Monday, May 25, 2009

Tata Film Indonesia, Dagang atau Kebudayaan

[YOGYAKARTA] Sudah saatnya tata niaga distribusi perfilman di Indonesia diubah. Kalau tidak, praktik pembajakan film asing, bahkan film lokal akan terus berkembang. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Budhi Kamaru Zaman menggambarkan, praktik pembajakan itu bukan hanya berpengaruh pada mandeknya budaya nonton di bioskop, tetapi juga akan berimbas pada sektor perdagangan ekspor lainnya.

Film "Laskar Pelangi" yang distribusi filmnya dilakukan sendiri oleh produsernya Mira Lesmana. (Istimewa)

"Ini bukan main-main. Makin lama, produk Indonesia akan diembargo oleh negara luar, gara-gara pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan bajak-membajak. Ini bukan masalah sepele," ujarnya dalam sebuah diskusi menyikapi tata niaga film Indonesia, akhir pekan kemarin.

Budhi juga mencermati, akar permasalahan dari kondisi tersebut bersumber pada penguasaan distribusi film di Indonesia. Mata rantai perdagangan yang tidak terputuskan telah menjadikan bioskop lain tidak bisa berkembang dan akhirnya mati.

"Bagaimana tidak mau mati kalau satu film diputar berbulan-bulan karena tidak punya film lain? Semua harus ikut jaringan, jika tidak, mereka tidak mendapat film," ujarnya.

Monopoli distribusi film, lanjutnya, juga telah menjadikan tidak adanya variasi film yang beredar di Indonesia. Hampir semua film yang masuk berasal dari Hollywood. Padahal, ada alternatif lain seperti film Iran atau Eropa Timur yang juga cukup bagus. "Semua serba-Hollywood. Ini akhirnya juga memengaruhi gaya hidup orang Indonesia, termasuk produk sinetron kita," katanya.

Di era 70-an, kata Budhi, jumlah produksi film lokal meningkat dan jumlah penonton pun bertambah. Peningkatan itu, imbuh Budhi, tak lepas dari banyaknya bioskop-bioskop baru yang bermunculan di daerah-daerah dan di pinggiran kota besar pada akhir tahun 1970 an.

" Kehadiran bioskop-bioskop ini membuat penonton akan banyak pilihan dan semakin dewasa menilai film-film yang akan ditonton. Tapi, karena monopoli jaringan distribusi film dan bioskop ini oleh sekelompok pengusaha bioskop, maka saat ini semuanya tinggal menunggu menjadi riwayat saja," tegasnya.

Peran Pemerintah

Budhi pun menegaskan, kalau pemerintah masih memasukkan film sebagai aktivitas kebudayaan, maka pemerintah harus ikut melindunginya.

"Di negara lain, pemerintah sangat melindungi film lokal. Tetapi, di Indonesia tidak. Memang sudah ada UU N0 8/1992 tentang Perfilman. Namun, karena belum ada peraturan yang mengatur secara teknis, UU itu menjadi tidak ada gunanya," ucapnya.

Sedang Heru Effendi, praktisi yang juga sutradara film nasional juga menyebutkan, peningkatan jumlah produksi film nasional dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah bioskop dan penyebarannya hingga ke kota-kota kecil dan kabupaten. Justru, sejak tahun 1986 hingga 2008, sudah sekitar 107 bioskop yang ditutup karena tak bisa mengikuti irama permainan yang ada dalam soal peredaran film nasional.

"Sangat ironis memang. Kalau kita lihat sejak tahun 1986 hingga 2008 pada bulan Juni sudah ada 107 bisokop yang tutup karena monopoli jaringan tertentu dalam tata edar film ini," katanya.

Heru menilai, pemerintah dalam hal ini Menbudpar tidak tegas dalam mengatur tata edar film-film nasional. Ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan produksi dan promosi film Hollywood untuk bisa mencapai titik optimum penjualan produksi mereka.

" Ini tak lain karena didukung pula oleh melimpahnya jumlah bioskop dan jumlah kopi film, yang kira-kira 60-100 kali lipat dibanding film-film Indonesia ,' katanya.

Dengan kondisi tersebut ujarnya, maka sudah saatnya pemerintah melalui Menbudpar membuat peraturan baku guna mengatur tata edar film nasional, sehingga pada gilirannya masyarakat di daerah mana pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh tontonan film menarik.

Persoalan distribusi film inilah yang benar-benar memusingkan para insan film. Bahkan, mereka harus bekerja keras mendistribusikan filmnya sendiri jika ingin uang produksi kembali. Heru mencontohkan, film Laskar Pelangi, Mira Lesmana harus mendistribusikan sendiri dengan melawan kekuatan raksasa yang sulit dilawan.

"Telah terjadi hegemoni dalam peredaran film nasional yang dikuasai oleh sekelompok pengusaha bioskop tertentu. Kondisi tersebut membuat bioskop di daerah tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kopi-kopi film yang dapat mereka putar di daerah dalam waktu bersamaan," ketusnya. [152]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Mei 2009

No comments: