-- Binhad Nurrohmat
UANG kertas Rp 100.000 keluaran tahun 2004 berilustrasikan teks Proklamasi serta gambar Soekarno-Hatta dan gedung parlemen. Uang tak cuma alat tukar. Uang juga alat simbolik kekuasaan politik. Nalar modern melantari uang menguasai tata-kehidupan. Edukasi, seni, bahkan agama terjerat kuasa-uang. Tanpa kartu ATM dan kartu kredit kehidupan seakan macet.
Peredaran pengetahuan seperti putaran uang, kata Jean-Francois Lyotard. Perbedaan penting antara nilai edukasi dan politik bukan lagi soal mengetahui atau ketakacuhan, melainkan serupa uang. Lyotard menyatakan itu dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Risalah itu membincang narasi alit yang becus mengendus bentuk sari pati penemuan imajinasi dan memudarnya pamor narasi besar. Baginya, konsensus tak kuasa lagi menopang kriteria kesahihan. Juru pemecahnya adalah paralogi. Paralogi memasuki kenyataan lewat ”jalan-jalan samping”, bukan ”jalan besar” warisan modernisme yang sudah buntu. Paralogi menekankan disensus (kondisi ketaksepakatan dalam kehidupan sosial) lantaran konsensus jadi cakrawala tak kunjung tergapai.
Khilaf baca
Restui saya mencuplik tulisan Edy A Effendi ”Paralogi: Satu Residu yang Tersisa” (Kompas, 21/3): ”Kenyataan sastra hari ini… harus dilihat dan dipandang dalam prinsip-prinsip paralogi”; dan keharusan itu karena fakta ”sastra dewasa ini yang menyodorkan berbagai bentuk kreatif”. Ia mematuhi Lyotard. Tapi apakah ”keharusan” itu tak menjegal prinsip paralogi itu sendiri?
Baginya, problem sastra hari ini tak cuma tema dan ”seharusnya dikaji lebih subtil, detail, dan terstruktur ’darah-daging’-nya.” Namun, dambaan Bandung Mawardi dalam ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Kompas, 7/3) agar kesusastraan mengusung tema uang dilantari kondisi modern yang dikonstruksi oleh uang itu menurutnya luput dari mata kesusastraan Indonesia modern. Dambaan itu sah sebagai pilihan komitmen sosial pengarang.
Ia pun meributkan cuplikan teks-teks Telegram karya Putu Wijaya dan Pasar karya Kuntowijoyo dalam tulisan saya ”Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?” (Kompas, 14/3). Ia apriori dan berprasangka bahwa pencuplikan teks-teks itu tanpa bergulat dengan teks itu sendiri. Saya mencuplikkan teks-teks yang langsung menunjukkan efek ”kuasa-uang”, tapi baginya cuplikan teks-teks itu tak ”mengawinkan proyek imajinasi dengan realitas keseharian”. Jika ia tak khilaf baca, cuplikan teks-teks itu mengonkretkan imajinasi karena terkawinkan dengan realitas keseharian.
Menurutnya, saya mencontohkan dua novel itu berarti menyalahpahami kehendak Bandung soal tema uang dalam kesusastraan. Dua novel itu (dan karya-karya lain yang saya contohkan) memang tak mengusung tema uang sebagai isu sentral, melainkan menyiratkan tema itu secara organis; dan di titik inilah saya beda perspektif dengan Bandung soal tema uang dalam kesusastraan.
Baginya pula, penilaian saya keliru sebab isu sentral karya-karya itu bukan soal uang. Menurut saya, penilaian saya adanya efek ”kuasa-uang” dalam dua novel itu sejalur penilaian Boen S Oemarjati atas Telegram (yang membongkar paradoks manusia modern) dan penilaian A Teeuw ihwal Pasar (yang mengusung harmoni dan disharmoni kehidupan publik)—sebagaimana yang dipajang dalam tulisannya itu. Bedanya, penilaian saya fokus ke biangnya, yaitu efek ”kuasa-uang” dalam dua novel itu. ”Kuasa-uang” adalah sumber paradoks dan disharmoni kehidupan.
Sikap pengarang
Beni Setia dalam ”Masyarakat tanpa Orientasi Uang” (Kompas, 2/5) menilai titik terjauh dari tulisan Bandung yang pertama (7/3) adalah ”kenapa uang tak pernah jadi obsesi manusia Indonesia dan direfleksikan dalam karya sastra”. Bagi Beni, inti soalnya adalah ”tak ada sastrawan Indonesia yang bisa sampai ke filosofi inti kesadaran etik bisnis yang bertanggung jawab”. Beni cekatan tapi ekstrem menggeneralisasi.
Bandung dalam ”Nalar Uang dan Nalar (Pengarang) Sastra” (Kompas, 9/5) rajin merekrut dan memuji tema uang dalam sastra Melayu Tionghoa awal abad XX yang bergaya jurnalistik itu dan ia menyiratkan kritik bahwa kesusastraan Indonesia modern gagal menggarap tema uang. Ia lupa gaya penulisan sesudah masa sastra Melayu Tionghoa itu hendak serentak merengkuh bauran beragam kenyataan lewat suatu tema tertentu, sebab kehidupan itu bauran realitas-realitas. Tema uang dalam kesusastraan Indonesia modern tak digarap lewat kacamata kuda.
Sayang, ia abai kuasa-uang yang mengikis idealisme kerja pengarang. Ia terpaku soal garapan tema uang dalam kesusastraan dan lupa akibat efek kuasa-uang—misalnya godaan pasar dan hadiah sastra—pada laku kepengarangan.
Lantas, apa faedah kesusastraan menggarap tema uang?
Pada 1920-an, Al Capone membuka bisnis cuci-uang palak, pelacuran, dan lan-lain agar uang bersih dan halal. Mafia besar Amerika itu dihukum bukan karena kejahatan cuci-uang. Ia dipenjara sebab menggelapkan pajak. Transaksi cuci-uang ”terdukung” bank-bank Swiss yang sejak 1930-an mencetak nostro account (rekening yang identitas nasabahnya berupa nomor sandi sehingga yang terlibat transaksi tak diketahui). Dan barisan panjang skandal uang di negeri ini kerap ”dibereskan” dengan uang.
Bagaimana pengarang menyikapi kenyataan-kenyataan itu?
Bagi Lyotard, ”Para seniman dan penulis mesti dibawa kembali ke haribaan masyarakat, atau setidaknya, jika masyarakat dianggap sakit, mereka mesti diberi tugas menyembuhkannya.”
Lyotard tak membebani kesusastraan dengan tugas. Sebab memang itulah sebagian tugas kesusastraan serius. Tugas yang dimaksud Lyotard itu sebut saja ”misi eksternal kesusastraan” yang berbaur ”misi internal kesusastraan”—sebut saja estetika. Ada pengarang membabi-buta pada misi eksternal kesusastraan sebab ia rabun melihat esensi kesusastraan.
Ada pengarang semata memuja misi internal kesusastraan sehingga patut dipertanyakan epistemologi kesusastraannya. Bauran dua misi itu dalam seni susastra bukanlah sebuah mission impossible, contoh kisah Shinel (Mantel) karya Nikolai Gogol itu. Apakah uang kertas Rp 100.000 keluaran tahun 2004 itu merupakan contoh bauran dua misi itu dalam seni gambar? Tutup tulisan ini dan bukalah dompet atau pergi ke ATM...
* Binhad Nurrohmat, Penyair dan sivitas akademika STF Driyarkara, Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment