Saturday, January 03, 2009

Manunggaling Ilmu dan Laku

-- Bandung Mawardi*

ALKISAH ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin.

Ketelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono.

Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkaran intelektual di Belanda.

Sosrokartono pun mendapat julukan ”Pangeran Jawa” sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda.

Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam operasionalisasi kolonialisme dalam wajah ambigu pendidikan dan peradaban.

Kehadiran institusi pendidikan Barat pada masa kolonial dengan kentara hendak mengantarkan orang pribumi untuk mencecap dan menerima dunia dalam konstruksi pemikiran Barat. Sosrokartono melakoni pola itu, tetapi dengan sadar melakukan proteksi dan distansi dalam identitas dan ikhtiar menjadi manusia. Genius yang spiritualistik.

Mendapat gelar

Sosrokartono menemukan pengesahan intelektual pada tahun 1908 dengan penerimaan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dalam bidang bahasa dan sastra. Sebuah tanda yang turut menginisiasi kebangkitan intelektual-modern Indonesia. Satu hal yang dirasa menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial.

Sosrokartono gagal secara akademik mencapai gelar doktor akibat kebencian dan dendam dari juru bicara kolonialisme dan orientalisme Prof Dr Snouck Hurgronye.

Sosrokartono mendapat tuduhan sebagai simbol kebangkitan intelektual dan nasionalisme pribumi. Namun, Sosrokartono tetap mendapat nama, menjadi fenomena, juga problema di Eropa.

Mohammad Hatta (1982) menjuluki Sosrokartono sebagai manusia genius. Hatta mengisahkan tentang perjamuan makan kaum etis (Mr Abendanon, Mr Van Deventer, Prof Dr Snouck Hurgronye, dan Prof Hazeu).

Sosrokartono hadir dalam perjamuan makan sebagai intelektual kosen yang disegani. Kaum etis itu ingin menanggung utang kolonial mereka dengan, antara lain, membantu Sosrokartono merampungkan disertasi doktoralnya. Namun, Sosrokartono menjawab tawaran itu dengan sebuah satir: ”Maaf tuan-tuan yang terhormat, utang itu adalah satu-satunya harta saya. Harta saya satu-satunya itu akan tuan ambil juga dari saya?” Satir itu merupakan hantaman keras bagi politik etis.

Motif kolonial untuk mengembalikan utang sejarah mereka dengan mengembalikan kerugian budi dan materi tak mungkin dapat dipenuhi hanya dengan edukasi, irigasi, atau migrasi. Operasionalisasi politik etis justru mengandung dilema untuk mengantarkan pada pintu emansipasi atau westernisasi melalui sihir pemikiran/intelektual.

Pulang

Sosrokartono pada tahun 1925 pulang ke negerinya (Indonesia) setelah kelana di Eropa sebagai mahasiswa, termasuk menjadi wartawan The New York Herald Tribune. Kegagalan mencapai gelar doktor tidak mematikan spirit intelektual tokoh ini. Bahkan, ia mencoba mendaki puncak lain yang mencoba melakukan sintesis antara intelektualisme Barat dan spiritualisme Timur.

Sosrokartono pulang untuk mengabdi kepada negeri dengan menjadi pemimpin Nationale Middlebare School di Bandung. Akan tetapi, pemerintah kolonial curiga dengan ulahnya itu. Mereka melakukan represi politik terhadapnya. Hal yang membuat genius kita ini mencari jalan ekspresi lain untuk mengabdi dan tetap menjadi manusia bebas.

Sosrokartono memutuskan membuka praktik pengobatan tradisional dan menempuh laku spiritual khas Jawa. Sebuah pilihan yang ganjil, memang. Namun, seganjil apa pun, pilihan itu tak menutupi kontribusi Sosrokartono dalam usaha pembentukan negara Indonesia.

Solichin Salam (1987) mencatat, cukup banyak tokoh kunci dalam pergerakan politik nasionalis saat itu yang berinteraksi dengan Sosrokartono. Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro, antara lain, memberi penghormatan besar kepadanya, termasuk pada laku spiritual dalam menopang lakon politik mereka.

Ilmu kantong bolong

Wejangan penting dari Sosrokartono, antara lain, sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan). Sebuah filsafat laku yang merangkum dunia ekonomi, militer, politik, hingga sosial atau etika.

Misteri besar dalam laku Sosrokartono adalah dalam ajarannya tentang ”alif” dalam pengobatan dan perjuangan hidup. ”Alif” adalah huruf awal dalam sistem huruf hijaiah (Arab). Huruf ini adalah simbol kunci dan menentukan.

R Mohamad Ali (1966) mengisahkan, pemasangan alif pada satu tempat yang dipilih Sosrokartono harus dilakukan dengan upacara.

”Alif” mengandung pengertian sebagai pusat kekuatan Ilahi. ”Alif” adalah Sosrokartono dalam laku spiritual untuk menebar cinta kemanusiaan. Huruf alif merupakan simbol untuk laku mengurusi kondisi lahir-batin manusia.

Sosrokartono lebur dalam Islam dan spiritualitas Timur. Pilihan dan pemahaman alif di atas tentu mengacu pada Islam, di mana huruf juga dianggap memiliki rahasia dan kesuciannya sendiri.

Ja’far Ash-Shadiq (schimmel, 1996: 230) mengungkapkan: ”Tuhan membuat huruf sebagai induk segala benda; indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat.... Segala sesuatu bisa diketahui melalui huruf.”

Ajaran terkenal Sosrokartono yang lain adalah ilmu kantong kosong, kantong bolong, dan ilmu sunyi. Mohamad Ali (1966) mengungkapkan ilmu kantong bolong dalam wilayah etis-filosofis. Nulung pepadane, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong. Yen ana isi lumuntur marang sesami (Menolong sesama tanpa peduli pada waktu, perut, kantong. Bila ada sesuatu, diperuntukkan kepada sesama manusia).

Ungkapan itu ditulis Sosrokartono pada 12 November 1931. Apakah masih ada relevansinya dengan situasi sosial dan kemanusiaan kita hari ini?

Kenyataannya, pelbagai tindakan manusia hari ini cenderung tidak bebas dari pamrih, mulai dari uang hingga kekuasaan. Hal yang terefleksi oleh pernyataan di atas.

Ilmu kantong kosong merupakan laku cinta-kasih kepada manusia dan Tuhan. Cinta kasih sempurna adalah antusiasme dan empati untuk menolong sesama manusia dalam mengatasi derita, rasa sakit, dan duka. Cinta-kasih adalah ekspresi pengabdian kepada Tuhan.

Sementara ilmu sunyi adalah puncak laku spiritual dengan mengosongkan diri (pribadi) dari sifat pemujaan diri dengan mempertaruhkan diri secara lahir-batin untuk menolong sesama manusia.

Sosrokartono dengan kalem mengungkapkan, ”Saya adalah manusia. Oleh sebab itu, kemanusiaan tidaklah asing bagi saya.”

Manunggaling akal-jiwa

Sosrokartono (1877-1952) adalah sisi lain intelektual pribumi dalam bayang-bayang kolonial. Genius kontroversial yang menyelami penuh spirit nasionalisme-humanisme. Biografi tokoh ini adalah bab penting dalam sejarah Indonesia modern.

Sosok Sosrokartono memang memperlihatkan keganjilan dalam jalan besar yang pernah dilalui intelektual negeri ini. Ia melakukan semacam sintesis—jika tidak ingin disebut sinkretisme—antara ilmu (intelektual) dan laku (spiritual). Jalan ini memberi kontribusi tersendiri dalam riwayat politik, misalnya. yang dipenuhi lakon-lakon kotor.

Kompetensi intelektual Sosrokartono ketika di Eropa membuat pelbagai kalangan kagum dan takjub. Pilihan menjalankan disiplin ilmu-laku saat ia kembali ke negeri sendiri memang membuat banyak pihak terkejut.

Akan tetapi, bukankah perilaku mendua itu masih juga tercermin hingga hari ini? Atau memang demikianlah karakteristik elite kita, puncak adab dan budaya kita: manunggaling intelek lan spirit?

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut, Menetap di Karanganyar, Jawa Tengah Jateng

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Januari 2009

No comments: