Sunday, May 10, 2009

Cerpen "Rumah Amangboru": Membaca Nasib Orang Usia Lanjut Indonesia

-- Sumarsono*

CERITA pendek ”Rumah Amangboru” karya Hasan Al Banna (Kompas, Minggu 5 April 2009) sesungguhnya merupakan kisah yang biasa terjadi dalam kehidupan pada masa usia lanjut banyak orang. Dalam cerpen itu, dituturkan tentang Haji Sudung yang dirundung kesendirian setelah empat tahun sebelumnya istrinya meninggal dunia. Ketiga anaknya (Lisna, Suti, dan Marsan) sebagai anak tentu saja merasa berkewajiban memberi perhatian kepadanya. Tetapi, karena mereka telah menetap di Jakarta, satu-satunya saran yang diajukan adalah mengajaknya untuk hidup di kota besar itu.

Desakan anak-anak dan menantu perempuannya (Risda, istri Marsan), bagi duda berusia 78 tahun yang sudah empat kali naik haji itu, tak dapat ditolak lagi. Namun, kehidupan kota tidaklah cocok baginya. ”Menjalani hari-hari pertama tinggal di kompleks saja, Haji Sudung sudah linglung.” Risda, yang semula menunjukkan minat lebih besar untuk merawatnya dibandingkan kedua anak perempuannya sendiri, lama-kelamaan merasa kewalahan. ”Tambah pikun ia...” sehingga mengambil keputusan menitipkannya ke panti jompo.

Nasib tragis biasanya dialami oleh para orangtua di kampung-kampung, yang pada hari tuanya hidup sendirian karena anak-anaknya merantau, ”menjadi orang kota”, dan tidak kembali ke kampung halaman. Jika masih hidup berpasangan (masih suami-istri), mungkin tidak ada masalah besar, tetapi kalau pasangan sudah meninggal dunia, semisal yang dialami Haji Sudung dalam cerpen tersebut, maka masalah demi masalah akan muncul. Kita dapat membayangkan sendiri, masalah-masalah yang muncul ketika seseorang hidup sendirian dan sudah lanjut usia. Mulanya tentu masalah kesepian atau kesendirian itu sendiri, lalu masalah praktis hidup keseharian yang pasti kurang terjaga lagi, seperti tidak ada orang yang akan mengurus atau mengingatkan soal makan dan perlunya istirahat. Termasuk pula masalah kesehatan, yang sering muncul karena daya tahan dan kekebalan tubuh mulai menurun seiring bertambahnya usia.

Harta kekayaan sebenarnya sangat menolong dalam hal mengatasi persoalan yang dihadapi para lanjut usia itu. Paling tidak, dengan hartanya, mereka dapat membayar pelayanan yang diinginkan. Sayangnya, kehidupan di kampung atau pedesaan belumlah seperti kehidupan kota-kota besar. Belum ada perawat yang khusus menyediakan jasanya untuk melayani orang-orang usia lanjut atau orang jompo. Pada umumnya orang-orang usia lanjut (termasuk yang jompo) di kalangan masyarakat yang masih ”tradisional”, baik di desa maupun di kota, tetap diurus anggota keluarganya atau anggota keluarga besarnya (keluarga batih).

Kepribadian

Salah satu ciri kepribadian masyarakat Indonesia adalah kurang teguhnya sikap untuk independen atau mandiri. Belum saatnya menyerah pada keadaan sudah menyerah. Seharusnya masih bisa mengurus diri sendiri, memilih segala sesuatunya diuruskan oleh orang lain. Keinginan untuk mampu mengerjakan sendiri tidak kuat. Sehingga, akhirnya memilih memercayakan kehidupan yang dijalani kepada orang lain.

Karena itu, para orangtua sering kali harus menyerah terhadap desakan yang didasarkan pada niat baik, terutama niat baik dari orang-orang terdekat, seperti anak dan menantu. Seperti penuturan penulis dalam cerpen itu mengenai Risda, yang ”tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru—sang mertua—untuk tinggal bersamanya”. Ucapan Risda memang begitu manis di telinga, ”Untuk apalah Amangboru menikah lagi. Kalau soal merawat, aku pun bisa. Lagi pula, apa Amangboru yakin akan dirawat setelah nikah? Bukan aku menjelek-jelekkan, cuma khawatir saja, bukannya mengurus Amangboru, eh malah menguras kekayaan.”

Masalahnya, apakah orang lain (termasuk orang-orang terdekat) yang dipercaya itu benar-benar bisa dipercaya? Ternyata tidak selalu bisa dipercaya.

Melalui cerpen ”Rumah Amangboru”, Hasan Al Banna memotret kehidupan Haji Sudung. Potret yang suram. Ketakberdayaan seorang laki-laki tua yang telah kehilangan kemandirian. Cerpen itu juga menunjukkan betapa ”durhaka”-nya si menantu, yang semula berniat baik, tetapi ternyata kemudian berubah pikiran. Dia begitu tega mengirimkan mertuanya ke panti jompo. Tidak ada upaya perlawanan sedikit pun dari Haji Sudung terhadap ”kekuasaan” menantunya, yang akhirnya menguasai pula uang hasil penjualan harta buminya. Celakanya, tidak ada pula pembelaan dari anak-anaknya sendiri, Marsan, dan kedua kakaknya, Lisna dan Suti. Pertanyaannya kemudian, apakah memang harus demikian nasib orangtua pada masa usia lanjut?

Sudah tentu nasib orangtua pada masa usia lanjut tidak harus berakhir tragis: harta habis, lalu dititipkan ke panti jompo. Para orangtua mestinya juga tidak harus mengikuti apa kata pengarang cerpen ini, ”Begitulah, dulu anak-anaknya tunduk pada aturan-aturan yang ia maklumatkan. Tetapi, kini ia harus paham bahwa tiba juga giliran untuk menurutkan kemauan anak.” Sebab, segala sesuatu harus dipikirkan masak-masak. Apakah kemauan anak itu baik untuk kedua pihak, dirinya maupun untuk anaknya, atau hanya untuk salah satu? Jikalau hanya baik untuk salah satu pihak, lebih baik tidak dituruti. Dan di sinilah kemandirian dalam memutuskan sesuatu diperlukan.

Selama masih bisa mandiri, setiap orang usia lanjut seharusnya berusaha mandiri sampai benar-benar tidak mampu mandiri. Hidup menumpang di rumah anak, artinya akan menjadi beban tambahan bagi si anak, pasti tidak enak. Apalagi, si anak jelas-jelas sudah punya beban dan tanggung jawab sendiri, yaitu anak-anak mereka alias cucu. Haji Sudung sendiri sebenarnya masih bisa mandiri sebab dengan harta buminya dia dapat menopang kehidupannya. Dia hanya memerlukan orang yang pantas dan bisa dipercaya. Jadi, kewajiban anak-anaknya sesungguhnya adalah mencarikan orang yang pantas dan bisa dipercaya itu untuk mengurus atau merawat Haji Sudung, bukan memboyongnya ke Jakarta dan menjual seluruh harta buminya!

Tetapi, apa boleh buat, Haji Sudung sudah dibuat menyerah oleh pengarangnya, seperti mengikuti prototipe orang usia lanjut Indonesia pada umumnya. Risda juga diplot sebagai ”biang” kesengsaraan hidup mertuanya dengan sikap yang merasa tak cukup mendapatkan uang hasil penjualan kekayaan mertuanya (yang telah dia gunakan untuk membuka salon). Dia merasa direpotkan dan tidak mau lagi mengurus mertuanya yang kian pikun. Dan akhirnya, Haji Sudung akan diantar ke panti jompo. Risda bahkan berbohong ketika memberi perintah kepada dua anaknya, ”Andika, Veri, suruh Opung berkemas-kemas. Bilang besok kita jalan-jalan ke kampung.”

Meski kurang tegas, Hasan Al Banna memberi amanat agar pembaca (orang usia lanjut) jangan mudah percaya kepada siapa pun, termasuk anak dan menantu sendiri, sehingga mau menyerahkan diri, semua harta dan seluruh kehidupannya begitu saja.

* Sumarsono, Redaktur Pelaksana Majalah Khusus untuk Warga Usia Lanjut WULAN.

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Mei 2009

No comments: