-- Hawe Setiawan
SEORANG teman dari Bandung yang berkarya di bidang seni rupa, terobsesi oleh puisi-puisi Afrizal Malna. Jika Diyanto, perupa lain dari Bandung, menghasilkan sejumlah lukisan yang terinspirasi oleh puisi-puisi Afrizal, Besti ---demikian nama teman itu--- menyalin puisi-puisi Afrizal dari sebuah antologi. Begitu ia selesai mengetik, seluruh puisi itu ia hapus dari layar monitor. Kemudian, ia menyalin lagi puisi-puisi itu.
Buat saya, gejala demikian ikut mengisyaratkan kedekatan puisi-puisi Afrizal dengan bidang kerja visual. Setidaknya, terasa ada cukup bahan buat membaca puisi-puisi Afrizal dengan penglihatan sebagaimana yang mungkin dimiliki para perupa. Itulah yang terpikir manakala saya ikut membaca buku terbaru Afrizal, Pada Bantal Berasap (PBB) (Omahsore, 2010).
PBB menghimpun empat kumpulan puisi yang sebagian besar di antaranya pernah terbit secara terpisah. Afrizal sendiri, selama lebih dari seperempat abad terakhir, tidak hanya menulis puisi, melainkan juga menulis prosa, tak terkecuali yang berupa naskah drama dan esai. Buku ini ikut menandai proses kreatifnya selama ini.
Seperti halnya kaleng-kaleng Coca-Cola dapat kita kumpulkan untuk dijadikan mainan, puisi-puisi Afrizal sejauh ini dapat pula kita jadikan bahan buat merekonstruksi bangunan puitis (poetics). Paling tidak, dengan menjadikan puisi-puisi Afrizal sebagai referensi, kita dapat memikirkan lagi apa yang kita sebut puisi.
Saya sendiri merasa perlu membaca puisi Afrizal setiap kali saya meragukan apa yang disebut komunikasi, yakni upa-ya berbagi pesan melalui bahasa sebagai mediumnya. Apa sesungguhnya yang kita sebut "pesan"? Apa sesungguhnya yang kita sebut "bahasa"? Sarana komunikasi kian canggih, tetapi sarana perang tak kalah canggihnya. Adakah yang disebut saling pengertian? Di lautan informasi, sering saya malah merasa bodoh. Kata-kata berseliweran jadi derau seakan kita kekurangan telinga.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Afrizal di Candi Sukuh. Dalam obrolan ia bertanya, "Bagaimana kalau mati listrik terjadi dalam bahasa?" Pada hemat saya, substansi pertanyaan itu penting. Ungkapan "mati listrik" dapat mengacu pada kegelapan total, ialah gulita yang membuat kita tiba-tiba merasa buta karena dunia persepsi menghilang seketika. Terbayang betapa sulitnya jika tiba-tiba bahasa jadi macet seakan ada tangan yang memotong lidah kita.
Ketika Afrizal membawa ungkapan "mati listrik" ke wilayah linguistik, ia sesungguhnya sedang melihat bahasa dalam konteks spasial. Bahasa di mata Afrizal, sepertinya merupakan sesuatu yang meruang. Dengan demikian, kata-kata sebagai sesuatu yang pada dasarnya verbal kemudian dilihat pula sebagai sesuatu yang visual.
**
AFRIZAL menulis puisi seraya mempersoalkan puisi itu sendiri. Ia memang tidak sempat merumuskan kepuitisannya secara utuh. Namun, dengan gaya yang hampir menyerupai puisinya sendiri, Afrizal sempat mengemukakan pandangannya seputar puisi di sana-sini, misalnya dalam pengantar untuk ”Saya Menyetrika Pakaian dan Dalam Rahim Ibuku tak ada Anjing” (Bentang, 2002).
Pertama-tama, Afrizal melihat sebentuk ruang besar yang ia sebut "dunia komunikasi". Ruang itu ditempati oleh subjek atau diri yang dapat melihat ke dalam dan ke luar, dalam arti melihat dirinya sendiri dan orang-orang lain dengan perantaraan bahasa ("aku", "engkau", "dia", dan "mereka"). Dengan perantaraan bahasa pula, diri sendiri bisa berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan dua motivasi yang dimungkinkan: di satu pihak, diri sendiri dapat menjalin ikatan dengan orang lain, tetapi di pihak lain, diri sendiri justru ingin menegaskan perbedaannya dari orang lain. Ada "ikatan" di satu pihak, dan ada "oposisi" di pihak lain.
Namun, di situ ada hal yang paradoksal. "Ikatan" hanya dapat dijalin mana-kala orang menyadari adanya perbedaan (kalau sudah menyatu, buat apa diikat?), dan "oposisi" hanya dapat ditegaskan dalam kebersamaan (kalau sendirian, mana mungkin ada lawan?). Sementara itu, pembelahan antara diri sendiri dan orang lain bukanlah pembelahan mutlak, sebab pada dasarnya keduanya dapat bertukar tempat, seperti ketika Afrizal membeli kalung dan memakainya dengan cara berpakaian yang menyerupai cara temannya, ia seketika jadi seperti orang lain.
Bagi Afrizal, sepertinya, karena semua ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari adanya bahasa, maka persoalan yang dihadapi oleh penyair adalah berupaya "meloloskan diri dari determinasi bahasa", terutama dalam arti "memunculkan berbagai pengucapan yang bisa melayani kebutuhan orang untuk berjumpa dengan orang lain lagi, dalam rekonstruksi wacana yang belum diduga sebelumnya". Demikianlah, kata dia, "puisi lahir untuk memperlihatkan adanya ikatan-ikatan dan oposisi-oposisi lain pada dunia komunikasi".
"Dunia komunikasi" itu sendiri dibentuk oleh kata. Kata pulalah, dan bukan bunyi, yang menjadi partikel terkecil dari baris-baris puisi Afrizal. Dalam hal ini, lagi-lagi Afrizal melihat kata dalam konteks spasial. Kata-kata dilihat sebagai sebentuk arsitektur yang terdiri atas "ruang dalam" (ruang privat) dan "ruang luar" (ruang publik).
Puisi, menurut Afrizal, adalah "produk ruang dalam kata" yang dibawa ke ruang publik atau "yang mencoba keluar menemui publik". Puisi demikian ada kalanya berupa "pembocoran biografi", ada kalanya pula berupa "migrasi" dari ruang yang satu ke ruang lainnya. Lagi-lagi terlihat hal yang paradoksal. Ketika puisi sebagai produk ruang privat dibawa ke ruang publik, ia tidak (sepenuhnya) mau tunduk pada konvensi yang berlaku di ruang publik. Tegangan selamanya terwujud di antara kedua ruang itu.
Di sinilah, saya menduga bahwa puisi-puisi Afrizal sepertinya lahir dari cara berpikir dengan gambar.
**
DENGAN melihat dan memperlakukan kata terutama sebagai rupa, dan bukan sebagai bunyi, puisi-puisi Afrizal tampak berupaya meloloskan diri dari kemapanan sajak -jika kita membedakan istilah "puisi" dan "sajak" berdasarkan perbedaan dalam perlakuan terhadap anasir bunyi dalam bahasa.Tentu, upaya seperti itu tidak serta merta. Jika kita memperhatikan puisi-puisinya dari awal dasawarsa 1980-an, tampak bahwa Afrizal masih ikut berdiam dalam bentuk dan gaya pengucapan yang mengolah pola persajakan, misalnya dalam puisi "Layang-layang" dari 1980.
Dalam kumpulan-kumpulan puisi Afrizal yang bemunculan kemudian, bentuk dan gaya pengucapan demikian, yang padat dan mengalun terutama de-ngan memperhitungkan efek dari pemenggalan larik, hanya kita dapatkan satu dua. Selebihnya, Afrizal mengeksplorasi puisi-puisi yang memungkinkan kata-kata dapat lebih leluasa bergerak dari kiri ke kanan, dalam baris-baris yang memanjang, dalam bentuk yang menyerupai komposisi yang tersusun dari satu atau sekian paragraf.
Namun, puisi-puisi Afrizal tidak semata-mata mewadahi gaya pengucapan yang cenderung prosais. Sebab, pada saat yang sama, ia berupaya mengobrak-abrik atau mengutak-atik kemapanan bahasa prosa itu sendiri. Dengan begitu, ia berupaya mencari peluang-peluang baru dalam komunikasi, atau bahkan membentuk wacana baru.
Salah satu contohnya dapat dilihat dari caranya membuat kategorisasi benda atau gejala yang diamati dalam deskripsi. Dalam komunikasi sehari-hari, benda atau gejala lazimnya dikelompokkan berdasarkan prinsip kesejajaran, misalnya sikat gigi dan sabun mandi atau lalu lintas dan polisi. Sebaliknya, dalam puisi-puisi Afrizal kerap kita dapatkan pasangan-pasangan kata seperti "sikat gigi dan politik", "lalu lintas dan buku tulis", dsb.
