-- Suryadi*
BUKU ini membahas sebuah korpus karya sastra Indonesia yang muncul di akhir masa kolonial yang selama ini luput dari ‘mata (kurang) awas’ studi (sejarah) kesusastraan Indonesia karena dianggap picisan. Korpus itu disebut roman pergaoelan (RP), yang diterbitkan oleh Penerbit Penyiaran Ilmoe (1939-1942) di Bukittinggi.
Mengutip definisi dari penerbitnya sendiri, istilah roman pergaoelan kurang lebih berarti “berbagai macam warna, bentuk, dan gambaran dari pergaulan”. Tetapi di sisi lain istilah itu juga berarti sejenis “genre sastra, novel atau cerita tentang pergaulan dan hubungan [antar] sesama manusia” (p.69).
Dalam buku ini, Sudarmoko—dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas (UNAND), sekarang jadi dosen tamu di Hankuk University, Korea—menelaah struktur dan konteks sosio-budaya dan kesejarahan RP. Ia membahas sejumlah aspek yang mendukung keberadaan RP, seperti penerbitnya, karya, pembaca, dan reaksi-reaksi politis dan literer terhadapnya.
Bab I (hlm.1-20) membahas efek kanonisasi dalam penelitian ilmiah dan kritik sastra Indonesia yang mengakibatkan karya-karya yang berada di luar mainstream menjadi terabaikan, kemudian melanjutkannya dengan paparan tentang prinsip-prinsip dasar sosiologi sastra dan ideologi dalam sastra yang menjadi landasan teoretis penelitian ini, dan diakhir dengan penjelasan mengenai struktur buku ini.
Keberadaan Penerbit Penyiaran Ilmoe (PI) dan konteks sosio-budaya dan politik yang melahirkan dan membesarkannya dideskripsikan dalam Bab 2 (hlm.21-62). Kehadiran PI tidak lepas dari perkembangan kota Bukittinggi (Fort de Kock) di awal abad ke-20 yang pada dekade-dekade berikutnya ikut menggairahkan pertumbuhan usaha penerbitam/percetakan pribumi. Bab ini memberi gambaran historis yang multi dimensi seputar usaha ini di daerah pada zaman kolonial: tentang para penggiat dan latar belakang pendidikan dan ideologi mereka, pemodalnya, produk-produk yang dihasilkannya dan strategi pemasarannya, serta pengawasan-pengawasan politis yang dilakukan Pemerintah Kolonial.
Bab 3 (hlm.63-112) menganalisa aspek intrinsik RP. Sebelum membahas aspek intrinsik empat contoh RP yang telah dipilih, penulis melukiskan kemunculan genre ini, dengan berbagai macam nama, di Sumatera pada tahun 1930-an. Hal itu dimulai dari terbitnya Madjalah Dunia Pengalaman sebelum kemudian muncul beberapa nama lain seperti Lukisan Pudjangga, Tjedrawasih, Gubahan Maya, dan Mustika Alhambra. Kemudian genre ini muncul pula di Padang di tahun 1940-an yang diberi nama Roman Indonesia (p.63-4).
Empat contoh RP yang dibahas penulis adalah Angkatan Baroe (Hamka, 1939), Kamang Affair (Martha [Maisir Thaib], 1939), Joerni-Joesri (Matu Mona, 1940), dan Rahasia Pembongkaran (Surapati, 1941). Sudarmoko menyajikan sinopsis keempat roman itu, menganalisa tema-tema utama masing-masing teks dan membahas pandangan ideologi (pengarang) yang terepresentasi di dalamnya. Ia menunjukkan bahwa hakikat RP adalah representasi dunia pergerakan dan nasionalisme anak muda bumiputera di daerah dalam ranah literer yang mencoba ‘melawan’ wacana politik, budaya, dan sastra bentukan kolonialis Belanda yang didominasi oleh pusat (Batavia).
Bab 4 (hlm.113-45) berisi paparan historis mengenai reaksi-reaksi seputar RP: yang berupa polemik menyangkut estetika dan dampak sosial genre ini maupun yang berupa reaksi politis dari Pemerintah Kolonial Belanda (dan kemudian Jepang) terhadapnya. Dalam bab penutup (Bab 5; hlm. 147-53) penulis antara lain menyatakan bahwa penelitan terhadap korpus RP telah memberi kontribusi dalam membuka pembicaraan yang lebih luas dan dalam mengenai sejarah kesusatraaan Indonesia dan keberadaan penerbit karya sastra di daerah, di luar lingkungan Balai Pestaka.
Buku ini memperkenalkan kepada kita banyak nama pengarang sastra Indonesia yang, karena karya-karya mereka diletakkan di luar karya-karya mainstream, tidak dikenal namanya dalam peta historis kesusatraan Indonesia, seperti Aziz Thaib, Maisir Thaib (Martha), Thaher Samad, Tamar Djaja, St. R. Alamsjah, M. Kasim, Hs. Bakry, D. Umri, Mohd. Hasan Tansa, Mahals, Aminar, Nuraji ZR, Merayu Sukma, SZ Kamisir, Fajoermiah, Suara Sutji, dan Roma-Nita – untuk sekedar menyebut beberapa nama.
Buku yang juga berisi ilustrasi ini—aslinya adalah thesis MA Sudarmoko di Universitas Leiden (2005)—berhasil mengungkapkan sisi-sisi lain dari dinamika dunia kesusastraan Indonesia di akhir zaman penjajahan. Seperti diungkapkan Umar Junus dalam pengantarnya (hlm. ix-xiii), Sudarmoko, yang dinilai berani keluar dari mainstream penelitian kesusaatraan Indonesia yang sangat bersifat kanonik (warisan kolonialisme Belanda), berhasil menggambarkan dimensi lain kesusastraan Indonesia di akhir zaman penjajahan.
Dalam pemahaman yang luas istilah kanon (canon) merujuk kepada pengakuan yang bersifat melembaga terhadap daftar karya yang dianggap patut dicontoh, seperti karya-karya yang merupakan sastra nasional sebuah negara. Istilah kanon juga merujuk kepada system of rules untuk menciptakan karya-karya tersebut. Secara tradisional kanon sastra dimaknai sebagai susunan kronologis para pengarang terkenal dan karya-karya sastra utama yang tetap bertahan dalam ujian waktu karena nilai guna intrinsiknya yang terkait selama beabad-abad oleh suatu kesatuan budaya.
Namun belakangan ini pandangan di atas telah diserang oleh kritikus yang berargumen bahwa kanon tradisional itu pada dasarnya adalah semacam konstruksi sosial yang, karena kecenderungannya mengeyampingkan minoritas tertentu, merefleksikan relasi kuasa ketimbang nilai-nilai estetika. Sudarmoko tampaknya adalah salah seorang dari golongan penggugat itu. Lewat buku ini ia mengungkapkan aspek estetika, sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, bahkan agama yang amat menarik di balik kehadiran sebuah korpus ‘sastra pinggiran’ yang disebut roman pergaoelan, yang selama beberapa dekade (sengaja) dilupakan karena sudah terlanjur dicap picisan. (***)
* Suryadi, alumnus Fakultas Sanstra UNAND, dosen dan peneliti pada Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 17 Mei 2009
No comments:
Post a Comment