Sunday, January 11, 2009

Minangkabau, dan Masalah Kedirian Yang Menahun

-- Nelson Alwi*

TIPIKAL kebanyakan orang Minang dewasa ini cenderung stagnan dan, mengalami degradasi. Hal-hal yang di tahun 1930-an dikritik Hamka, seperti mengagung-agungkan kebesaran zaman baheula serta mengelu-elukan orang kaya lagi terkenal, tetap berlanjut.

Di tengah santernya masyarakat dunia mengupayakan kesejahteraan dan kemajuan kita berkutat merawikan kehebatan serta kemuliaan Iskandar Zulkarnain (leluhur etnik Minang menurut Tambo). Dan dalam setiap kesempatan kita pun selalu menyebut kiprah dan keteladanan KH Agus Salim, Tan Malaka, Rohana Koedoes, Hatta, Sjahrir atau tokoh masa lampau lainnya.

Kecuali itu, saat berbagai negara ngotot memformulasikan wujud persamaan dan demokrasi yang ideal kita meninggalkannya, memasuki lingkaran sistem feodalistik dengan cara, misalnya, habis-habisan menelusuri asal-usul orang. Kemudian berbesar hatilah kita karena Taufik Kiemas pernah jadi First Gentleman Republik Indonesia, sementara Wapres Jusuf Kalla adalah orang semenda awak pula.

Apalagi —berdasarkan sejarah ekstra panjang ekspedisi Pamalayu kedua tahun 1292— nenek moyang Sri Sultan Hamengkubuwono X, Dara Petak, bersaudara dengan Dara Jingga, ibunda raja Minangkabau Adityawarman alias Aji Montrolot.

Ironi

Sejumlah intelektual (asal) Minang masa kini, seperti Sjafri Sairin, Saafroedin Bahar, Edi Utama atau Darman Moenir, dalam berbagai forum diskusi/seminar maupun melalui media massa, juga sering melancarkan (oto)kritik. Mereka mengisyaratkan bahwa urang awak (baca: orang Minang) sedang mengalami krisis kedirian dan kebangkrutan (ke)budaya(an).

Tak pelak, dengan beragam elah kita memang proaktif mengembangbiakkan sikap mental “asal yang di atas senang”. Dengan aneka motivasi kita mengobral gelar-pusaka-adat “Datuk” ke seantero jagat. Dengan semangat epigonisme kita berpartisipasi aktif mempopulerkan istilah dan atau tradisi asing. Dengan tujuan-tujuan tertentu banyak di antara kita yang mengekor kepada sesuatu yang dianggap “wah”, dan latah mengagumi sekaligus membeli sekian macam titel akademik.

Lebih dari itu, tidak sedikit pemangku adat dan pemuka agama teperdaya (atau diberdayakan?) untuk memihak, sehingga terkadang, tak segan-segan mendukung sesuatu yang belum jelas juntrungannya. Wakil rakyat apalagi para pejabat yang secara kasat mata begitu khusyuk beribadah di muka umum, sesampai di kantor… maling sembari beretorika ria.

Implikasinya, setelah berbusa memprihatinkan mutu pendidikan, mekanisme rekrutmen tenaga edukatif maupun kepala sekolah dipermainkan. Sehabis memuji dan berkata wajib menghormati guru, (rapel) gaji dan honor serta insentif para “pahlawan tanpa tanda jasa” itu dipenggal, kenaikan pangkatnya dipersulit.

Selagi beroptimis-optimis dengan program pariwisata dan upaya meningkatkan pendapatan daerah, dalam birahi malu-malu tapi mau mengutuk pangkal susu cewek bule yang menyembul dari balik blus atau kutangnya yang (di)longgar(kan). Terkait ini, dikernyit-kernyitkanlah kening untuk membuat Perda Antimaksiat yang, sejatinya sudah sejak lama terdapat di lingkungan masyarakat adat-beragama (di) ranah Minang. Tidak lupa, diteriakkan juga tema besar “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, yang ditengarai menjadi acuan hidup lahir batin orang Minang, sekalipun belum pernah ditafsirkan atau dijabarkan secara konkret dan cerdas oleh pemikir maupun cendekiawan yang berkompeten.