Dengan percobaan bahasa seperti itu, timbul begitu banyak deskripsi skizoprenik di mana imaji-imaji menumpuk dan melampaui prosedur pemajemukan kata dan kalimat. Kita dapatkan kalimat, misalnya, "aku mencari tempat tidur yang tidak menyimpan palu". Kata "palu" di situ barangkali mengacu pada beban pikiran, dan seseorang yang dideskripsikan dalam kalimat itu sepertinya ingin meloloskan diri dari beban itu dengan tidur. Contoh deskripsi seperti itu banyak sekali, seperti "paru-paru penuh sapi", "bikin restoran dari bahasa asing", "seorang presiden yang terbuat dari suara massa", dan sebagainya.
Ada kalanya Afrizal mengutak-atik lagi hubungan antarkata dalam kalimat sehingga ia menemukan sekian peluang pengucapan. Dapat kita perhatikan, mi-salnya, puisi "Aku Pergi Mengantar Surat".
Bahkan hubungan antara kata dan hal di luar kata pun dieksplorasi sedemikian rupa sehingga kita melihat bahwa sesungguhnya hubungan antara sepatah kata dan hal di luar dirinya bukanlah hubungan langsung, dan dengan demikian kemungkinan terjadinya hubungan antarkata sesungguhnya belum tentu bertalian dengan kandung-an artinya. Misalnya, kata kuda sesungguhnya berdekatan dengan kata kadu, kudu, kutu, kado, kura, kuta, kuna, dan seterusnya. Dalam hal ini, kita dapat memperhatikan, misalnya, puisi "Black Box". Di situ ia mengidentifikasi kata-kata bukan berdasarkan kandungan makna, melainkan berdasarkan variasi konsonan yang kemudian ia kunci de-ngan pernyataan: aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api.
Dengan kata yang dilihat sebagai rupa yang bersifat spasial, tidak seperti bunyi yang bersifat temporal, puisi-puisi Afrizal, pada hemat saya, menyerupai pelukisan fenomenologis. Maksud saya, puisi-puisi Afrizal cenderung menekankan apa yang berlangsung dalam badan jiwa aku lirik (poetic persona) sebagai konsekuensi dari gejala-gejala yang dia amati.
Dulu Pak Brouwer pernah mengatakan bahwa "kuda" yang satu sesungguhnya adalah "kuda" yang bermacam-macam, tergantung dari badan jiwa yang mengamatinya, apakah dokter hewan, joki, ataukah jagal. Adapun dunia yang kita persepsi dari hari ke hari sesungguhnya adalah dunia yang tampak oleh badan jiwa yang berdiri tegak.
Dalam puisi-puisi Afrizal, kita mendapatkan peluang untuk melihat lagi dunia seperti itu, terutama dunia yang dilihat dari sudut pandang orang yang berjalan maju. Afrizal mempersoalkan dunia itu dengan mengajukan kemungkinan pelukisan fenomenologis dari badan jiwa yang mengarah ke belakang. Dalam hal ini kita dapat membaca, misalnya, puisi "Di Halaman Belakang" yang sebagian berbunyi: pagi ini aku memijat punggungmu. minyak kayu/ putih dan balsem juga. halaman belakang tu-/ buhmu hanya bisa melihat bagian belakang dari/ dunia yang dilalui. bagian belakang yang dicipta-/ kan dari seluruh perjalanan mundur
Pada gilirannya, puisi-puisi Afrizal mendapati dirinya berada di antara puing-puing reruntuhan "atap bahasa". Apa yang dilihat telah runtuh kiranya adalah bahasa yang dapat membedakan antara diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri menyatu dengan orang lain, menjadi massa yang barangkali berupaya membangun lagi bahasa baru yang memungkinkan lagi komunikasi. Dalam puisi "Atap Bahasa yang Runtuh", misalnya, terdapat deskripsi yang antara lain berbunyi: massa itu keluar dari atap bahasa yang runtuh./senja yang tak punya merah. kaki-kaki kata di/gang-gang kecil...
Baiklah, Besti, jika kata itu ruang, puisi barangkali merupakan sebentuk percobaan membuat instalasi.***
* Hawe Setiawan, esais lepas, mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment