gilang-gemilang pada tahun 1300-an. Bukan saja wilayah yang jejaknya terlacak dari Timor sampai Semenanjung Tanah Melayu, seperti Tumasik (Singapura sekarang), tetapi tak kalah penting adalah perubahan pandangan dunia di masa itu, yang mengalami perubahan paradigmatik di zaman Gajah Mada. Kalau kerajaan-kerajaan sebelumnya ribet dengan urusan hanya di seputar Kediri dan sekitarnya, pada Majapahit di zaman Gajah Mada pandangan geopolitik berubah. Itulah kira-kira yang memberi inspirasi mengenai pengertian ”Nusantara”.
Pergulatan politik dari tokoh-tokoh di zaman itu tak kalah memberi inspirasi—jika kita gemar membaca sejarah. Dalam hal Majapahit, salah satu yang paling ringkas dan komprehensif adalah buku-buku karya Prof Dr Slamet Muljana. Majapahit besar bukanlah dongeng, tetapi bisa dilihat dari kematangan politik para pembesarnya. Gajah Mada teruji lewat berbagai peristiwa genting dan perseteruan yang pada zamannya pasti sensitif, misalnya pertentangan antara kaum rohaniwan yang disebut kalangan dharmaputra dengan pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Jayanegara.
Apabila melihat ringkasan berbagai catatan sejarah, bisa jadi Gajah Mada ikut menjerumuskan kalangan dharmaputra untuk menyingkirkan Jayanegara, pengganti Raden Wijaya, yang kurang bermutu dan diam-diam kurang disukainya. Pembunuhan Jayanegara oleh seorang dharmaputra bernama Tanca, disusul penindakan terhadap Tanca oleh Gajah Mada sendiri, mengingatkan pada pola pengambilalihan kekuasaan pada zaman Indonesia mutakhir.
Tidak sesegera itu Gajah Mada naik sebagai mahapatih. Setelah peristiwa Tanca dan kekuasaan Majapahit berpindah ke tangan Tribuwanatunggadewi, Gajah Mada sempat dipindahkan dari pusat kerajaan menjadi patih di Daha (Kediri sekarang). Baru seusai penumpasan pemberontakan di Sadeng kira-kira dua tahun setelah peristiwa Tanca, Gajah Mada ditarik kembali ke Majapahit, menggantikan patih lama yang mengundurkan diri karena usia tua, yakni Aria Tadah.
Keberadaan Tribuwanatunggadewi dan patih Gajah Mada yang berikrar untuk ”amukti palapa” inilah semacam persiapan ”tinggal landas” Majapahit menuju kebesaran. Kemegahan itu dicapai di zaman pemerintahan putra Tribuwanatunggadewi, Hayam Wuruk. Majapahit menjadi negara agraris sekaligus maritim besar. Bekas-bekas kebesaran berupa kolam besar dan candi-candi dapat kita temui di Trowulan. Di daerah itu pula terkubur bekas kerajaan Majapahit.
Kini, atas nama proyek pembangunan, apa yang terkubur di bawah tanah dianggap tidak ada. Proyek mengenal target. Target mengobrak-abrik sesuatu yang tak terukur bilangan: warisan budaya
Besi-besi ditancapkan. Semen pengecor digelontorkan, menimpa bata-bata kuno, lantai-lantai lama, sumur, mungkin juga saluran-saluran air di zaman dulu. Mengenaskan. Mengutip sajak penyair Sutardji Calzoum Bachri: yang tertusuk padamu berdarah padaku. (BRE REDANA)
Sumber: Kompas, Minggu, 4 Januari 2009
No comments:
Post a Comment