Sunday, May 17, 2009

Acep Zamzam Noor dan Tasikmalaya

TASIKMALAYA adalah kota yang tengah berubah. Kota yang semula tenang dari denyut kehidupan sosial-politik dan budaya itu, kini denyarnya sampai ke mana-mana. Denyut itu paling tidak dalam konteks tersebut digerakkan penyair Acep Zamzam Noor lewat gerakan Partai Nurul Sembako (PNS) yang dengan keberaniannya sering mengkritisi kehidupan sosial-politik, maupun jalannya pemerintahan di Kota Tasikmalaya dengan memasang berbagai spanduk yang kata-katanya sering panas dibaca orang.

Misal sebuah spanduk yang pernah dipasang PNS di beberapa sudut Kota Tasikmlaya, ada yang berbunyi: "Anda ingin jadi pegawai negeri? Siapkan dana Rp 30 juta. Hubungi (0265) 336450, 330171, 330983!" Nomor-nomor telepon tersebut silakan Anda cek sendiri, nomor punya siapa. Berkaitan dengan itu, meskipun pakai nama partai, PNS bukan merupakan partai politik yang kemaruk dengan kekuasaan.

PNS adalah semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang penyadaran sosial-politik maupun sosial-budaya, dalam pengertian seluas-luasnya. Sementara itu, dalam bidang kesenian, Acep menghidupkan Kota Tasikmalaya lewat berbagai acara seni dan budaya yang diproduksi oleh Komunitas Azan, dan Sanggar Sastra Tasik (SST). Tentu saja di luar tiga komunitas tadi, masih ada komunitas-komunitas seni lainnya, baik yang hidup di dalam kampus maupun di luar kampus.

Kesenian dengan demikian dalam konteks tersebut, tidak hanya menunjukkan fungsi estetikanya di masyarakat, akan tetapi telah pula menunjukkan fungsi sosial. Untuk itu, tak aneh kalau penyair Rendra pernah mengatakan, seni tidak semata-mata untuk seni, tetapi juga untuk masyarakat. Seni dan masyarakat harus saling menghidupi, dan bukannya jadi parasit.

Nah, Acep Zamzam Noor dan teman-temannya di Tasikmalaya dalam berkesenian bergerak dalam konteks yang demikian, tidak mau jadi parasit. Untuk itu, tak ada proposal yang dilayangkan Acep kepada pemerintah setempat. Adakalanya dana untuk berkesenian dicarinya sendiri. Lepas dari itu, kehidupan kesenian di Tasikmalaya pada 1980-an, termasuk kehidupan sosial-politik yang berdenyut di dalamnya, tidak seramai sekarang.

Pada 1980-an, Kota Tasikmalaya tidak punya Gedung Kesenian sebagaimana sekarang, yang kondisi gedungnya konon tidak terawat. Namun demikian, gedung tersebut masih tetap dipakai sebagai tempat kegiatan para seniman di Tasikmalaya dalam berekspresi, baik dalam bidang pementasan teater, pameran seni rupa, maupun acara pembacaan puisi. Hal itu dikatakan Acep Zamzam Noor, dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu.

Waktu itu di Tasikmalaya ada tiga kelompok teater yang menghidupkan seni dan budaya, yakni Sanggar Epos, Teater Prasasti, dan Teater Awal. Salah seorang aktivis teater Prasasti yang hingga kini masih bergiat dalam menghidupkan seni dan budaya di Kota Tasikmalaya adalah Saeful Badar. Ia merupakan salah seorang motor penggerak Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST), di samping Eryandi Budiman yang hijrah ke Bandung.

**

BERUBAHNYA dinamika kehidupan seni dan budaya, serta dinamika sosial-politik yang melingkupi Kota Tasikmalaya dewasa ini, pada satu sisi tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di dalamnya. Berkaitan dengan itu, tak aneh bila berbagai benturan kepentingan yang mengatasnamakan rakyat kerap terjadi. Bahkan bukan hanya itu, pada bulan puasa tahun kemarin, kita pernah membaca berbagai berita di berbagai media massa, ada sejumlah tukang baso yang dagang siang hari diobrak-abrik massa. Padahal pada 1980-an, tak ada kejadian semacam itu. Tanda pesatnya Tasikmalaya dalam bidang ekonomi pada sisi yang lain, bisa dilihat dari bermunculannya hotel-hotel baru dan tempat penginapan baru, serta pusat-pusat perbelanjaan baru yang besar.

Dalam konteks yang demikian, secara perlahan-lahan Kota Tasikmalaya menjadi kota yang keras secara sosial. Untungnya di tengah-tengah situasi semacam itu, masih ada sanggar-sanggar seni yang berpihak pada kemanusiaan, daya spritualitas, dan estetika dalam mengembangkan diri sebagai manusia yang cerdas. Apa sebab? Karena di Tasikmalaya, dewasa ini, tidak tumbuh dalam satu kebudayaan yang dibawa oleh satu agama, tetapi juga tumbuh dalam keragaman kebudayaan, yang dibawa oleh agama-agama lainnya. Paling tidak, selain pemeluk agama Islam, di Tasikmalaya ada pemeluk agama Kristen, Buddha, dan Hindu. Dan Acep dalam kaitan itu sering menyuarakan gerakan pluralisme dalam berkebudayaan.

Di tengah-tengah kondisi sosial-politik, dan denyut kebudayaan semacam itulah, Acep Zamzam Noor memicu teman-temannya untuk terus tumbuh, menulis, dan menulis. Tak heran bila dalam sepuluh tahun terakhir banyak penyair baru yang lahir dari Kota Tasikmalaya. Karya-karya mereka kini tersebar ke mana-mana. Selain itu, beberapa dari penyair yang pernah mengembangkan Kota Tasikmalaya pun sudah ada yang pindah kota, seperti Intan, Iman Abda, dan Ratna Ayu Budhiarti.

Hal yang sangat menarik dilakukan Acep Zamzam Noor dalam memicu teman-temannya berkreasi. Acep tidak pernah memosisikan dirinya sebagai guru, selain sebagai teman bicara dan dialog. Oleh karena itu, tak aneh bila apa yang ditulis Acep sangat lain dengan penulis yang datang kemudian yang kerap bertanya kepada Acep Zamzam Noor. Salah seorang penyair perempuan yang cukup berbakat dan memukau karya-karyanya adalah Nina Minareli. Sayangnya, ia entah ke mana saat ini. Lepas dari itu, puisi-puisi yang ditulis Acep Zamzam Noor pun menarik pula untuk diapresiasi. Salah satu karyanya bisa kita baca di bawah ini, yang ditulis dalam bentuk kwatrin.

Kenangan

Aku melukis tubuhmu
Dengan cahaya pagi
Tubuhmu memanjang
Seperti air kali

2003.

"Saya ingin menghidupkan Kota Tasikmalaya selain dikenal sebagai kota santri, juga kota puisi," kata Acep Zamzam Noor. Untuk itu, tak aneh bila Acep dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Komunitas Sanggar Sastra Tasikmalaya, pernah menyelenggarakan pertemuan penyair, baik tingkat Jawa Barat maupun Tingkat Nasional, dengan dana pas-pasan. Selain itu, berkali-kali pula menyelenggarakan lomba baca puisi untuk tingkat Jawa Barat. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Mei 2009

2 comments:

Justin Bieber said...
This comment has been removed by the author.
Justin Bieber said...

Menurut saya sebagai orang tasik asli tasik tuh bakalan lama majunya karena adanya istilah "kota santri" coba liat kota2 lain yg mengijinkan budaya baru masuk cepet majunya.
dan buat orang tasik silahkan gabung di Forum Komunitas Internet Tasikmalaya untuk menyampaikan aspirasi bagaimana seharusnya tasik.
dan makasih admin