Sunday, May 03, 2009

Badabadu dan Martin Amis

-- Anwar Holid*

WAKTU pertama kali bertemu dan kenalan di sebuah toko buku dan hobi mungil di depan SMU Aloysius Bandung yang rindang, saya merasa baik-baik saja waktu dia menyebut namanya, "Badabadu." Jelas itu panggilan, sangka saya. Orangtua mana mau kasih nama anak dengan nada badut seperti itu?

Saya juga malas mengecek nama dia sebenarnya. Buat apa, tanya saya. Toh mungkin suatu saat tahu sendiri, kalau perkenalan kami berlanjut dan tambah akrab. Lagi pula, di zaman identitas kabur sekarang ini, apa bedanya nama asli dan palsu, kalau kedua-keduanya lain dan nyata? Waktu itu adalah perkenalan biasa sesama pembaca buku. Basa-basi klise. Yang klise biasanya dikuasai semua orang. Pada saatnya berguna.

"Kamu suka baca apa?"

"Fiksi, biografi, autobiografi, buku-buku sinematografi."

"Siapa penulis favorit kamu?"

"Martin Amis."

"Martin Amis? Saya nggak punya teman lain yang suka dia. Kenapa suka dia?"

"Wah, sulit dijelaskan. Tapi karya-karya dia asyik loh."

"Paling-paling saya kenal satu orang malah suka ayahnya."

"Ya, ayahnya memang penulis yang terkemuka juga."

"Apa Martin terpengaruh juga sama ayahnya?"

"Dalam lingkup keluarga tentu saja. Artinya, dia lahir dari keluarga penulis; seperti beberapa penulis lain, misalnya Virginia Woolf. Tapi tidak dalam karya. Katanya, dia justru sangat terinspirasi oleh Vladimir Nabokov, Saul Bellow, atau Philip Roth."

"Kamu benar-benar suka Martin, ya?

"Saya punya semua buku dia, kecuali beberapa, apalagi yang sulit dicari di sini atau karena terlalu mahal."

"Dapat dari mana saja buku-buku itu?"

"Banyak. Kebanyakan dari sini juga. Ada yang dapat dari loak, hadiah teman, beli baru. Macam-macam.

"Apa yang paling kamu suka?"

"Susah ya... Tapi yang paling asyik kayaknya Night Train dan Visiting Mrs. Nabokov.

" Kenapa?"

"Itu karya dia yang paling mudah."

Kami ngakak mendengar alasan itu. Tapi menyenangkan memang mengaku seperti itu. Kalau memang tak mengerti, kenapa juga mengaku- saya paham? Dengan begitu kita terhindar dari menanggung beban sia-sia.

"Apa buku Martin Amis menarik semua?"

"Enggak juga. Ada yang isinya kabur atau bikin bingung. Misalnya Koba the Dread.

***

SAMPAI waktu itu saya belum pernah baca Martin Amis. Saya hanya tahu dia anak Kingsley Amis, penulis Lucky Jim (1954) yang legendaris di Inggris. Sedikit reputasi Martin saya baca dari beberapa informasi kecil, terutama indeks penulis kontemporer. Dia dijuluki "Mick Jagger of Fiction." Apa ini terkait reputasinya terhadap perempuan? Martin juga kontroversial. Sejumlah orang menuduh dia arogan dan punya dendam pada wanita. Orang Islam menuduh dia mengidap Islamofobia. Di Time 2007 edisi "The Most Influential in the World", Martin Amis menulis tentang Osama bin Laden.

Karena itulah segera saya ingin pinjam buku Martin Amis, sekadar ingin tahu seperti apa karyanya. Badabadu meminjami Night Train; tapi saya kurang terkesan dengan novel itu. Menurut saya seperti novel dektektif, dengan protagonis polisi wanita. Saking detail, dia memberi tahu novel itu memuat kata "Indonesia" dalam konotasi miring: I guess you can`t blame a guy for loving his job, or for being Indonesian, but I have to say that that little slope gives me the creeps (Aku kira kamu mustahil menyalahkan orang karena mencintai pekerjaannya, atau karena dia orang Indonesia, tapi harus kukatakan justru hal itu yang mengerikan buatku)."

Setelah itu saya pinjam Visiting Mrs. Nabokov. Ini buku esai yang menarik, berisi komentar Martin tentang sejumlah selebriti yang pernah dia liput atau sempat bersinggungan dengannya, antara lain Madonna, Ny. Nabokov, Mick Jagger, dan Julian Barnes--kawan sesama penulis, tapi persahabatan mereka sekarang berakhir pahit gara-gara perempuan. Di buku ini juga dia berkomentar sinis terhadap Frankfurt Book Fair, meski semua pencinta buku memuja-muja acara itu.

Kemudian Experience, autobiografinya. Buku itu hanya saya baca bagian awalnya, tapi saya perhatikan betul foto-fotonya. Salah satu yang mencolok: covernya menampilkan ia sedang merokok, padahal masih ABG. Tatapannya tajam. Ngejago sekali. Dengan lagak seperti itu kebengalannya jelas tampak.

Baru setelah pinjam The War Against Cliché: Essays and Reviews, 1971-2000, saya merasakan daya kekuatan Martin Amis: dia blak-blakan, terutama bila sedang sinis. Buku itu membuatku tambah tertarik pada Martin, apalagi Badabadu memberi aku masukan cerpen Martin yang amat saru (saya tegaskan: bukan "seru"), berjudul "Let Me Count the Times". Dari sinilah saya mulai bisa enak menikmati tulisannya.

The War Against Cliché berisi resensi yang pernah ia tulis kala masih bekerja menjadi kritik buku untuk The Times Literary Supplement. Buku itu tebal, membuktikan alangkah panjang kerja dia sebagai peresensi dan kritikus. Cara dia mengkritik apik dan tegas. Salah satunya, karena kurang suka pada novel pop macam The Silence of the Lambs (Thomas Harris), dia hajar novel sejenis itu. Subjek buku Martin Amis memang sangat kena: menulis itu perang melawan klise, perang terhadap basa-basi.

Tapi menghindari klise itu sulit sekali, begitu juga perang melawan yang sia-sia. Berat sekali. Cobalah melawan kebiasaan buruk sendiri. Termasuk ketika berkenalan. Bisa menciptakan perkenalan yang nonklise?

***

SAYA selalu takjub dengan anak-anak muda, apalagi yang wawasan, bacaan, maupun kemampuannya kaya. Bagaimana mereka mencapai itu semua? Selalu begitu pikir saya. Tapi rupanya saya luput satu hal: percepatan membuat anak muda ini jauh lebih canggih dari generasi terdahulu. Ada kalanya budaya dalam keluarga atau pencapaian sendiri membuat mereka istimewa. Saya sudah pernah kenalan dengan beberapa anak muda dengan bacaan canggih, up-to-date, sementara sering saya merasa terkurung harus menyelesaikan kewajiban tertentu yang kadang-kadang membuatku aus.

Badabadu sejenis anak muda seperti itu. Dia banyak baca, banyak tahu, banyak dengar, hingga kalau bertemu dengannya, saya seakan-akan segera bakal penuh dengan berbagai informasi yang dia tukarkan.

Badabadu adalah penggemar Martin Amis No. 1 di Indonesia. Bisa jadi satu-satunya.

Setahu saya, tak ada orang Indonesia lain yang pernah menyebut Martin Amis, menuliskan, mengenalkan dia pada publik sastra, atau bilang suka karyanya, termasuk penggemar fiksi kontemporer sekalipun. Kalau kita bicara fiksi kontemporer, nama yang paling muncul misalnya Salman Rushdie, Ian McEwan, atau Haruki Murakami. Penulis kontemporer favorit saya ialah Raymond Carver--dia pun sudah meninggal. Martin Amis? Terdengar seperti merk minuman keras. Saking takzim, Badabadu suka menyebut Martin Amis dengan, "Tuan Martin Amis yang terhormat."

Setelah pertemuan itu, ditambah interaksi lain, saya merasa cukup akrab dengan Badabadu. Tapi karena sama-sama punya problema, kami hanya bisa sesekali bertemu, itu pun dengan siasat agak sulit. Saya dengan problema sebagai lelaki berumah tangga, dia dengan sejumlah kompleks personalnya.

Salah satu yang saya syukuri dari pertemanan itu ialah saya bisa berhubungan dengan generasi lebih muda. Itu membuat saya merasa terkait dengan masa kini dan bisa ikut perkembangan zaman. Misal dalam hal selera. Generasi saya terkait dengan grunge/alternatif; generasi dia dengan Britpop.

***

LAMA kemudian, toko buku kecil itu sudah pindah ke ruko di depan Universitas Parahyangan (Unpar), Ciumbuleuit. Sementara Badabadu pun rutin "menyampah" ke Timbuku, kerja di dunia film, jadi scriptwriter untuk sebuah variety show televisi yang sempat bikin heboh negeri itu. Kami terpaksa berhubungan via email.

Pertemanan dengan Badabadu menautkan saya pada blog dia yang kini sudah inaktif, http://budibadabadu.blogspot.com. Subjek tulisan di blog itu kadang-kadang aneh, pendek-pendek, tapi juga ada yang tertib-normal, dengan cara bercerita dan sudut pandang kuat. Dia bahkan menghadiahi saya Night Train. Waktu saya tanya kenapa dia memberi buku itu, dia jawab, "Untuk mengenalkan Tuan Martin Amis, aku mau berbuat apa saja."

Siapa tahu, setelah tulisan ini, Anda jadi orang Indonesia ketiga yang tertarik pada Martin Amis. Minimal mengendus baunya.***

* Anwar Holid, Editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Mei 2009

No comments: