Sunday, May 17, 2009

Buku: Menulis Cerpen tak Sekadar Ajang Berekspresi

Buku : Telaga Fatamorgana
Penulis : Happy Salma
Penerbit : Koekoesan, Depok
Cetakan : November 2008
Tebal : 110 halaman

DUA tahun setelah meluncurkan kumpulan cerpen Pulang (2006), Happy Salma kembali meluncurkan 12 cerpen terbarunya dalam himpunan cerpen Telaga Fatamorgana. Penerbit Koekoesan kembali menjadi penerbitnya. Dengan begitu sidang pembaca cerpen Indonesia semakin diyakinkan akan tekad Happy Salma dalam menggeluti dunia sastra khususnya cerpen.

Apa yang menarik dari kumpulan cerpen kedua Happy Salma, Telaga Fatamorgana ini? Happy Salma sendiri mengaku kumpulan cerpen kali ini tidak jauh berbeda dengan cerpen-cerpen dalam Pulang. "Bila ada yang berbeda, mungkin dari perbendaharaan kata atau penggalian alur yang menurut Happy lebih variatif sebagai proses pembelajaran itu sendiri." Sebagai catatan, dalam kumpulan cerpen Pulang, Happy Salma menyatakan sengaja menuliskan cerpen-cerpennya sebagai ajang aktualisasi diri.

Tak jauh berbeda, untuk kumpulan cerpen kedua ini, Happy Salma masih memandangnya sebagai ajang berekspresi. Hanya saja, Happy Salma tampak yakin dengan minat menulisnya ini dan untuk mengawali pembaca menikmati dan mencerna ke-12 cerpen di dalamnya, pembaca disuguhi "manifesto" Happy Salma dalam soal menulis: Menulis sebagai Hidup. Mungkin bagi Happy Salma, manifesto ini penting disampaikan mengingat dirinya oleh masyarakat dikenal sebagai artis dan selebriti dan sering masyarakat sinis pada artis dan selebriti yang memperkaya dan memperluas kemampuan diri dengan berbagai kesempatan dan peluang yang ada alias aji mumpung.

Dalam manifesto itu, Happy Salma setidaknya mengemukakan beberapa point penting mengapa ia terjun dan bergulat dalam dunia tulis-menulis. Pertama, "Dengan menulis aku banyak belajar. Setidaknya belajar mengenali diri sendiri." Ini mengingatkan kita pada kata-kata bijak Sokrates: "Kenalilah dirimu sendiri." Kedua, "Menulis, bagiku, adalah hidup. Hidup yang berisi perjuangan tiada henti." Sebuah kesimpulan yang luar biasa, terlebih sebelumnya Happy Salma juga menyatakan: "Bagiku sastra adalah identitas pribadi, selalu berbicara tentang hidup. Cikal bakal dari pemahaman segala ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi ini, teori kehidupan yang tak ada rumusnya." Semua ini mengingatkan pada kita betapa penting aktivitas menulis dan tugas seorang penulis itu sendiri di tengah kehidupan sehari-harinya bersama beragam bagai macam orang di sekitarnya.

Sebab itu, menulis tak dapat dianggap sepele dan sembarangan. Begitulah, penulis-penulis sebelumnya semacam Kartini dan Pramoedya Ananta Toer menganggap tugas kepenulisan haruslah berguna bagi kemajuan kehidupan dan harkat martabat rakyat. Pram sendiri mengatakan: "Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional." Tentu ini adalah tugas yang berat. Menulis bertendensi tentu lebih rumit agar tak jatuh sebagai tulisan atau dicap hanya sekadar propaganda dan jauh dari keindahan sastrawi. Mungkin ini yang membuat Happy Salma mundur selangkah dan menarik diri dari beban berat penulis yang memiliki cita-cita semacam Pramoedya Ananta Toer dan seakan dengan ringan (tentu saja tanpa tendensi alias beban), menyatakan: "Saya ingin menulis dengan mengalir, penuh kenikmatan, tanpa tuntutan yang akhirnya membebankan..." Paradoksal atau inkonsistensi dengan pernyataan-pernyataan yang menggebu sebelumnya?

Tetapi akhirnya, apalah arti manifesto? Seorang cerpenis tentu harus dinilai berdasarkan cerpen-cerpen yang ditulisnya.

Bila ditilik dari segi tema, Telaga Fatamorgana memang masih menunjukkan kesamaan dengan kumpulan cerpen Pulang, yakni kekalahan, kepasrahan tapi ingin keluar dari situasi seperti ini walau tanpa perspektif yang jelas. Ujung-ujungnya, justru membingungkan: Apa sih maunya? Dan terkadang justru terkesan kekanak-kanakan, tanggung, tak ada keberanian.

Kisah Bobi misalnya, seandainya ia berani mengatakan yang sebenarnya tentu keluarga Wiilliam akan membungkus sisa makanan itu dengan baik tanpa dicampur dengan sisa makanan sampah yang pantas untuk kucing itu. Toh, dari awal diceritakan bagaimana William suka berteman dengannya. Pada Naanaa, bahkan kita temui kekalahan dan kesialan yang bertumpuk-tumpuk. Tak habis mengerti bagaimana itu bisa terjadi: Tak bisa pulang karena peristiwa G 30 S, hidup di negeri asing, Polandia, semakin sepi setelah ditinggal mati suami lebih dahulu dan akhirnya dibunuh anak lelakinya sendiri yang menjadi brandal dan jahat seakan tak pernah mendapat didikan yang benar walau sang ibu merasa sudah mendidik dengan benar.

Pun Jalu, yang bertekad menjadi tentara bahkan berdebat dan bertengkar hebat dengan bapaknya yang tak menghendakinya jadi tentara mengalami kegagalan tragis sebagai tentara kemudian invalid. Ia pulang ke rumah, tanpa kebanggaan sedikit pun dalam menatap masa depan. Begitu pun, Fatamorgana, Bapak Belum Pulang dan Pohon Keenam, masih di sekitar kekalahan dan kesialan.

Dalam Fatamorgana, seharusnya tak terjadi kesialan bila sementara chatting juga menggunakan cam atau saling berbagi pic. Bila itu tak dipakai, terimalah konsekuensinya dengan wajar. Toh, bertemu manusia masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

Di luar itu, Happy berusaha memasuki cerita mistis dan psikologis seperti Telaga, Panca dan Ikan Besar dan Aisya yang membunuh anaknya sendiri karena tak ingin anaknya hidup di dunia yang kejam dan penuh dosa. Keberanian dan ketegasan baru dapat kita temukan pada cerpen Catatan dan Undangan.

Walau begitu perlu dicatat, pada Telaga Fatamorgana, setting cerpen-cerpen Happy Salma cukup bervariasi dan beberapa berani memasuki setting krusial negeri ini, seperti peristiwa G 30 S 1965 pada cerpen Naanaa dan daerah operasi militer (DOM) Aceh pada cerpen Jalu. Ini menunjukkan Happy Salma masih bisa berkembang lebih baik dalam memasuki dunia persilatan cerpen Indonesia di tahun-tahun mendatang.

Akhirnya, harus dikatakan menulis cerpen memang bukan sekadar ajang berekspresi dan mengisi waktu senggang. Kemudaan tentu tak bisa menjadi alasan untuk bersembunyi dalam aktivitas bernama belajar mengingat negeri ini pun ditegakkan dan dibangun oleh para pemuda dengan perspektif cita-cita yang besar.

Bukankah kini saatnya kaum muda memimpin?

A.J. Susmana, penyair, aktif di Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi, Jakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Mei 2009

No comments: