Sunday, May 31, 2009

Paul Celan, Candu dan Ingatan

-- Sulaiman Djaya*

Sang kata, pada siapa kau pamit,
menyambutmu di gerbang.
Dan yang telah menyentuhmu
di sini-tangkai, kalbu, bunga -
di sana telah lama jadi tamu
dan tak bakal lagi menyentuhmu

(Paul Celan, "Die Feste Burg").

DALAM esainya Schibboleth pour Paul Celan Jacques Derrida memandang Paul Celan sebagai penyair dengan bahasa yang tercabik-cabik. Bahasa yang berkubang di antara luka dan ingatan. Akan tetapi, bagi saya, sajak-sajak Celan adalah tangis bisu melankoli. Campuran antara dendam, rasa bersalah, dan penyesalan diri yang tak berkesudahan. Kenangan dan ingatan sebagai hantu yang terus-menerus hadir, memabukkan, dan menyakitkan layaknya candu.

Celan adalah korban, ketika identitas dilekatkan pada tubuh. Tubuh yang didefinisikan secara politis dan rasis, tubuh yang telah ditandai "cap bakar" ("Brandmal"): "Tak lagi kita tidur, sebab terbaring di detik kemurungan, dan kita rentang jarum jam seolah ranting, dan ia melenting kembali, mencambuk sang waktu hingga berdarah".

Sajak tersebut sepenuhnya surealistis, meski Celan sendiri menolak penyebutan "surealis" untuk sajak-sajaknya, sebab metafor yang dibangun dan teknik pengalihan yang dilakukan untuk menggambarkan sebuah pengalaman atau pun peristiwa demikian "sureal". Sajak-sajaknya lebih mengedepankan fantasi dan pelukisan suasana batin, mirip upaya transendensi, yang dengan itu pula kita bisa menilai keunikan dan kelebihan sajak-sajak Celan dari penyair-penyair Jerman yang lainnya, semisal Goethe dan Brecht.

Dua kutipan yang diambil dari dua sajak yang berjudul "Mandorla" dan "Tenebrae" tersebut adalah ekspresi kemarahan dan gugatan.

Akan tetapi, Derrida punya pendapat lain. Sajak-sajak Celan menurutnya adalah ingatan tentang ingatan itu sendiri. Sebentuk penghapusan diri. Sejenis tujuan yang lahir dan lenyap, diri sebagai setitik jejak samar dalam sejarah. Karena bagi Derrida, ingatan itu sendiri adalah kekaburan, seperti candu yang membuat seseorang mabuk dan limbung. Ingatan adalah tanda yang tidak dapat dibaca dan dijelaskan, karena didasarkan pada kehilangan. Ingatan adalah candu yang memabukkan.

Ingatan dan kenangan yang memabukkan seperti candu tersebut adalah juga ingatan yang muram. Yang bila meminjam istilahnya Agus R. Sarjono, seperti ketika seseorang "berada di tengah gelap musim dingin" yang indah dan menggigil.

Kemuraman sajak-sajak Celan yang mengental sekaligus indah tersebut setidak-tidaknya terasa juga dalam salah-satu sajaknya yang berjudul "Die Feste Burg": "Kutahu rumah paling malam dari segala rumah: suatu mata yang jauh lebih dalam dari matamu mengintai di situ. Di atapnya berkibar benderaderita yang lebar: bahan hijaunya -tak kau tahu kau lah yang menenunnya, juga terbang demikian tinggi, seolah bukan kau tenun sendiri. Sang kata, pada siapa kau pamit, menyambutmu di gerbang.

**

TEMA yang ingin dilukiskan dalam "Die Feste Burg" sesungguhnya tidak berbeda dengan "Espenbaum". Sajak itu masih bercerita ihwal kenangan dan ingatan seseorang yang telah tiada. Seseorang yang juga telah menjadi korban "cap bakar". Begitu juga di sisi lain, seperti yang telah dipaparkan oleh Berthold Damshauser, tema-tema yang ingin disampaikan, diceritakan, dan diungkapkan oleh Celan sebenarnya tidak jauh dari tema dan cerita yang ada dalam sajak "Brandmal", "Tenebrae", "Mandorla", "Todesfuge", dan "Corona".

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sajak-sajak Celan adalah partita elegi dan nyanyian penghiburan diri tentang kematian dan ingatan atau pun kenangan tentang kematian itu sendiri. Tentang orang-orang yang dikorbankan. Lima sajak tersebut menurut saya cukup mewakili semua sajak yang ada dalam buku kumpulan Candu Dan Ingatan, terjemahan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Indonesia yang dikerjakan Berthold Damshauser dan Agus R. Sarjono.

Dari itu semua, apa yang ingin disampaikan secara tersirat oleh sajak-sajak Celan tak lain adalah sejarah, pengorbanan, perjanjian, dan penebusan, yang adalah juga tema-tema penting dalam Judaisme. Dan Celan sendiri sebagai penyairnya berkubang dalam tema-tema tersebut.

Namun, Celan bukan hanya korban dari politik rasisme dan rasisme politik dalam sejarah kelam totalitarianisme modern, ia adalah korban "trauma" yang tak mendapatkan obatnya. Sajak-sajak yang ditulisnya merupakan usaha tanpa henti untuk melakukan "penyembuhan luka batin" akibat terlampau tenggelam dalam "candu-ingatan" yang kadung menjelma "kegilaan melankolik" dan paranoia amat parah.

Dalam "Todesfuge", dendam dan amarah tersebut menjelma kehendak untuk membuka sisi barbar sebuah politik dan kekuasaan yang telah menjadi "mesin kepatuhan" dan "pelayan" kesemena-menaan Hitler sang diktator yang oleh Celan disebut sebagai "Sang Maut" yang tak lain adalah "Maestro dari Jerman": "Susu hitam dinihari kami reguk saat senja, kami reguk siang dan pagi, kami reguk malam, kami reguk dan reguk, kami gali kuburan di udara, di sana orang berbaring tak berdesakan. Seseorang lelaki tinggal di rumah, ia bermain dengan ular, ia menulis, ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete, ia menulisnya dan berjalan keluar, dan bintang berkerlip ia bersuit memanggil herdernya, ia bersuit memanggil Yahudinya, dan menyuruhnya menggali kuburan di tanah, ia perintah kami ayo mainkan irama dansa".

**

Sementara itu, dari sisi biografis, kehidupan Celan merupakan ikhtiar pelarian tanpa henti yang bila meminjam frasenya Berthold Damshauser, sebagai seorang "yatim piatu abadi". Ia selalu merasa diri sebagai orang asing yang tak punya negara. Mirip nasib yang juga dialami oleh penyair Jerman lainnya, Heinrich Heine.

Celan adalah seseorang yang terpenjara dalam spiral ingatan akan masa silam yang memabukkan. Usahanya untuk menghilangkan trauma dengan menulis sajak justru semakin menguatkan ingatan akan peristiwa dan pengalamannya di masa silam.

Celan, yang bila kita kembali mengafirmasi jalan pikirnya Derrida, adalah kasus ekstrem sebuah korban dari trauma dan kekerasan yang jatuh dalam kekerasan lainnya, penghancuran diri, dan penghapusan diri. Dengan bunuh diri, Celan melakukan "holocaust" terhadap dirinya sendiri. Karena ia percaya, hanya kematian dan pelenyapan diri yang akan mengakhiri penderitaan batin dan kegilaannya akibat candu-ingatan.***

* Sulaiman Djaya, Penggiat Kubah Budaya Serang dan Forum Mahasiswa Ciputat.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

No comments: