-- Julian Millie*
SAYA naik taksi ke Cibiru. Waktu itu tinggal beberapa hari lagi sebelum saya dan teman-teman menyelenggarakan semiloka bertema "Haji Hasan Mustapa, Dulu dan Kini". Begitu mobil masuk ke Jalan P.H.H. Mustapa, saya tergerak untuk bertanya kepada pak sopir tentang tokoh yang namanya diabadikan jadi nama jalan itu.
"Pak, saha P.H.H. Mustapa téh?’ tanya saya mencoba menggali pengetahuan warga Bandung mengenai ulama dari Garut yang meninggal pada 1930 itu.
"Eta mah pahlawan ti Pesantren Cipasung, Tasikmalaya," jawab Pak Sopir.
Jawaban itu, walaupun tidak betul secara faktual, memang bisa dimengerti. Pesantren, pahlawan, dan ulama adalah tiga konsep yang menonjol dalam ingatan sejarah (historical memory) Ki Sunda. Selain itu, masyarakat modern suka menamai jalan dan tempat umum lainnya dengan nama-nama tokoh dan pahlawan yang berjasa dalam perjuangan Republik Indonesia. Jawaban sopir tadi selaras dengan kebiasaan itu.
Namun, jawaban itu menimbulkan pertanyaan menarik tentang Haji Hasan Mustapa, bagaimana penyair mistik itu diperingati dalam peringatan sejarah Ki Sunda? Apakah ada saat-saat dalam kehidupan sehari-hari ketika Ki Sunda sempat mengingat Penghulu Bandung itu? Dengan cara-cara apa Ki Sunda memperingatinya?
Masalahnya menjadi lebih jelas apabila Hasan Mustapa dibandingkan dengan ulama-ulama lain yang seangkatan dengan beliau. Misalnya, K.H. Hasyim Asy’ari, ulama terkenal dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (1871-1947). Dia diperingati dengan beberapa cara di berbagai lingkungan sosial. Sebagai kiai, dia diperingati dalam acara haul, yang dilaksanakan komunitas pesantren pada tanggal kematian sang kiai. Sebagai salah seorang pendiri ormas Islam, Nahdlatul Ulama, dia diperingati oleh sekian banyak pengikut organisasi raksasa itu. Sebagai pahlawan nasional, dia sudah dinobati dengan ketetapan pemerintah sebagai pengakuan terhadap fatwa-fatwanya yang melawan pemerintah penjajah, serta diberi tempat di Museum Pahlawan Nasional. Sebagai penulis dan ulama, dia juga diperingati melalui munculnya edisi baru dari beberapa tulisannya.
Hasyim Asy’ari sampai sekarang masih diberi arti dalam masyarakat sekarang oleh beberapa komunitas. Lain halnya dengan Hasan Mustapa. Sulit mengakui ulama ini sebagai pahlawan. Dia bekerja dalam pemerintah penjajah sebagai penghulu dan menjadi sahabat sekaligus asisten Christian Snouck-Hurgronje, yang ketika itu menjabat sebagai "penasihat pemerintah dalam urusan pribumi".
Selain itu, tidak seperti Hasyim Asy’ari yang masih diperingati oleh komunitas pesantren dalam acara-acara keagamaan, tidak ada komunitas yang membina serta mengkaji gagasan-gagasan keagamaan Hasan Mustapa. Pernah ada golongan elite yang memandang karya-karyanya sebagai ajaran-ajaran, yaitu Galih Pakuan, yang dipimpin oleh Wangsaatmadja, mantan sekretaris Mustapa. Grup itu bubar pada 1960-an. Dengan demikian, peringatan atas Mustapa berada jauh di bawah Asy’ari dalam skala dan frekuensinya.
Namun, Mustapa diberi arti besar dalam bentuk peringatan tersendiri, yaitu penelitian akademis. Ada beberapa penelitian penting mengenai tokoh ini dan karya-karyanya (termasuk oleh R.A. Kern, Ajip Rosidi, Tini Kartini, dkk.).
Sehubungan dengan bentuk peringatan ini, dalam pengamatan saya, ada dua hal yang menjadi motivasi.
Pertama, warisan tulisan-tulisan luar biasa. Ditilik dari segi kecanggihan puisinya dan pemakaian lambang-lambang Islam yang kreatif, baik dari khazanah Islam Arab maupun dari tradisi lokal, sulit ditemukan bandingnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia (mungkin ada satu kekecualian, yaitu pada karya penyair mistik asal Barus, Hamsah Fansuri). Warisan itulah yang menarik perhatian peneliti-peneliti dan penggemar-penggemar sastra Sunda.
Kedua, nilai kedaerahan. Kaum akademis Sunda menempatkan tulisan-tulisan Mustapa sebagai warisan yang bernilai sebagai sumber untuk diketahuinya inti kebudayaan Sunda (Inggris: patrimony). Dengan demikian, penting sekali tulisan-tulisan itu dikaji dan disebarkan dalam lingkungan masyarakat Sunda.
Selain peringatan dalam bentuk penelitian, ada juga fenomena baru yang bisa memperkenalkan tokoh Sunda ini kepada khalayak yang lebih luas. Pemikir muda Sunda Asep Salahudin sengaja memakai tulisan-tulisan Mustapa sebagai bahan pemikiran dalam perang wacana yang sedang diterbitkan dalam media zaman sekarang. Sebagai contoh, dia mengutip beberapa bait dangding Mustapa untuk mendukung sudut pandangnya mengenai kurang banyaknya urang Sunda yang berjabatan tinggi di atas panggung politik nasional ("PR", 17/01/09).
Dengan contoh ini, tampaknya sangat mungkin generasi sekarang dan masa depan memaknai Haji Hasan Mustapa dengan cara-cara yang tidak bisa kita bayangkan sebelumnya. Walau dalam beberapa segi peringatan dia tidak seperti Hasyim Asy’ari, terutama dari segi kepahlawanannya, daftar cara-cara peringatan Hasan Mustapa belum tutup.
Dengan memakai penelitian tentang beliau yang sudah digarap oleh angkatan sebelumnya, tokoh yang menarik ini bisa diperingati oleh angkatan muda sesuai dengan kemampuan dan prestasinya. Setidaknya, itulah yang terpikir oleh saya sewaktu naik taksi.***
* Julian Millie, Dosen dan peneliti dari Universitas Monash, Melbourne, Australia.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Januari 2009
No comments:
Post a Comment