Dan sekadar berwacana, dirancang sekaligus didengung-dengungkan pula proyek mercu impian “kembali ke nagari” dan “kembali ke surau”. Sejenak orang-orang boleh bernostalgia, mengenang spontanitas akar rumput dalam melaksanakan dan menyambut, sebutlah alek nagari. Tidak ada mobilisasi dan politisasi, tidak dimanipulasi dan, mungkin juga tidak dikorupsi oleh para penguasa.

Selintas orang-orang pun bisa berfantasi tentang sebuah surau yang sinkron dengan kekinian: dilengkapi fasilitas modern seperti perpustakaan, sarana dan prasarana olah raga, peralatan musik, televisi, komputer serta P(lay)-(S)tation yang game-gamenya bernuansa Islam(i), sehingga anak-anak maupun remaja betah.

Dalam pada itu, Ahmad Syafii Maarif ternyata berhasil menyabet Magsaysay Award 2008. Betapa berbunganya perasaan kita. Dan, bak padi masak jaguang maupiah, perjuangan panjang kita juga tidak sia-sia. Salah seorang putra terbaik kita, Moh Natsir, berdasarkan SK Presiden Nomor 041/TK/TH/2008 tanggal 6 November 2008 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adiprana. Selain itu, tanggal 19 Desember —hari pencanangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi tahun 1948— dikukuhkan sebagai Hari Bela Negara.

Upacara selamatan serta pidato sambutan Presiden SBY menyangkut momen-momen penting tersebut di atas berulang kali ditayangkan stasiun televisi-stasiun televisi yang ada di Sumbar. Terdengar bisik, sumbang, wajar kalau urang awak larut sejenak dalam euphoria

Kesejatian Minangkabau

Orang Minang dikenal luas sebagai etnik yang menjunjung tinggi paham egalitarian. Hal mana terpatri dalam pepatah adat duduak samo randah, tagak samo tinggi. Konon di sinilah kelebihan orang Minang, sebagaimana dibuktikan, umpamanya, oleh Haji Abdul Karim Amrullah yang konsisten, yang tidak mau melalukan saikere, sekalipun di muka para petinggi militer(isme) Jepang.

Namun kelebihan atau kekuatan orang Minang itu tak bakalan mangkus jika tidak ditunjang oleh sifatnya yang terbuka menghadapi/menerima realitas dan perubahan. Pertanyaannya, realitas dan perubahan yang bagaimana? Pandangan mungkin bisa ditukikkan ke falsafah adat raso dibaok naiak, pareso dibaok turun. Artinya adalah, yang dihadapi/diterima ditilik dengan mata-hati dan dicerna dengan nalar, sebaliknya, yang diperbuat perlu dipikir direnungkan dan disaring dengan nurani.

Esensi pepatah dan falsafah adat dimaksud menyiratkan fatwa bahwa orang Minang, seharusnya, memang tak mudah terjerembab atau tenggelam dalam ironi, pendewaan maupun emosi yang berlebihan.

Karenanya, kembali kepada rasionalitas serta kebijakbestarian Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, dua filsuf penggagas dasar-dasar keminangkabauan, tepat sekali kiranya bilamana kita berupaya merevitalisasi alias memfungsikan kembali unsur-unsur tungku tigo sajarangan: para pemangku adat, alim-ulama dan cerdik-pandai, yang secara substansial berperan mutlak lagi sangat menentukan dalam rangka membangun nagari (baca: bangsa dan negara) serta memecahkan masalah-masalah sosial-kemasyarakatan di ranah tercinta ini.

* Nelson Alwi, pemerhati budaya, tinggal di Padang

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 11 Januari 2009

No comments: