-- Bonardo Maulana W.*
“ANDA punya kali?” tanya perempuan itu dalam keraguan dan ketakutan. ”Kali-kali menciut,” rutuknya, ”Kali-kali raib.”
Dalam intonasi timpang, Mona Sylviana mengisi suara perempuan itu dengan keperihan yang nyaris mewakili kekelaman pada ”Hujan Mencari Kali”, sebuah repertoar produksi Studio Hanafi dan Institut Nalar Jatinangor yang terpaksa dihadirkan dua kali pada Selasa (11/5) karena ruang tak sanggup menampung beludak penonton. Sepanjang pertunjukan, narasi yang ditembakkan ke panggung oleh Mona mengatur ritme dan nyawa pementasan.
Tidak hanya menempelkan keaktoran Mona, ”Hujan Mencari Kali” menjadi galeri instan karya instalasi pelukis/perupa Hanafi. Aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ), Universitas Padjadjaran, Jatinangor, yang menyemburkan kekakubekuan ruang ala teknokrasi diolah dengan terampil dan kreatif oleh Hanafi sehingga menciptakan sebuah ruang baru. Maka perhatikanlah ini: kerangka wajan berbahan logam berdiameter sekitar 2,5 meter mengambang di tengah aula, seakan-akan menjadi wajah dalam tengadah-sembah. Di bibir panggung, gergaji raksasa ditelentangkan sebagai medium bagi seorang aktris (Astrid) yang memerankan gergasi dalam kostum berwarna, meminjam larik sajak Nirwan Dewanto, ”merah Mao”, untuk mengolah gerak tubuhnya.
”Hujan Mencari Kali”, repertoar arahan Hanafi, Hikmat Gumelar, dan Adinda Luthvianti ini, dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama meminjam ruang tepat di bawah kerangka wajan mengambang. Dan bagian terakhir bertempat di sisi yang berseberangan dari naungan wajan, dengan setting panggung yang menyarankan sebuah bangsal rumah sakit.
Pada bagian pertama, situasi diciptakan sebagai taman yang tak mengenal matahari: dingin, berjarak. Mona, sebagai perempuan 1 yang juga adalah dokter, duduk pada bangku panjang dengan latar depan lautan sampah. Di dekat bangku, tergantung vertikal kawat ayam yang digulung serupa lumpia dan menyarankan batang-batang pepohonan. Perempuan 1 duduk di ujung bangku yang satu, sementara aktor-aktor lain bergantian masuk dan memilih ujung bangku yang lain. Antara Perempuan 1 dan tokoh-tokoh lain, ada dialog-dialog pendek tak utuh yang hampir selalu memiliki nada sama, ”Oooh, tunggu. Mungkin anda mengenal hujan?” / ”Hujan akan datang sore, setelah urung kesekian kali. Ia pasti akan turun sore ini.”
Bagian ini sesungguhnya ingin menyungkurkan nihilisme ke lantai panggung. Di sana-sini suasana murung dan pesimis: sampah, pohon kawat, awan logam (wajan). Dominasi layar dan kostum putih semakin jelas memantulkan ketiadaan harapan itu. Hanya, beberapa pemeran yang bergantian menyambangi taman itu--orang 1 (Lina), orang 2 & 3 (Rini & Dita), perempuan 2 (Maria Ulfa)--agaknya masih terlalu kenes sehingga alpa untuk turut pula menebarkan pesimisme ke atas panggung.
Kegetiran yang sama masih membungkus bagian kedua. Di meja diagnosis sebuah klinik, seorang pasien berdialek Betawi (Adam) ditanya oleh sang dokter (Fega Maria), ”Beraknya masih ada isinya?” / ”Air, dokter, air melulu” / ”Airnya berlendir?” / ”Ah, mana ada air yang tak berlendir di kota?”
Pada adegan lain, nada serupa masih bisa dicermati. Dengan tubuh ringkih, Mona memainkan dokter yang selalu penuh sinisme bahkan kepada pasiennya sendiri, seorang lelaki berdialek Betawi yang sudah kepayahan menopang dirinya sendiri. ”Bapak punya kali?” tanya sang dokter. ”Kali, untuk apa?” jawab si pasien. “Kali untuk jalan air hujan.” Dokter lantas membebat dirinya dengan kain, terbalik dengan Drupadi yang ditelanjangi.
”Hujan Mencari Kali” dengan nadanya yang minor memperlihatkan ketakberdayaan manusia dalam menyikapi lingkungannya dengan awas dan waras. Aktor-aktor di panggung, terutama di bagian taman, yang tak luwes merespons tata artistik di sekelilingnya, seakan-akan secara tidak sengaja menjadi gambaran kita, terutama, warga kota yang sulit berempati dengan lingkungan. Kalimat-kalimat yang dilontarkan karakter buatan Mona dengan sulit dan tanpa kepercayaan diri menekankan ketakutan sebagian besar dari kita akan masa depan lingkungan.
Akan tetapi, bukankah ketakutan dan kelimbungan seperti itu yang kiranya dibutuhkan untuk menilai ulang keberadaan kita sebagai manusia, sebagai warga kota? Rasa limbung menghindarkan kita untuk terlalu optimis, sebagaimana kali di kota. Jika hujan adalah metafora bagi warga, sungai adalah metafora bagi kota yang menjadi. Proses menjadinya selalu bersandar kepada warga yang mendiaminya. Dan pada keadaan demikian, cara terbaik bagi ”hujan” untuk menemukan ”kali” adalah memandang ulang dirinya dengan cara berbeda.***
* Bonardo Maulana W., peminat teater dan penekun poskolonialisme, tinggal di Jakarta.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment