Saturday, December 05, 2009

[Sosok] Anis Djatisunda, Jati Diri Sunda "Buhun"

-- A Handoko dan FX Puniman

Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah. Ka kamari pulang anting, isukan purug anjangan. Ulah poho, tempa-tempo ka pageto. (Ke depan berjalan setapak, ke belakang mundur selangkah. Ke kemarin pulang-pergi, ke besok harus sering jenguk. Jangan lupa, lihat-lihat esok lusa).

Anis Djohanis (KOMPAS/A HANDOKO)

Filosofi hidup urang Sunda itu dipegang teguh Anis Djohanis, budayawan dan seniman yang lebih dikenal sebagai Anis Djatisunda. Umur tak membuatnya mundur. Bahkan dia makin getol mendalami tradisi Sunda, terutama yang berkaitan dengan Sunda lama atau Sunda buhun.

”Kalau berjalan maju setapak, kita ternyata harus mundur satu langkah untuk melihat hari kemarin. Itulah falsafah hidup yang sesungguhnya,” tutur Anis yang ditemui di rumahnya, di sebuah gang sempit belakang Masjid Agung, Kota Sukabumi, Jawa Barat.

”Hari kemarin itu harus kita lihat, agar kita tahu harus bertindak apa untuk hari ini. Namun, hari esok harus sudah kita pikirkan, juga untuk esok lusa,” ujar Anis menjelaskan alasan memilih orientasi tradisi Sunda buhun.

Anis memilih berorientasi kepada Sunda buhun karena sejarah masa lalu sangat penting untuk merumuskan rencana hidup hari ini, termasuk dalam soal tradisi.

”Orientasinya boleh masa lalu, tetapi implementasinya harus searus dengan zaman sekarang. Kalau tradisi itu orientasinya masa lalu, kemudian implementasinya seperti masa lalu, pasti akan dimusuhi banyak orang,” ujar Anis, penulis lepas untuk sejumlah majalah berbahasa Sunda ini.

Darah seni Anis sudah terlihat sejak masa sekolah menengah atas. Ketika itu, sekitar tahun 1960, Anis sudah menguasai seni musik calung, karawitan sunda, kesenian reog, pewayangan, dan menulis cerita pendek berbahasa Sunda. Waktu itu dia juga telah mampu menciptakan lagu-lagu Sunda dengan menggunakan tangga nada diatonis.

Mandiri

Apresiasinya terhadap kesenian Sunda makin besar ketika ia diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Sukabumi tahun 1965. Selama periode 1968 hingga tahun 1988, Anis menjadi orang penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi dalam meraih dan mempertahankan supremasi kebudayaan di Jawa Barat.

Apa yang membuat Anis menjadi orang yang sebegitu penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi kala itu?

”Wali Kota Pak Saleh Wiradikarta, dilanjutkan Wali Kota Soejoed, memberi keleluasaan kepada saya untuk menggunakan Gedung Juang ’45 sebagai pusat pengembangan seni. Saya tidak diberi uang sama sekali oleh pemerintah daerah. Jadi saat itu saya bersama para seniman diminta mandiri dalam mengelola seni tradisi Sunda. Namun, justru karena tantangan itulah, seni tradisi dan budaya Sunda ketika itu maju pesat,” kata Anis yang waktu itu dipercaya menjadi Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia Cabang Kota Sukabumi.

Oleh Anis dan sesama seniman, Gedung Juang ’45 dijadikan pusat pertunjukan kesenian Sunda; segala sesuatu yang berbau kesenian Sunda boleh dipentaskan di gedung yang berada di seberang Lapangan Merdeka itu. Bahkan, gedung tersebut juga menjadi sanggar lukis.

”Ketika tidak dipakai untuk pentas atau latihan, gedung itu kami sewakan. Dari situlah kami membiayai pengembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi, sehingga Kota Sukabumi meraih penghargaan sebagai Pelestari Budaya Daerah Jawa Barat dari Menteri Penerangan Harmoko (ketika itu),” ujar pendiri Padepokan Seni Kota Sukabumi itu.

Anis mengimplementasilkan orientasi Sunda buhun dengan menyelenggarakan teater rakyat yang didahului dengan riset selama dua tahun. Anis kemudian menemukan jenis kesenian tradisional Sunda buhun yang sudah tak pernah dipentaskan lagi, yaitu kesenian uyeg. Kesenian uyeg asalnya merupakan teater rakyat Sunda yang dipentaskan dalam upacara seren taun ketika zaman Kerajaan Padjadjaran.

Upacara seren taun yang digelar setiap delapan tahun sekali itu dilakukan untuk menghormati Sang Hyang Sri (dewi kesuburan padi dan tanaman-tanaman) serta Sang Hyang Kuwera (dewa kesuburan tanah dan peternakan).

”Dulu, teater itu dilakukan semalam suntuk. Setelah saya sesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu, menjadi dua jam saja meski tanpa mengurangi makna pertunjukan,” kata Anis.

Prihatin

Di tengah nostalgianya terhadap gebyar kesenian Sunda di Kota Sukabumi pada era 1968-1988, Anis kini justru gundah dan prihatin.

”Sekarang sudah tidak tersisa lagi, sulit menghidupkan kembali kesenian Sunda di tengah kondisi seperti ini,” katanya.

Menurut Anis, orientasi generasi muda sekarang sudah berbeda dengan masa itu. Kini generasi muda dinilainya lebih mementingkan materi dibandingkan melestarikan tradisi.

”Sulit mencari generasi muda yang mau peduli dengan seni tradisi Sunda. Di sisi lain kesenian modern, seperti dangdut, lebih memikat karena artis-artinya mudah mencari uang. Jadi banyak orang yang tertarik (kepada dangdut),” kata Anis.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Anis tetap menyediakan diri untuk melestarikan tradisi Sunda. Walaupun ia tidak bisa lagi berharap banyak un-tuk menghidupkan kembali seni Sunda di Kota Sukabumi. Bahkan, di kota ini pun ha-nya sedikit orang yang tahu siapa Anis Djatisunda dan sebesar apa kiprahnya pada masa lalu.

”Sekarang saya ibaratnya barang rongsokan,” ujar Anis bergurau.

Sampai sekarang Anis banyak menghabiskan waktu untuk membagi ilmu yang dikuasainya sebagai pembicara dalam seminar di komunitas-komunitas penggiat tradisi Sunda. Ia juga suka berdiskusi dengan para seniman Sunda. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang hendak bertukar pikiran soal tradisi Sunda dengan pria ini.

Anis juga ikut serta memberi ide bagi lahirnya Kampung Budaya Sindangbarang di kaki Gunung Salak, Kabupaten Bogor, yang digagas seniman Bogor, Mikami Sumawijaya, tiga tahun yang lalu. (FX Puniman, Wartawan di Bogor)

ANIS DJOHANIS

• Lahir: Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi, 7 Mei 1939 • Pendidikan : - Sekolah Rakyat III, Kebon Jati, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Pertama Tamansiswa, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Atas Persatuan Guru Republik Indonesia, Kota Sukabumi • Istri: Yuyun Yunasah (59) • Anak: - Isma Sundamaya (42) - Wanda Sundahudaya (40) - Wilang Sundakalangan (34) • Cucu: lima orang • Pekerjaan: Pegawai negeri sipil bidang kebudayaan (1965-1999) • Aktivitas: - Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Hanjuang, bergerak dalam bidang seni, budaya daerah dan pariwisata - Penulis lepas majalah Sunda - Sekretaris/Koordinator Pelatih Organisasi Senam Pernapasan Mahatama Indonesia Cabang Tanjungsari Sukabumi - Mitra Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia • Karya: Kehidupan Masyarakat Kanekes (atau Baduy), diterbitkan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung: 1986

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Desember 2009

No comments: