-- Ria Febrina
DI hadapan kita, seperti ada dikotomi antara yang namanya sastra “serius” dan sastra “populer”. Keduanya menjadi bahan perbincangan yang hingga kini menyisakan pertanyaan mengenai posisi sastra populer dalam kesusastraan Indonesia. Sejauh ini, yang tampak hanya perbedaan penyajian antara sastra populer dan sastra serius, sementara yang lainnya masih kabur. Apakah di Indonesia benar-benar ada batasan antara keduanya, ataukah hanya sekedar perbedaan dalam penyajiannya saja.
Sastra adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian menjadi bahasa yang dipadatkan. Sederhananya, defenisi ini memang memuat perbedaan antara sastra populer dan sastra serius. Sastra populer secara jelas mempopulerkan bahasa lisan—termasuk bahasa prokem generasi pada zamannya—dalam penulisannya, atau dengan kata lain, sastra populer tidak mementingkan estetika penulisan dalam menciptakan sebuah karya. Akhirnya, perbedaan ini memunculkan anggapan bahwa sastra serius memiliki nilai estetika yang lebih dibandingkan dengan sastra populer. Dan tiap-tiap karya yang menggutamakan penggunaan bahasa populer dianggap bukan sastra. Sehingga muncullah istilah sastra populer, yang mewakili perbedaan tersebut.
Mengutip pandangan Umar Kayam mengenai sastra populer, sebutan untuk novel populer (novel pop) mulai merebak pada tahun 1970-an, tepatnya setelah novel Cintaku di Kampus Biru menjadi bacaan favorit pada generasinya. Setelah itu, novel populer secara bebas memasuki pasar dengan banyaknya bermunculan novel-novel yang bersifat hiburan, mengikuti selera pasar dan pembaca menganggapnya lebih ringan dibandingkan sastra serius.
Kemunculan sastra populer ini, secara sadar atau tidak mulai membuka mata kritikus sastra terhadap kehadiran sastra populer di Indonesia. Seperti yang dikemukakan Nenden Lilis A, ada cara pandang tersendiri mengenai sastra populer. Cara pandang tersendiri ini menyebabkan hal yang dianggap sastra adalah sastra elit atau sastra yang “serius”; sastra nasional; dan sastra yang sudah ditasbihkan sebagai sastra utama, seperti Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Atheis dan novel sejenisnya. Akibatnya, pandangan ini memunculkan anggapan bahwa karya yang berada di luar tersebut dianggap bukan sastra.
***
Batasan antara sastra populer dan sastra serius itu tampak “diadakan”, karena sastra populer muncul dengan stigma hiburannya, ringan dan sesuai dengan emosi atau selera pembaca. Berbeda dengan sastra serius yang mengutamakan tema, bahasa dan kemampuan pengarang dalam menyajikannya.
Novel populer dianggap membentuk impian perempuan terhadap kisah cinta yang romantis dan dramatis, kisah hidup yang elegan dan fashionable, memanfaatkan teknologi yang berkembang dan meng-universalkan kehidupan dengan panutan budaya massa. Kelebihannya, masyarakat memberi apresiasi yang tinggi terhadap sastra populer, sehingga mencuatkan produksi dan konsumsi secara massa. Sementara, novel sastra serius berkeliaran hanya di lingkungan pencinta sastra saja.
Kenapa demikian? Sastra populer dikonsumsi oleh remaja pada generasinya, dengan kisaran usia 13 hingga 25 tahun. Novel populer seperti teenlit dan chicklit laku di pasaran, karena ditulis oleh pengarang yang seusia dengan mereka. Apalagi dengan penggunaan bahasa lisan—termasuk bahasa prokem—dalam penulisannya, seperti munculnya idiom yang trend pada percakapan sehari-hari remaja, yakni geto lho, sumpah lo, kok gitu sih, so what gitu, atau penyingkatan-penyingkatan seperti IDL (Itu kan derita loh) dan sebagainya. Penggunaan ragam bahasa ini sebenarnya menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baku. Namun dalam sastra populer, keberadaan ragam bahasa lisan yang trendsetter ini dianggap sah dan wajar-wajar saja.
Kemudian adanya pergeseren dalam bobot tema yang diusung oleh penulis. Sastra serius biasanya mengangkat tema yang membawa pengaruh positif dalam kehidupan pembacanya, atau menyajikan sesuatu yang baru dan sederhana dengan bahasanya yang indah. Sementara sastra populer menyajikan tema yang bersifat universal, tak jauh dari kehidupan remaja, seperti kisah percintaan dan mimpi-mimpi yang bersifat komersial.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka sastra populer dianggap sebagai sastra yang tidak bermutu, yang memperlihatkan perbedaan dengan sastra serius.
Namun tak dapat dipungkiri, pasar sastra populer jauh lebih banyak dibandingkan dengan sastra serius, karena gagasannya yang general tersebut dikemas sesuai dengan kebutuhan masyarakat pembacanya.
Mengenai pasarnya, baik sastra populer maupun sastra serius jelas memiliki konsumen masing-masing, karena ini menyangkut pilihan pembaca. Namun, tak semuanya juga sastra populer yang tidak bermutu, beberapa novel populer ada yang mampu membuat pembaca tergugah karena ceritanya yang mendidik, namun diuraikan pengarang dengan bahasa sederhana, memikat dan menghibur. Di Indonesia misalnya, ada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan tetralogi Andrea Hirata, mulai dari Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Kemudian ada novel terjemahan seperti the girls of Riyadh dan lain-lain.
Jadi, keberadaan sastra populer yang menggelisahkan itu hanya untuk beberapa karya yang mengabaikan aspek bahasa, struktural dan tema. Lalu bagaimana solusinya, agar antara sastra serius dan sastra populer, sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang tajam dan posisi keduanya tidak saling menghimpit atau merugikan.
Inilah tugas kritikus sastra, sastrawan, akademisi sastra, serta pemerintah, khususnya pihak pendidikan untuk mengontrol dan memonitorinya. Penerimaan masyarakat terhadap sastra populer dianggap boleh-boleh saja, asalkan melewati standar baku dalam penulisan sebuah karya sastra.
Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah pendekatan, seperti upaya-upaya untuk memberikan pemahaman intelek kepada masyarakat pembaca. Misalnya, untuk mengkonsumsi sebuah karya, seorang pembaca harus tahu apa yang ingin dicapainya dari bacaan tersebut. Seorang pembaca harus mengetahui bahwa sebuah karya—meski sastra populer—adalah baik, karena mengusung tema yang membawa suatu hal yang positif, serta memperhatikan dan memperlihatkan penulisan yang baik. Misalnya, tidak ada lagi kesalahan ejaan, berkurangnya penggunaan bahasa prokem dan diupayakan disusun dengan estetika kebahasaan.
Pendekatan yang paling ampuh itu dengan mengadakan ruang diskusi antara kritikus sastra dengan pembaca sastra populer, pembaca sastra serius, sastrawan, dan pihak-pihak terkait. Kedua melalui jenjang pedidikan. Tenaga pendidik bisa menjelaskan apa dan bagaimana bentuk bacaan sastra serius itu, dan apa pula sastra populer. Cara ini dilakukan karena pasar sastra populer adalah remaja usia 13-25 tahun, yang rata-rata usia mereka masih mencicipi dunia pendidikan. Melalui pengenalan bacaan tersebut di jenjang pendidikan, mereka diarahkan untuk selektif dan kreatif dalam memilih bacaan. Di samping itu, mereka juga diberikan kesempatan untuk menilai bagaimana sebuah karya sastra seharusnya.
Faktor lainnya, tiap-tiap penerbit harus memposisikan editor yang bertanggung jawab dalam penyeleksian karya sastra populer, terutama menyangkut bahasa yang benar, seperti ejaan, penggunaan bahasa prokem dan lain sebagainya. Setidaknya, sastra populer tidak lagi mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia yang baku, seperti penggunaan tanda titik, koma, ataupun penggunaan istilah prokem yang terlalu banyak. Karya sastra populer tetap harus mementingkan muatan tema yang berisi nilai yang positif untuk perkembangan kehidupan masyarakat pembacanya.
Aturan ini memberikan tanggung jawab kepada penulis dalam penulisan sebuah karya. Mereka menyajikan karya, tetapi juga memperhitungkan kebutuhan pembaca untuk memilih dan menginterpretasi bacaan yang bermutu. Penulis harus bersikap demokrat, bahwa teks yang muncul tidak boleh asal jadi dan instan, tidak melakukan kesalahan dalam berbahasa, tidak mementingkan emosi dan keterpesonaan pembaca, dan terpenting tidak mengabaikan kualitas. Setiap penulis harus mempunyai kekhasan mengolah dan merangkai kata dalam rangka mengesplorasi segala kemungkinan kreativitas. Seorang penulis bebas mempermainkan bahasa, selama masih bisa menjelaskannya dalam masyarakat bahasa. Tujuannya untuk menentukan karya yang baik dan berkualitas.
Akhirnya, pembacalah yang diuntungkan jika diarahkan untuk selektif dan kreatif dalam memilih bacaan.
* Ria Febrina, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, bergiat bersama Sanggar Sastra Remaja Yayasan Citra Budaya
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 11 Januari 2009
No comments:
Post a Comment