-- Yosafat Hermawan Trinugraha
• Judul: Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998
• Editor: I Wibowo dan Thung Ju Lan
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas
• Cetakan: I, Maret 2010
• Tebal: ix + 250 halaman
• ISBN: 978-979-709-472-0
ARAH angin dan gerak seperti apakah yang sedang berembus dan berjalan pada masyarakat Tionghoa di Indonesia pascaperistiwa Mei 1998?
Konstruksi sosial keberadaan etnis Tionghoa dari waktu ke waktu memang dibangun dalam sejarah yang panjang, khususnya sejak zaman kolonial. Pada masa Orde Baru, konstruksi tersebut dibangun melalui berbagai kebijakan. Peristiwa kekerasan Mei 1998 menjadi bom waktu yang meledak dari puncak berbagai kebijakan tersebut. Fakta tentang hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jemma Purdey (2005) bahwa sebagai wacana, anti-Tionghoa telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan normal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam keadaan seperti inilah kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia seolah-olah dibenarkan dan dihalalkan, bahkan para pelakunya merasa yakin bahwa mereka tak bakal mendapatkan hukuman.
Buku ini memiliki konteks istimewa karena berusaha menggali dan mencatat realitas keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya pascaperistiwa kekerasan Mei 1998. Terdapat delapan tulisan (ditambah prolog dan epilog) yang mencoba mengkaji keberadaan etnis Tionghoa tersebut. Kedelapan tulisan itu memiliki keragaman tema, mulai dari perkembangan aktivitas politik, keberadaan agama Konghucu yang mulai diakui, perkembangan buku-buku bertema Tionghoa, sampai dengan perkembangan kursus bahasa Mandarin yang menjamur. Semuanya dalam setting peristiwa pascaperistiwa 1998.
Potret perkembangan
Dua tulisan pertama buku ini mencatat aktivisme politik yang dilakukan golongan etnis Tionghoa di Indonesia pasca-1998. Terbagi dalam dua hal, yaitu perjuangan mengubah ingatan kolektif mengenai keberadaan etnis Tionghoa yang senantiasa tersisih dalam historiografi bangsa Indonesia dan pendirian partai maupun organisasi masyarakat yang menyuarakan kepentingan mereka.
Sementara itu, dari sisi keyakinan dan kepercayaan, dua penulis, Leo Suryadinata dan Abdul Syukur, mengkaji keberadaan dan dinamika Konghucu dan Buddha di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam perjalanannya, dibandingkan dengan Konghucu, Buddha lebih diakui karena dianggap lebih ”berbau” Indonesia. Kebijakan ini juga sejalan dengan pengubahan kelenteng menjadi wihara yang lebih dekat dengan Buddha. Seiring dengan runtuhnya penguasa Orde Baru, keberadaan Konghucu menjadi lebih diakui. Kebebasan melakukan ritual keagamaan maupun penetapan Imlek sebagai hari raya yang diakui adalah sebagian bentuknya.
Berikutnya adalah bahasan tentang penerbitan buku dan media. Agung Setiadi, penulis bagian ini, mencoba mengategorikan buku-buku yang terbit tersebut. Sementara itu, kritik menarik disampaikan Stanley yang mengkaji keberadaan media bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia pasca-1998. Dari berbagai media, sebagian besar dianggap lebih berorientasi pada ekonomi/merebut pasar iklan ketimbang memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Adapun dua bahasan terakhir di buku ini melihat maraknya pementasan barongsai dan kursus bahasa Mandarin pasca-1998. Dalam perkembangannya, barongsai telah menjadi simbol identitas tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi juga simbol kebangkitan budaya Tiongkok secara global. Sementara munculnya kursus bahasa Mandarin yang seolah menjadi tren tampaknya perlu dilihat ulang dengan berbagai faktor lain, seperti latar belakang peserta kursus, motivasi, dan lokasi kursus.
Menafsir perubahan
Beberapa tulisan dalam buku ini baru sampai pada titik mendeskripsikan sebuah persoalan dan belum sampai pada penafsiran, bahkan pemaknaan. Ketika membahas maraknya buku-buku Tionghoa pasca-1998, misalnya, baru sebatas tahap pengategorian saja dan tidak memberi pemaknaan yang lebih jauh. Padahal, bisa ditanya lebih jauh, misalnya, adakah kecenderungan tren penerbitan buku tersebut hanya memenuhi kebutuhan pasar sehingga wacana Tionghoa hanya komodifikasi semata?
Juga ketika membahas tren kursus bahasa Mandarin. Deskripsi baru sebatas pada fenomena menjamurnya kursus, tetapi tidak mencoba menafsirkan dan memaknai dalam konteks yang lebih jauh dan luas. Misalnya, dengan semakin menguatnya Tiongkok sebagai pusat kekuatan dunia, tren tersebut bisa dimaknai sebagai bagian dari fenomena globalisasi kebudayaannya.
Namun, berbagai ”kekurangan” di atas sepertinya sudah dijawab oleh Thung Ju Lan dalam pengantar buku ini. Ia menyampaikan pendapatnya bahwa memang tidak semua tulisan bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat Tionghoa pasca-1998 (hal 22). Sebuah potret perubahan masyarakat Tionghoa selama sepuluh tahun terakhir pasca-Orde Baru memang telah terbingkai. Tetapi, mengindikasikan apa? Karena pembahasannya tidak sampai ke arah tersebut, pertanyaan inilah yang dalam beberapa tulisan disampaikan.
Lepas dari kekurangan tersebut, sebagai sebuah data empirik, berbagai tulisan dalam buku ini memiliki nilai lebih dan cukup berharga. Data tersebut bisa dikatakan cukup baik untuk memperlihatkan gambaran masyarakat Tionghoa di Indonesia pasca-1998, yang sebenarnya belum banyak dilakukan oleh berbagai pihak.
Di ujung penutupnya, I Wibowo menyampaikan refleksinya bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia ke depan tetaplah harus bekerja keras untuk bisa tampil di berbagai bidang yang ada di masyarakat (sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya). Di tengah arus reformasi dan keran kebebasan yang bisa lebih dinikmati, sinyalemen I Wibowo ini bisa ditangkap secara positif maupun negatif. Secara negatif, ini mengandung arti bahwa keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sampai saat ini—diakui atau tidak—tetaplah dianggap ”menyimpan masalah” (meskipun konteksnya tak lagi seperti pada masa rezim otoriter Orde Baru). Diskriminasi (dan juga kekerasan) di berbagai bidang akan sangat mungkin terulang. Di sisi lain, secara positif, sebagai kelompok minoritas, masyarakat Tionghoa di tengah arus reformasi dan kebebasan sekarang ini tetaplah dituntut harus terus berprestasi untuk bisa meraih berbagai posisi di masyarakat.
* Yosafat Hermawan Trinugraha, Pengajar Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS
Sumber: Kompas, Rabu, 26 Mei 2010
No comments:
Post a Comment