Monday, January 26, 2009

Oase: Perjalanan Sastrawan Dwinegara

-- Theresia Purbandini

TUNTUTANLAH ilmu hingga ke negeri China, kiranya benar pepatah itu adanya. Karena dari negeri panda tersebut, banyak ilmu pengetahuan yang bisa diserap. Misalnya saja pepatah yang sarat akan arti dan makna. Belum lagi nilai sastra yang dibuat oleh para pujangga terdahulu.

Karya-karya sastra Indonesia-Tionghoa dianggap oleh salah satu kritikus sastra, Maman S Mahayana sebagai perintis dalam perkembangan sastra modern di Indonesia. Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor ini mengungkapkan pula percetakan dan penerbitan yang awalnya dikuasai sepihak oleh pemerintah Belanda menjadi salah satu bentuk penyebaran sastra-sastra keturunan ini.

“Mereka menerbitkan novel-novel secara berkala dan membuat para pembacanya berlangganan. Dengan cara inilah mereka mampu melebur ke dalam dunia sastra di Indonesia,” tambah pria kelahiran Cirebon, 18 Agustus 1957 itu.

Sejarah pertumbuhan sastra peranakan Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari bisnis penerbitan dan percetakan di Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari catatan sejarah yang diungkapkan oleh Maman, sejak tahun 1800-an, mereka memiliki kesadaran pentingnya berbahasa Belanda dan Melayu untuk membaca berita berkala demi kebutuhan bisnis bagi mereka yang mayoritas sebagai pedagang.

Karena pada waktu itu, berita berkala memuat pula jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar harga barang dan iklan. Percetakan swasta kemudian mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant).

Hegemoni Belanda

Pada masa kolonial, pemerintah Belanda dengan hegemoninya seolah-olah menjadi barometer kesusastraan Indonesia. Bahkan secara sepihak sastra peranakan Tionghoa tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk warna di khasanah sastra Indonesia. Perbedaan tingkatan bahasa Melayu dijadikan patokan dalam citra sastra, dan sastra peranakan menjadi termaginalkan karena menggunakan bahasa Melayu rendahan. Bahkan Maman pun mengatakan, Balai Pustaka dilahirkan untuk membendung pengaruh nasionalisme yang ditiupkan para penerbit-penerbit swasta yang didominasi peranakan Tionghoa.

Tan Lioe Ie, penyair asal Bali juga menilai dengan bahasa Melayu kasar yang digunakan membuat karya sastra peranakan dianggap sebagai ‘bacaan liar’ . Padahal itu bisa saja merupakan pilihan bahasa untuk kemudahan sosialisasi. Sementara bila diukur estetikanya, menjadi relatif, mengingat karya-karya yang diunggulkan tidak menggunakan bahasa pasar.

Maman memetakan tiga jenis tema yang diangkat para sastrawan peranakan Tionghoa dalam berkarya. Pertama, tema yang berorientasi pada tanah leluhurnya, seperti terjemahan karya sastra asli dari Tiongkok (Sam Kok). Yang kedua adalah tema yang melingkupi seputar daerah tempat tinggalnya, maka karyanya menggambarkan semangat pembauran yang terjadi di kota-kota di Indonesia, seperti karya novel Boenga Roos dari Tjikembang (1927) oleh Kwee Tek Hoay yang piawai menggambarkan hubungan cinta mendalam seorang pria Tionghoa dengan perempuan Sunda yang tidak lazim di masa itu.

Dan tema ketiga adalah semangat perjuangan yang ditularkan oleh sastrawan melalui tulisannya yang mengkritisi arogansi pemerintah kolonial yang hanya berani dikumandangkan penerbit swasta. Digambarkan Maman melalui novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, yang menceritakan tentang seorang pemegang hak monopoli candu (patcher opium) kaya-raya bernama Lo Fen Koei. Lo Fen Koei yang jahat dan penuh ambisi merencanakan sebuah pembunuhan karena ingin mempersunting gadis cantik dari sebuah keluarga pribumi miskin. “Novel karya peranakan berbeda dengan terbitan Balai Pustaka yang hanya mengangkat tema heroik dan tidak pernah mengkritik feodalisme,” ujar editor lepas beberapa buku sastra ini.

Pengaruh yang cukup jelas dari tanah leluhur tertoreh dengan merebaknya cerita silat hasil terjemahan. Menurut Maman, bahkan cerita rakyat Panji asal Jawa pun tercium embusan orientalnya.

Aktivitas pengarang sastrawan peranakan tidak pernah mati, bahkan mereka tetap hidup hingga kini. Banyak di antaranya tidak tercium oleh publik bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa karena telah berganti nama, seperti Abdul Hadi W.M., Marga T(joa), Mira W(ong), Eka Budianta, N. Riantiarno, Basoeki Soedjatmiko, Wilson Tjandinegara, The Eng Gie, Veven Sp. Wardhana, F.X. Rudy Gunawan, Soeria Dinata, Stefani Hid, dan Agnes Jessica. Di samping mereka, ada juga penulis lain yang lebih memfokuskan perhatian pada dunia kritik sastra, yaitu Arief Budiman (Soe Hok Djin) dan Ariel Heryanto.

Asimilasi Sastra

Lebih lanjut Maman mengungkapkan bahwa sesudah peristiwa G30S 1965, tekanan terhadap kaum peranakan Tionghoa untuk berasimilasi dengan masyarakat pribumi semakin besar. Akibatnya, para sastrawan peranakan pun berusaha mengidentifikasikan diri dengan sastra Indonesia. Acapkali karya mereka, baik dilihat dari segi bahasa, bentuk, maupun tema, tidak bisa dibedakan lagi dengan karya para pengarang pribumi.

Hal ini amat disayangkan oleh Tan Lioe Ie yang menyatakan saat rezim Soeharto berkuasa, xenophobia terhadap kultur Tionghoa membuat kegiatan bersastra makin tabu, sehingga masyarakat keturunan diarahkan sebagai pedagang. “Terjadi semacam garis putus dalam perkembangan sastra modern waktu itu, yang mengakibatkan kita kehilangan satu lintasan generasi,” ujar penyair yang menetap di Bali ini.

Lahirnya sastrawan-sastrawan peranakan generasi terkini seperti Sapardi Djoko Damono, Oey Sien Tjwan, Wendoko, Adri Darmaji di antaranya dianggap Tan Lioe Ie patut diperhitungkan sebagai bagian dari warna kekayaan multikultural sastra Indonesia. Meski tak banyak namun hal ini dinilai wajar oleh Tan Lioe Ie karena kultur ini sempat tak mendapat tempatnya.

“Seperti mencari aktivis yang berasal dari keturunan saja, mungkin ada tapi tidaklah banyak,” ujar penyair yang banyak mengeksplorasi ritual dan mitologi Tionghoa untuk puisi berbahasa Indonesia yang ditulisnya. Bahkan Maman juga berpendapat, Indonesia ikut berpengaruh terhadap diaspora kebudayaan Tionghoa di negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, China, Hongkong, dan lain sebagainya.

Secara kualitatif, kedua sastrawan ini memandang karya sastra peranakan sebanding bila disejajarkan dengan nama-nama sastrawan besar Indonesia. Bahkan Maman secara gamblang mengatakan novel Lo Fen Koei tak kalah dengan roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Theresia Purbandini

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009

No comments: