-- Dwi Fitria
ORGANISASI penulis Tionghoa bertumbuh dan terus berjalan. Namun sayang kurang mendapat perhatian.
Di tahun kedua kekuasaannya, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No 14/ tahun 1967. Inpres itu melarang kegiatan apa pun yang berhubungan dengan kebudayaan dan kepercayaan China. Organisasi dan sekolah-sekolah China dibredel. Penggunaan nama China baik bagi para individu Tionghoa maupun usaha tidak lagi diperbolehkan. Begitu pula materi-materi bacaan dalam bahasa Mandarin. Penggunaan huruf China dihapuskan sama sekali.
Menurut Pamela Allen dalam tulisannya Contemporary Literature from Chinese ‘Diaspora’ in Indonesia, di masa itu, Bea Cukai bahkan memasukkan materi-materi bacaan bertulisan China dalam kategori yang sama dengan senjata, amunisi, dan obat terlarang. Paranoia terhadap apa pun yang datang dari China didengungkan dengan kerasnya.
Hanya ada satu harian berbahasa Mandarin yang diperbolehkan hidup di masa tersebut, Harian Indonesia. Itu pun dengan kontrol yang amat ketat. “Harian Indonesia menjadi satu-satunya media berbahasa China yang disetujui oleh Bakin. Gunanya untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah Indonesia kepada masyarakat Tionghoa yang kebetulan tidak bisa berbahasa Indonesia,” ujar Jeanne Laksana, Ketua Yin-Hua, sebuah komunitas penulis Indonesia-Tionghoa.
Larangan ketat ini membuat sastra Indonesia-Tionghoa nyaris mati suri. Padahal menurut Jeanne antara tahun 1955 hingga tahun 1965, sastra Indonesia-Tionghoa adalah salah satu sastra peranakan Tionghoa yang paling maju setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara yang juga memiliki golongan etnis Tionghoa, semisal Singapura atau Malaysia.
Untunglah di tengah-tengah keadaan yang amat menghimpit itu, Harian Indonesia masih menyediakan sebuah ruang yang memuat karya-karya para penulis Indonesia-Tionghoa. Tapi ruang itu dibuka dengan aturan yang cukup ketat, hal-hal yang berbau politis atau bersifat protes sudah tentu tak lolos dari meja redaktur. Eksplorasi para penulis diperbolehkan sebatas tema-tema percintaan atau masalah keluarga.
“Ada juga larangan-larangan yang lebih teknis. Misalnya, kami tidak boleh menulis tentang musim semi. Bagi orang China musim semi merupakan lambang
awal yang baru, untuk menutup buku dari kejadian-kejadian yang sudah lampau,” ujar perempuan yang juga merupakan salah satu pendiri Yin-Hua itu. Dengan alasan bahwa di Indonesia hanya ada dua musim, tema musim semi termasuk dalam hal-hal yang tak boleh ditulis.
Cikal-Bakal Yin-Hua
Melalui tulisan-tulisan di Harian Indonesia itulah para penulis Indonesia-Tionghoa mulai saling mengenal. “Kami mengetahui nama, namun belum benar-benar mengenal orangnya,” ujar Jeanne.
Seorang petinggi Bank Jasa Jakarta, Iskandar, adalah orang yang cukup berjasa bagi cikal bakal berdirinya Yin-Hua. Iskandarlah yang menggagaskan sebuah pertemuan antarpara penulis yang karya-karyanya kerap dimuat dalam Harian Indonesia.
Sejak saat itu para penulis yang jumlahnya mencapai sepuluh orang tersebut kerap mengadakan pertemuan rutin. “Kami membicarakan dan mendiskusikan sastra, karya dan tema-temanya. Tapi karena kondisi, kami belum berani mendirikan sebuah perkumpulan resmi,” ujar Jeanne.
Tahun 1996 dalam sebuah acara tradisional Thong Ciu (peringatan terang bulan), perkumpulan penulis ini dengan sengaja menggalang peminat sastra Tionghoa. Di luar dugaan, 200 orang lebih mendatangi acara itu. Memperlihatkan bahwa meskipun dalam keadaan serba dikekang, perhatian terhadap sastra Indonesia-Tionghoa masih ada dan berkembang. Hal ini menerbitkan optimisme para penulis Tionghoa.
Yin-Hua Berdiri
Kejatuhan Soeharto di Tahun 1998 menjadi momentum terbukanya kekangan terhadap etnisitas masyarakat Tionghoa. Ironisnya momentum ini juga disertai sebuah tragedi kemanusiaan di sisi lainnya.
Traumatis Tragedi Mei 1998, mengoyak hati banyak orang. Tak terkecuali para penulis peranakan Tionghoa. Mereka yang selama ini bungkam, menyuarakan jeritannya dalam karya-karya yang menggambarkan Tragedi Mei 1998. Wilson Tjandinegara, salah seorang aktivis Yin-Hua yang juga aktif dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) menuliskan kepedihan tragedi tersebut dalam sajak-sajaknya Kita Tak Boleh Berdiam Diri, Kambing Hitam, Di Manakah Nuranimu!
Tahun 1998 juga menjadi tonggak bersejarah bagi kebangkitan kembali sastra Indonesia-Tionghoa. Bulan Desember 1998, Yin-Hua resmi berdiri sebagai sebuah organisasi. Sementara sebuah organisasi lain yang juga menghimpun para sastrawan Indonesia-Tionghoa, Perhimpunan Seni Budaya Ibu Pertiwi berdiri di tahun yang sama.
Tahun berikutnya bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Yin-Hua menerbitkan sebuah antologi berisi 100 buah puisi. “50 puisi Indonesia dan 50 puisi penulis Indonesia Tionghoa,” ujar Jeanne.
Masih bekerjasama dengan KSI, Yin-Hua juga menerbitkan Kumpulan Cerpen Mini Yin-Hua pada 1999. Penerjemahan ini memberikan kesempatan bagi para penggemar sastra Indonesia untuk mengapresiasi puisi-puisi dalam bahasa Mandarin yang sama sekali tak bisa dijangkau sebelumnya.
Yin-Hua juga kerap menerjemahkan puisi-puisi Indonesia ke dalam bahasa Mandarin. Penerjemahan karya-karya kedua bangsa ini punya dampak positifnya sendiri. “Esensi usaha penerjemahan ini adalah sastra Indonesia berkesempatan untuk dikenal lebih luas di dunia luar. Sebaliknya penerjemahan sastra Mandarin dalam bahasa Indonesia juga membukakan cakrawala sastra dunia bagi orang Indonesia pada umumnya,” ujar penyair Medy Loekito.
Angin segar kembali berhembus saat Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No 6/Tahun 2000 yang mencabut Inpres tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Keppres ini memberikan pijakan resmi yang membuat organisasi semacam Yin-Hua dapat makin leluasa bergerak.
Sejak pertamakali berdiri pada 1998, menurut Jeanne Laksana para penulis Yin-Hua telah menerbitkan setidaknya 200 karya dalam berbagai bentuk. Sayangnya meskipun cukup aktif, usaha-usaha penerbitan ini masih bersifat sporadis. Banyak dari buku-buku tersebut diterbitkan atas inisiatif pribadi dengan menggunakan dana pribadi. Sehingga jumlah cetakan terbatas dan belum menyebar luas di masyarakat.
Selain itu, kerjasama dengan masyarakat sastra Indonesia yang lebih luas belum terlalu aktif terjalin. “Contohnya Pak Wilson Tjandinegara. Ia dikenal luas karena ia juga aktif di KSI,“ ujar Medy Loekito.
Regenerasi dan Identitas Tionghoa
Hasil represi 32 tahun atas identitas etnis masyarakat Tionghoa, memberikan pukulan cukup keras bagi genre sastra Indonesia-Tionghoa. “Ditutupnya akses pada litetur China berakibat hilangnya dua generasi penulis Indonesia-Tionghoa,” ujar Jeanne.
Dalam masa 32 tahun itu bukannya tidak ada sama sekali sastrawan dari masyarakat keturunan Tionghoa yang muncul. Abdul Hadi WM, Medy Loekito, Marga T, Tan Lioe Ie, adalah sedikit dari sederet sastrawan yang bahkan tetap berkumandang. Namun, para sastrawan ini telah melebur dengan para sastrawan Indonesia. Identitas etnis jarang sekali muncul dalam karya-karya mereka.
Saat ini kebanyakan aktivis Yin-Hua telah berusia 50 tahun ke atas. Regenerasi menjadi salah satu masalah serius. 32 tahun represi menyebabkan sedikitnya masyarakat Tionghoa di Indonesia yang mampu berbahasa Mandarin dengan baik.
Yin-Hua berusaha mengatasi hal ini dengan mengadakan lomba menulis bagi siswa SD hingga SMA guna menjaring bakat-bakat baru. “Belum banyak yang muncul, saya memperkirakan Yin-Hua masih harus menunggu 10 tahun lagi untuk regenerasi,” ujar Jeanne.
Medy Loekito beranggapan bahwa akan amat sulit mengharapkan regenerasi semacam ini. Nyaris tak ada lagi keturunan Tionghoa yang hidup dalam kebudayaan masa lalunya. Banyak di antara mereka yang sudah mengecap pendidikan luar negeri, di Inggris atau Malaysia.
“Menurut hemat saya, yang penting sebenarnya bukan warna ketionghoaan. Dalam sastra yang penting adalah esensinya. Akan lebih baik mengikuti perkembangan alih-alih mengikuti warna lokal yang sebenarnya sudah kurang sejalan dengan zaman. Toh pada waktunya nanti setelah segalanya makin mengglobal, semua menjadi sama. Tidak akan lagi ada perbedaan-perbedaan. Hampir dibilang semua orang nanti bisa menjadi Minang, China, Jawa, dll.,” ujar Medy.
Pertanyaan selanjutnya apakah menjadi Indonesia sama artinya dengan menampik sama sekali unsur Tionghoa? Atau seperti yang dipertanyakan Pamela Allen dalam makalahnya: di manakan Kechinaan berhenti dan Keindonesiaan dimulai? Tidakkah peleburan “total” justru menghilangkan sebuah kekayaan budaya yang baru saja ditemukan kembali?
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 Januari 2009
No comments:
Post a Comment