Monday, May 17, 2010

“Bual Kedai Kopi”: Melestarikan Pantun, Menjaga Tamadun Melayu

-- Sihar Ramses Simatupang

Bandung - Menjaga kelestarian peradaban - tamadun - budaya Melayu adalah hal positif, terutama bagi penyair atau pun penulis pantun. Namun, kaidah kesusastraan Melayu harus tetap dijaga. Tujuannya, agar “pakem” itu tak disalahpahami generasi muda pembaca buku pantun dan syair.

Hal itu diutarakan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, salah satu pembicara dalam acara bedah buku syair dan pantun Bual Kedai Kopi karya duet Martha Sinaga dan Suryatati A Manan yang digelar di Hotel Mitra, Bandung, Sabtu (15/5). Ungkapan itu berkaitan dengan pembedahan setiap pantun dan syair Martha maupun Suryatati setelah dikaitkan dengan aturan dan pola dalam pantun.

Pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas di seantero Nusantara. Lazimnya, pantun terdiri dari empat larik, dengan pola a-b-a-b atau a-a-a-a. Semua pantun terdiri atas dua bagian, sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, juga bagian kedua yang menyampaikan maksud, selain mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Selain itu, baik sampiran maupun isi, selain logis, juga wajib memiliki suku kata yang sama. Hal itu diperlukan untuk menjaga keindahan pengucapan dan keindahan bunyi. “Pantun adalah budaya lisan yang cukup berharga, karenanya upaya pelestarian syair diperlukan agar budaya Melayu sebagai budaya tinggi bisa tetap lestari,” papar Ahmadun.

Ahmadun kemudian mengatakan bahwa, pantun juga syair, dalam beberapa karya Suryatati terutama Martha, dirasakan kurang taat asas. Selain memberikan kritik pada salah satu pantun, misalnya pada pantun karya Martha berjudul “Oh” (Bual Kedai Kopi, terbitan Yayasan Kalpataru Jakarta, halaman 79) pada baris pertamanya menghadirkan isi namun tanpa sampiran. Selain itu, ungkapan yang berpanjang-panjang, tak tepat antara isi dan sampiran pun dikritik Ahmadun.

“Jika mungkin, sangat arif dan bijaksana jika buku ini diedit lagi. Bila tidak, saya khawatir ini menjadi preseden buruk bagi pengajaran pantun di kalangan pelajar,” tegas Ahmadun. Dia kemudian menyebutkan nama Tusiran Suseno, seorang yang mengerti soal aturan dan kaidah baik di syair maupun pantun Melayu yang tinggal di Kepulauan Riau, seharusnya bisa dimintai pandangannya untuk buku ini. Menanggapi itu, baik Martha maupun Suryatati mengakui bahwa saran Ahmadun dapat menjadi masukan dalam teknik dan estetika berpantun.

Tema Sosial


Sebelum pembahasan Ahmadun, pembicara lainnya, sastrawan Sides Sudyarto DS lebih menelaah buku Bual Kedai Kopi melalui tema dan latar sosial. Di syair maupun pantun, menurut Sides, Suryatati sebagai Wali Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, kerap terlibat di birokrasi. Juga Martha Sinaga yang berlatar belakang jurnalis, mempunyai perbedaan sudut pandang.

“Persamaannya, keduanya mencoba bicara secara jujur dan terbuka, mereka hanya berbicara apa yang mereka ketahui, mereka tak berbicara apa yang mereka tak ketahui. Hasilnya, keluguan yang disampaikan dalam bahasa yang merakyat, komunikatif, mudah dicerna oleh kalangan atas hingga yang paling bawah,” ujar Sides.

Dalam makalah bertajuk “Suryatati A Manan dan Martha Sinaga: dalam Kesaksian dan Kritik Sosial” itu, menurut Sides, Bual Kedai Kopi bukanlah sebuah bualan, melainkan kesaksian dua pribadi mengenai realitas sosial yang dikemas dalam pantun dan syair. “Mereka melestarikan bentuk pantun dan syair sebagai genre sastra kita, di sisi lain menjadi sumbangsih berupa keprihatinan menyangkut lingkungan manusia dan lingkungan hidup kita yang meradang akibat ulah sesama,” ujar Sides.

Matdon, penyair dan wartawan, yang ikut membahas acara bedah buku Bual Kedai Kopi, melontarkan bahwa karya sastra yang menyadari estetika lokal, akan memperkaya bahasa Indonesia. Selain itu, Matdon memperbandingkan dengan pantun dari Sunda. Pengertian pantun Melayu, di Sunda, kerap disebut sisindiran, yang cara menulisnya sama-sama berupa sampiran dan isi.

“Sastra mampu menyampaikan pesan bagi kondisi masyarakat, urusan penyair tak sekadar menulis puisi, pantun dan syair, tapi juga peduli pada lingkungan di luar kepenyairan dan karyanya. Jika kedua penulis memakai dan sangat mengagungkan lokalitas bahasa itu bagus dan patut dicontoh,” ujarnya.

Baik Suryatati A Manan maupun Martha Sinaga, papar Matdon, memilih wilayah perhatian tersendiri. Wilayah sosial, politik dan ekonomi, menjadi bagian dari hampir semua karya yang mereka tulis. n

Sumber: Sinar Harapan, Senin, 17 Mei 2010 18:59

No comments: