Monday, January 26, 2009

Seni yang Meruang di Kota

-- Ilham Khoiri

"SABAR Sebentar, Ku Kan Datang...". Begitu bunyi deretan huruf besar berwarna putih yang sedang dipoles beberapa anak muda, Kamis (22/1) malam itu. Kata-kata tersebut terpampang jelas di atas tembok jalan tol TB Simatupang, persis di depan pusat perbelanjaan Cilandak Town Square alias Citos, Jakarta Selatan.

Mural berbunyi sabar sebentar, ku kan datang... di tembok jalan tol di depan pusat perbelanjaan Citos di Cilandak, Jakarta Selatan. Mural yang dibuat Bujangan Urban ini merupakan bagian dari kegiatan Jakarta Biennale 2009. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images)

Tak mudah mengecat tembok berukuran sekitar 200 meter x 6 meter itu. Untuk meraih tulisan bagian atas, para anak muda itu harus naik tangga. Demi menghindari kepadatan lalu lintas, mereka bekerja saat orang lain terlelap, sekitar pukul 22.00 hingga sekitar 04.00.

Kenapa mau bersusah payah menuliskan kata-kata itu di sana?

”Kami ingin membantu mengusir kebosanan orang-orang yang suka menunggu di depan mal. Sambil menanti datangnya pacar, suami, teman, atau angkutan umum lewat, mereka bisa membaca tulisan itu,” kata Rizki Aditya Nugroho alias Jablay, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Interstudi Jakarta, yang membuat mural itu.

Mural yang digarap seminggu terakhir oleh sekitar delapan orang dan menghabiskan 200 kg cat serta 15 dus pilog itu mungkin nanti akan hilang atau rusak. Entah ditimpa mural lain atau diterpa debu, terik, dan hujan. Namun, selama masih terbaca, tulisan itu bakal menyapa banyak orang di sekitarnya.

”Seni yang kami buat ini untuk banyak orang,” kata Jablay, yang menggunakan cap Bujangan Urban dalam karya-karyanya.

Mural karya itu hanya salah satu dari rangkaian karya ”Situs Spesifik” pada Jakarta Biennale XIII 2009, selama Januari ini. Dalam program Biennale, proyek-proyek seni publik itu didorong untuk turut menciptakan ruang-ruang gagasan baru bagi publik.

Sebelumnya, pertengahan Januari lalu, Enrico Halim menggelar proyek ”Mari Menggambar!” Selama tiga hari, dia bersama kelompok pengamen Laapa’ze (lagu Apa Aze) naik kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang-Serpong. Dalam gerbong kereta, tim ini membagikan kertas dan spidol kepada penumpang dan mengajak mereka menggambar.

Hasilnya ternyata bermacam-macam, seperti pemandangan atau gambar orang merokok di kereta. Para penumpang yang asalnya berdiam diri akhirnya mencoba mengobrol satu sama lain. Dengan proyek ini, orang-orang yang penat setelah bekerja seharian itu terdorong untuk saling berinteraksi.

Hasil gambar itu di-scan, lantas dimasukkan dalam web www.marimenggambar.blogspot.com. Rencananya, gambar-gambar itu dipamerkan di Stasiun Tanah Abang, akhir Januari ini.

Di Monumen Nasional (Monas), Daniel Kampua mengumpulkan sekitar 26 fotografer keliling yang biasa memotret pengunjung. Hasil jepretan mereka cukup unik. Ada pengunjung yang difoto dengan pose seperti menyalakan rokok dengan api dari Monas, atau berdiri tegak sambil memegang pucuk monumen tinggi itu.

Daniel lantas memotret orang-orang yang kerjanya memotret orang lain itu. Karya dan potret diri mereka itu akan dipamerkan bersama. Di sini, para pemotret diberi ruang untuk berekspresi bebas sekaligus melihat dirinya sendiri.

Masih ada beberapa proyek Situs Spesifik yang cukup unik dalam program ”Zona Pertarungan” Jakarta Biennale XIII 2009. Ami & The Popo, misalnya, membuat mural ”Awas Begal” di beberapa titik jalan di Jakarta Selatan. Saleh Husesin dan Kudaponi menggarap ”Taman Catur” di ruang bawah jembatan layang di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Veronica Kusuma memutar film Benyamin Koboi Insyaf dan Santet 2 di Studio 2 Bioskop Grand Senen, Jakarta Pusat, yang selama ini kerap dijadikan tempat mesum.

Mencipta ruang

Apa pentingnya karya-karya itu bagi seni rupa kita sekarang? ”Kami ingin memperluas gagasan dan praktik seni rupa. Seniman masuk dalam mekanisme kota, mulai dari mengurus perizinan dari birokrasi, bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, sampai mengatasi teknis pembuatan karya di ruang terbuka,” kata Ade Darmawan, Direktur Program Jakarta Biennale 2009.

Memang, pendekatan demikian bisa memberikan pengalaman lebih berdarah-darah bagi seniman. Jika dulu mereka cukup bergumul dengan proses penciptaan di ruang studio yang steril, kini mereka dituntut turun ke jalan. Di sana, mereka menghadapi banyak tantangan dan kerumitan.

Dari kacamata masyarakat, seni publik juga bisa menciptakan ruang alternatif. Karya-karya yang unik (seperti menyapa orang yang menunggu, mengingatkan bahaya begal, atau memperkukuh eksistensi kelompok) mungkin saja bisa menghidupkan kembali sisi kemanusiaan warga kota saat di jalanan. Kita mafhum, selama ini kita capek dijejali berbagai pertarungan visual di jalanan: iklan, jargon pemerintah, coreng-moreng vandalisme, atau poster-poster kampanye calon anggota legislatif yang menyerbu secara membabi buta.

Dengan pendekatan partisipatif, warga turut menjadi bagian dari proses berkesenian dan merebut arena di ruang publik demi memenuhi kepentingan sosial masyarakat itu sendiri. Kesenian yang biasanya yang elitis dan hanya bergerak dari galeri ke galeri akhirnya mencair dan berbaur bersama masyarakat.

”Di sini, seni rupa bergeser menjadi semacam aktivisme sosial yang berorientasi pada penyadaran masyarakat. Para seniman terus mencoba mencari relevansi kegiatan seni di tengah masyarakat urban sekarang,” kata Ardi Yunanto, kurator program ”Zona Pertarungan” Jakarta Biennale 2009.

Spirit

Jika dilacak ke belakang dengan kacamata lebih luas, sebenarnya semangat seni publik semacam itu telah turut menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan republik ini. Ingat saja teks masyhur ”Merdeka atau Mati!” yang banyak dituliskan di jalanan atau di gerbong kereta. Tanpa peduli siapa pembuatnya, jargon itu turut mengingatkan, bahkan mungkin memompa semangat para pejuang kita kala itu.

Pertanyaannya kemudian: mampukah para seniman muda sekarang mempertajam proyek-proyek seni publik yang benar-benar menggugah dan menemukan momentum yang pas seperti teks ”Merdeka atau Mati!” itu? Jika pun tidak, semoga saja gerakan seni publik ini bakal terus tumbuh dan merangsang lahirnya modus-modus baru gerakan seni rupa yang lebih menarik.

Sumber: Kompas, Minggu, 25 Januari 2009

No comments: