-- Endang Nina Sugiarti Psi PhD*
"We Are All Indonesians"
TAHUN baru Tionghoa atau Imlek sebagai bagian dari budaya orang Tionghoa, dirayakan sekitar satu tahun sekali berdasarkan lunar kalender. Tahun 2009 ini jatuh pada tanggal 26 Januari. Mulanya, Tahun Baru Imlek adalah perayaan awal musim semi atau biasa disebut festival musim semi. Pada dasarnya, semangat di balik perayaan tahun baru Imlek adalah ketulusan untuk mengucapkan dan mengharapkan kedamaian, kebahagiaan, dan keberuntungan kepada keluarga dan teman. Jadi, bukan suatu ritual agama tertentu, tetapi sebagai tradisi atau bagian dari kegiatan kebudayaan.
Sejak Tahun Baru Imlek diizinkan untuk dirayakan di Indonesia dan penggunaan serta penulisan karakter atau huruf Tionghoa diperbolehkan untuk dipakai lagi, orang Tionghoa merasa menemukan identitasnya kembali. Terutama, setelah Imlek dijadikan hari libur nasional, warga etnis Tionghoa merasa eksistensinya diakui pemerintah dan masyarakat.
Identitas seseorang merupakan bagian dari budaya suatu suku bangsa ataupun ras tertentu tidak dapat disamakan dengan kewarganegaraan. Seseorang dapat memiliki identitas sebagai orang Tionghoa dengan kewarganegaraan Indonesia, Amerika, atau negara lainnya. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa hidup di suatu masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan atau budaya setempat tetapi identitas seseorang biasanya akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan nenek moyangnya yang diajarkan dan dipraktikkan turun-temurun dalam keluarga. Oleh karenanya budaya dan identitas akan sulit untuk dihapuskan atau diubah dari kehidupan seseorang.
Etnis Tionghoa di Indonesia tidak sepatutnya dikatakan tidak kuat, rasa kebangsaannya hanya karena mereka berbicara dan menulis dalam bahasa Tiongkok dan merayakan Tahun Baru Imlek.
Bahasa seseorang yang berbeda seperti bahasa Mandarin ataupun bahasa daerah tidak perlu dikhawatirkan akan memecah persatuan bangsa. Presiden Soekarno pernah menyatakan bahwa bangsa Indonesia terbentuk bukan hanya berdasarkan karena rakyat Indonesia mempunyai satu bahasa yang sama (the same mother tongue), atau terdiri dari satu suku bangsa/etnis grup, satu budaya, maupun satu agama. Terbentuknya bangsa Indonesia adalah dikarenakan kebersamaan rakyat dalam mengarungi penderitaan untuk mencapai kemerdekaan. Berangkat dari penderitaan dan nasib yang dilalui bersama inilah lahir keinginan dan kemauan untuk bersatu.
Inilah yang menjadi fondasi atau landasan persatuan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, mantan Presiden Abdurrahman Wahid pun menyadari bahwa dengan mengizinkan kembali penggunaan bahasa Mandarin tidak akan mengancam persatuan nasional.
Pada tulisan ini memakai istilah Tionghoa, bukan China, untuk merajuk pada keturunan China di Indonesia. Sebagian orang beranggapan sebutan China berbau rasis meskipun secara harafiah kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Hal ini seperti yang terjadi pada African-Americans yang mana mereka menyebut dirinya Black dan bukan Negro atau Niger. Kata Negro maupun Black artinya sama, hitam. Negro mengingatkan mereka akan sejarah perbudakan yang dialami oleh nenek moyang mereka dari orang kulit putih, dan dianggap merendahkan ras mereka.
Peraturan pengharusan penggantian nama, pelarangan untuk berbicara dan menulis huruf mandarin, dan pelarangan perayaan tahun baru Imlek sebagai bagian dari budaya Tionghoa merupakan suatu bentuk penjajahan budaya. Hal ini membuat orang Tionghoa merasa mereka tidak dihargai sebagai sesama manusia dan merasa mereka tidak punya identitas pribadi dan identitas sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial budaya mereka.
Seperti yang dikatakan Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, peristiwa semacam ini akan membuat orang mengalami rasa rendah diri (intrinsic inferiority). Perasaan rendah diri ini terutama pada anak dan remaja akan mengakibatkan rendahnya harga diri (self-esteem) seseorang. Rendahnya harga diri seseorang lebih lanjut dapat berdampak negatif. Gangguan psikologis seperti menjadi pecandu, rentan terhadap tekanan teman sebayanya, depresi, gangguan makan, selalu mencari perhatian, bahkan sampai bunuh diri, merupakan beberapa di antaranya.
Sementara itu, Profesor Kajian budaya Asia dari Singapura Management University, Hoon Chang Yau, menyatakan bahwa Tionghoa Indonesia tidak punya dasar yang kuat untuk disebut atau menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok karena mereka tidak memiliki atau memenuhi persyaratan kriteria dasar sebagai orang Tiongkok.
Menurut Hoon Chang Yau, kriteria dasar itu di antaranya adalah dapat berbahasa Mandarin dan tahu tentang tradisi Imlek, yang mana keduanya tidak dikuasai oleh orang Tionghoa Indonesia. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan bagian penting dalam identitas seseorang karena merupakan bagian dari sejarah hidupnya.
Bahasa yang dipakai seseorang merupakan perkembangan dari hubungan orang tersebut dengan keluarga dan komunitasnya serta memegang peranan yang penting dalam pembentukan identitas sese- orang. Menolak bahasa seseorang dapat dikatakan sama dengan menolak orang tersebut beserta keluarga dan komunitasnya serta warisan budayanya.
Sebagai contoh African-Americans pada umumnya masih berbicara dengan dialek mereka yang khas (ebonics). Tentu saja dengan perkecualian bahwa African Americans yang berasal dari keluarga ber- pendidikan tinggi seperti Barack Obama, berbicara menggunakan bahasa Inggris yang baku. Dalam buku The Skin That We Speak disebutkan bagaimana salah satu penulisnya bergumul dengan identitasnya yang beragam (multiple identity) karena diharuskan memakai bahasa Inggris yang baku di sekolah yang berbeda dengan yang dipakainya di rumah ebonics.
Di sini, bukannya penulis tidak setuju dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di seluruh sekolah di Indonesia, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian penting dari pencarian identitas seseorang. Penggunaan bahasa Indonesia di seluruh sekolah di Indonesia akan sangat membantu bangsa Indonesia untuk mampu berkomunikasi satu dengan yang lain di mana pun mereka berada meskipun berasal dari daerah yang berbeda, suku bangsa yang berbeda, dan dengan bahasa lokal (tribe language) yang berbeda pula. Meskipun demikian, alangkah baiknya bila bahasa lokal/daerah/suku bangsa dilestarikan karena merupakan bagian dari budaya penduduk setempat.
Dapat disimpulkan bahwa Tahun Baru Imlek, bahasa Mandarin, dan nama Tionghoa merupakan bagian penting identitas orang Tionghoa di mana pun mereka berada. Orang Tionghoa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai identitas sebagai orang Tiongkok yang berkebangsaan Indonesia. Mereka masih terikat dengan budaya Tiongkok yang berasal dari nenek moyang mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai identitas mereka, namun mereka juga mempunyai ikatan yang kuat dan mengidentifikasikan dirinya dengan tempat/negara di mana mereka tinggal yaitu Indonesia. Akhirnya, We are all Indonesians dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda- beda tetapi tetap satu.
* Endang Nina Sugiarti Psi PhD, staf pengajar Fakultas Psikologi Ukrida
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 24 Januari 2009
No comments:
Post a Comment