Sunday, January 18, 2009

Esai: Sastra Peter Pan

-- Beni Setia*

NOVEL Budi Darma, Olenka, meninggalkan kesan mendalam pada kerja kepengarangan banyak sastrawan. Setidaknya dari kehadiran catatan interteks, dalam ujud catatan kaki rujukan referensial, yang cermat diusahakan oleh pengarang. Yang dihadirkan untuk menunjukkan semua kejadian, peristiwa dan kilasan batin yang dialami tokoh [Fanton Drummond] dalam novel itu bukan fantasi kosong tanpa asal, dan sebab - yang dibuktikan oleh pembenaran referensial teks lain.

Segala - tak hanya: sebagian besar - rekaan yang fix jadi bagian dari pengalaman hidup sang tokoh [Fanton Drummond] sesungguhnya diawali dan dipicu oleh peristiwa, pengalaman dan bacaan pengarang. Meski dengan tegas -tersirat - Budi Darma membedakan dirinya dari Fanton Drummond, yang diandaikan dan diutuhkan dengan empati, fantasi, pengalaman dan sugesti fakta teks [yang ada di dalam tahap tak-sadar atau bawah-sadar] di luar Olenka.

Manusia rekaan Fanton Drummond itu ada konteksnya, Amerika. Alienasi diri di tahapan pseudo-transendental Fanton Drummond itu ada latar belakang sejarah-nya, sastra Inggris. Tokoh-tokoh dalam novel Olenka itu punya konteks, Amerika. Wawasan moralitas dan anutan sistim nilai tokoh-tokoh novel Olenka itu ada rujukannya, sastra Inggris. Dan karenanya Budi Darma, ketika menulis novel Olenka dan menjalinkan Fanton Drummond dengan tokoh-tokoh dalam novel itu berdasar kon-teks dan rujukan sosiologis Amerika - dan sastra Inggris.

Karenanya, ketika membaca novel itu, kita harus melengkapi diri dengan referensi Amerika dan sastra Inggris, supaya bisa menemukan kecocokan dan nyaman [klop] dengan makna yang sedang diusung penulis dan ditarget menjelma dan hadir dalam kesadaran kita - sebagai pembaca yang wawasannya sangat Indonesiawi. Bila tidak, kita harus melakukan pencerapan fenemologis, dengan menekan impuls tafsir dan sikap kritis ketika mengidentikkan diri sebagai Fanton Drummmod.

Jadi seorang Cecep Syamsul Hari yang kritis melakukan validisasi - seperti yang diperlihatkannya dengan catatan kaki tambahan bagi penggalan Olenka, dalam antologi Dari Fansuri ke Handajani, misalnya. Sehingga kita, sebagai pembaca, menemukan dua orang pinter sedang mempertontonkan wawasan dan referensi sundul langit.

Di titik ini: Apa membaca harus begitu penuh persiapan? Tidak bisakah kita membaca dengan gairah penggila bacaan menyimak buku hiburan, yang tranced karena bisa membaca paling dulu dan secepatnya agar bisa membaca ulang meneliti detil-detilnya?

***

SEBELUM menjawab pertanyaan itu saya harus mengakui dua hal. Pertama, gaya kepenulisan Budi Darma itu manifestasi dari pencapaian intelektualisme. Yang bermula dari kegemaran membaca dan kemampuan untuk menjumlahkan aneka bacaan sebanyak mungkin di satu sisi, dan bagaimana informasi itu disusunnya secara sistimatis dan metodologis sehingga melahirkan penguasaan tingkat tinggi yang diakui secara akademik di sisi lainnya. Sangat sempurna.

Dan kesempurnaan itu menghasilkan jarak dengan orang sekitarnya, yang cuma membaca buku sekedar dan dengan perbendaharaan yang terbatas - terlebih dengan orang yang tidak sempat membaca, atau tak suka membaca karena terlanjur gemar mengumbar syahwat atau berdakwah. Kesadaran itu yang menyebabkan Budi Darma menulis catatan kaki pada bagian akhir novel Olenka, sebagai manifestasi dari keinginan menerangkan, agar banyak hal bisa dimengerti orang banyak. Hampir sejajar dengan catatan kaki dalam Pengakuan Pariyem Linus Suryadi AG, misalnya.

Fenomena itu mengingatkan saya pada serial kartun "Hi and Lois" di Femina dekade 70-an - ibu saya, seorang penjahit, berlangganan karena di majalah itu ada rubrik mode yang disukai kelas menengah pinggiran.

Dalam satu episode, si kembar perempuan Dot melukis, yang dibanggakannya sebagai lukisan "naga ngamuk sampai pemadam kebakaran pontang panting mematikan api". Yang saat diapresiasi si kembar lelaki Dito dianggap rubbish, sebab lukisan itu tak merepresentasikan naga, api dan mobil pemadam kebakaran. Tapi diiyakannya karena Dot berceloteh sambil membawa tongkat.

Dan Olenka Budi Darma terkadang hadir sebagai bacaan menarik dengan banyak keinginan yang diucapkan tanpa sungkan - sambil membawa tongkat akademisi dan indek bibliografi rujukan. Memang bagi saya tak terlalu mengancam, karena saya merupakan bagian dari kesusastraan Indonesia, yang ingin menjadi bagian sastra dunia dan karenanya merujuk ke kekayaan khazanah sastra dunia. Tapi pasti menakutkan bagi seseorang di kota kecamatan pedalaman Jawa, yang selama hidup hanya sempat membaca ringkasan novel dan menghapal periode sastra Indonesia.

Dan lebih mengerikan dan menakutkan lagi ketika kita membaca teks rekaan ruwet tanpa bantuan kata pengantar dan kelengkapan catatan kaki. model Olenka. Inilah - baca: lingkup sosial yang referensi sastranya terbatas - yang dijadikan sebagai pokok pertimbangan kedua. Yang mengingatkan saya pada esei pendek Budi Darma di Horison atau Kompas, yang menggugat situasi kelesuan apresiasi sastra di dekade 70-an, dengan semacam retorika: apa kita membutuhkan sastra media, sebagai media transisi ke sastra serius?

***

JAWABANNYA sudah jelas: Budi Darma menulis Orang-orang Bloomington dan Olenka, yang dengan sadar dan sengaja dilengkapi keterangan asal-usul. Tapi ada sastrawan terperangkap dalam atmosfir lain ketika cerpen dan artikel karyanya muncul di koran, dan apresiator tanpa rasa salah dan sungkan menelepon buat sekedar mendapat kepastian tentang apa yang ingin ditulisnya, kenapa harus dibegitukan dan apa tidak sebaiknya begini saja, dan seterusnya dan sebagainya. Sebuah pergulatan pemaknaan banyak orang lain yang menyebabkan si sastrawan harus meninjau seluruh pola dan metoda kreativitas kesastrawanannya. Apa harus mempedulikan atau tak mempedulikan mereka? Apa harus menetapkan karya konsepsional obyektif sebagai target ideal berolah kreasi dan menghasilkan karya yang mendekati tuntutan ideal mudah diapresiasi? Mempedulikan tepuk tangan banyak orang yang terbiasa berselancar membaca di seperempat jam sambil menunggu angkutan atau kopi mendingin di pagi hari? Atau ...?

Kondisi-kondisi yang membuat sastrawan harus memeriksa apa motivasi dan tujuannya bekesusastraan. Yang jawabannya tak bisa ditemukan dalam sekali tepuk dan diberlakukan seumur hidup. Setiap saat sastrawan harus bergulat dan ditarik ke sana di jam ini, lalu ditarik ke sini pada jam berikutnya, dan berubah lagi di jam berikutnya. Serba tak pasti yang menjanjikan ketakpastian sebagai sebuah dinamika perubahan. Dan bersamanya sastrawan menulis berdasarkan suasana dan melahirkan karya yang situasional meski - setelah jadi - tetap diperiksa dengan konsepsi karya ideal yang situasional tergantungt trend sastra kontemporer kini.

Tapi itu terkadang menunjukkan tidak adanya prinsip, tak dicapainya tahapan matang dari orang yang tak tumbuh mau dewasa - sindroma Peter Pan. Semacam involusi intelektual karena keterbatasan bacaan dan pengalaman - mungkin!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 17 Januari 2009

No comments: