Monday, January 26, 2009

Oase: Anak Hilang Sastra Indonesia

-- Grathia Pitaloka

Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.

DI tengah geliat dunia sastra tanah air, Sastra Melayu Tionghoa seolah menjadi sebuah bagian yang terlupa. Nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Thio Tjien Boen atau Gouw Peng Liang seperti terkunci rapat dalam ruang kedap suara.

Padahal berdasarkan catatan historik peneliti Perancis, Claudine Salmon keberadaan Sastra Melayu Tionghoa sudah ada sejak tahun 1870. Jumlah karya yang dihasilkan pun cukup banyak yaitu sekitar 3005 dan melibatkan 806 penulis.

Menurut catatan kritikus sastra Prof Dr A Teeuw, jumlah karya yang dihasilkan para penulis Tionghoa tersebut jauh lebih banyak dibanding angkatan Balai Pustaka. Dalam periode setengah abad, 175 penulis angkatan Balai Pustaka "hanya" berhasil melahirkan 400 karya.

Pada 1903 Sastra Melayu Tionghoa sudah menerbitkan dua prosa berjudul : Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Sementara karya sastra terbitan Balai Pustaka baru muncul dua puluh tahun setelahnya.

Namun dengan dalil penggunaan bahasa Melayu rendah yang notabene bahasa pasar, Sastra Melayu Tionghoa terlempar dari kanon sastra Indonesia modern. Terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggilah yang dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra Indonesia modern.

Sementara Sastra Melayu Tionghoa hanya dianggap sebagai sastra berbahasa daerah. Setara dengan karya-karya lain yang berbahasa Sunda atau Jawa. "Marjinalisasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa bersifat politis," kata kritikus sastra Ibnu Wahyudi di Jakarta, Selasa (20/1).

Ia menuturkan, ketakutan pemerintah kolonial Belanda akan bangkitnya nasionalisme merupakan salah satu sebab pengguntingan Sastra Melayu Tionghoa dari khasanah sastra. Beberapa karya Sastra Melayu Tionghoa memang berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan bagi pembacanya.

Kemudian untuk mengontrol karya-karya yang terbit Belanda mendirikan Balai Pustaka. Sehingga karya-karya yang dianggap berbahaya atau berseberangan dengan kepentingan pemerintah pada saat itu tidak dapat beredar luas.

Misalnya saja novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang bertutur mengenai masalah dasar dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah pemberontakan November 1926 sehingga mengaspirasikan semangat keindonesiaan.

Selain itu juga terdapat karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya.

Thio Tjin Boen menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke' dengan golongan peranakan karena kebiasaan dan pola pikir yang berbeda. Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan mendobrak tradisi untuk meraih cita-cita.

Oleh sebab itu, Ibnu menilai, penggunaan bahasa Melayu rendah sebagai alasan penolakan terhadap Sastra Melayu Tionghoa amat mengada-ada. Menurut dia, penolakan tersebut terjadi semata-mata karena keberadaan para penulisnya yang notabene China. "Buktinya ketika menggunakan nama pribumi mereka dapat diterima," ujar pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.

Diskriminasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa ini berlanjut hingga Indonesia merdeka. Bahkan diresmikannya bahasa Indonesia secara politik makin mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa.

Lalu ibarat mesin tua, pergerakan Sastra Melayu Tionghoa makin lama semakin terseok. Keberadaannya hanya menempati posisi "subkultur", setara dengan genre sastra lokal. "Ini merupakan suatu ironi dan pengingkaran sejarah," kata Ibnu.

Lebih lanjut dia mengatakan, perlu dilakukan reposisi pengertian sastra Indonesia modern. ""Padahal kalau mau konsekuen berbicara sastra Indonesia semestinya adalah karya sastra yang lahir setelah 17 Agustus 1945."

Ciri Khas

Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.

Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.

Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.

Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen-Red), dan Bumiputra.

Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.

Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.

Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia.

Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu.

Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.

Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa.

Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.

Pengaruh

Meski banyak yang menafikan, tak bisa dipungkiri jika keberadaan karya Sastra Melayu Tionghoa memberikan pengaruh bagi perkembangan sastra Indonesia modern. "Salah satu buktinya adalah banyak karya sastra Indonesia modern yang mirip dengan karya Sastra Melayu Tionghoa," kata Ibnu.

Pernyataan Ibnu tersebut didukung oleh disertasi John B. Kwee yang berjudul Chinesse Malay Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 seperti dikutip (Faruk dkk, 200:40-42).

Di sana disebutkan cerita penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh Allah yang Toelen karya Om Kim Tat. Roman Percobaan Setia sama dengan Saltima karya Tio Ie Soei. Roman Salah Asuhan sama dengan karya Vjoo Cheong Seng yang berjudul Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa. Salah Pilih sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul Nona Iam Im. Dalam cerita ini terdapat tokoh wanita yang berpekerti buruk karena telah mengecap pendidikan Belanda.

Karya lainnya adalah Gadis Modern dan novel Chang Mung Tse yang juga mempunyai judul yang sama. Karya Tak Disangka sama dengan Apa Mesti Bikin karya Aster yang terbit pertama kali tahun 1930. Novel Manusia Baru sama dengan Merah karya Liem King Ho.

Dalam catatannya John Be Kwee menemukan sekitar 14 karya Sastra Melayu Tionghoa yang memiliki andil dalam proses penciptaan karya-karya sastra Indonesia modern termasuk yang telah disebutkan tadi.

Dilihat dari latar biografis, pengarang Indonesia waktu itu memang memiliki kesamaan dengan pengarang Tionghoa yakni sama-sama mengenyam pendidikan Belanda. Sehingga kesamaan itu tidak bisa dilihat semata-mata karena pengaruh Sastra Melayu Tionghoa, harus dipertimbangkan pula proses dan pergulatan batin pengarang melihat kondisi sosial masyarakat masa itu.

Ibnu melihat, setelah kemerdekaan ada beberapa karya yang turut terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa. Di antaranya karya yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya menggambarkan secara simpatik tokoh-tokoh berdarah Tionghoa.

Dalam karyanya Pramoedya menuliskan karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Seperti yang diketahui Pramoedya memang menolak keberadaan kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa.

Pramoedya juga berhasil menggambarkan secara gamblang politik identitas. Ia berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan.

Selain Pramoedya, pengarang lain yang terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa adalah Remy Sylado lewat novelnya yang berjudul Ca Bau Kan. Remy menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan.

Terlukis dengan indah oleh Remy bagaimana tokoh Tionghoa hidup berdampingan dengan seorang pribumi. Keduanya saling mengisi dengan menghargai perbedaan. Sebuah nilai kemanusiaan yang mencerahkan diharapkan terus tumbuh subur di bumi Indonesia.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

No comments: