-- Sunny Tanuwidjaja
Data Buku
• Judul buku: Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi
• Penulis: Kuskridho Ambardi
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia
• Cetakan: I, 2009
• Tebal: 403 halaman
• ISBN: 978-979-91-0203-4
TIDAK banyak buku tentang perpolitikan Indonesia yang wajib dibaca. Namun, buku ini salah satu pengecualian. Buku ini berani mengambil topik yang tergolong sulit dibedah secara akademis, yaitu pergulatan aktor-aktor partai politik dalam kaitannya dengan pembagian rente.
Mengapa sulit? Faktor utama tentu tidak lain adalah minimnya data atau informasi terkait dengan topik tersebut. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa uang merupakan salah satu variabel penting, jika bukan yang paling penting, dalam dinamika perpolitikan Indonesia tidak banyak informasi beredar yang secara jelas dan akurat menggambarkan perputaran uang dalam politik Indonesia. Wajar saja, para aktor politik tentu tidak mau informasi dan data ini beredar secara terbuka karena potensi implikasi legal atau hukum yang ditimbulkannya.
Buku ini menggambarkan sistem kepartaian Indonesia sebagai suatu kartel. Konsep kartel digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik, dalam hal ini partai-partai politik, yang bekerja sama sebagai satu entitas untuk menjaga kepentingan bersama. Keberadaan kartel terutama ditandai oleh minimnya tautan elektoral antara perilaku partai politik dalam pemilu dan perilakunya dalam pemerintahan dan parlemen.
Lebih konkretnya, hasil pemilu tidak memiliki implikasi signifikan terhadap perilaku partai politik setelah pemilu. Dalam arena pemerintahan dan parlemen, partai tidak lagi bertindak sesuai dengan ideologi dan program yang ia canangkan dalam masa pemilu. Dalam situasi semacam ini, partai-partai politik cenderung dapat berkoalisi dengan partai lain yang memiliki ideologi dan program yang 180 derajat berbeda. Yang muncul adalah koalisi yang sifatnya oversize atau, dalam istilah penulis buku ini, koalisi torah. Pada akhirnya, koalisi semacam ini meniadakan oposisi. Terbukti, pascapemilu, para elite politik akan berbagi posisi, baik di dalam kabinet maupun di dalam komisi-komisi di parlemen, untuk menjamin terdistribusinya akses terhadap dana negara bagi semua. Konstruksi politik inilah yang dilihat penulis buku ini paling tepat menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia sejak awal masa reformasi tahun 1999 sampai sekarang.
Diskoneksitas konsep
Alasan utama munculnya kartel politik di Indonesia tidak lain adalah kepentingan partai-partai politik untuk mengakses sumber dana negara. Ada dua macam dana negara. Pertama adalah dana budgeter legal yang memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk partai-partai politik. Kedua adalah dana ilegal yang merupakan campuran antara dana budgeter dan nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening departemen, rekening menteri, dan rekening direktur badan usaha milik negara (BUMN). Sumber ini dikatakan ilegal karena tidak dialokasikan untuk pendaan partai-partai politik. Kondisi politik Indonesia kondusif untuk pembentukan kartel karena besarnya dana negara yang tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan substansi maupun implementasi dari peraturan terkait dengan keuangan partai politik. Dalam buku ini, kartel dibutuhkan oleh para elite politik untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap praktik penggunaan dana-dana ilegal oleh elite politik yang lain (hal 34).
Di satu sisi, berbagai kelebihan terkandung dalam buku ini. Penyajian suatu konstruksi politik, misalnya, tampak aktual dan cukup tepat untuk menggambarkan kecenderungan sifat para elite politik yang kooperatif, terutama dalam masa-masa pascapemilu. Bukti empiris, seperti kasus Departemen Kelautan dan Perikanan, kasus Buloggate I dan II, dan kasus Bank Bali, juga disajikan secara mendetail. Selain itu, yang juga patut diapresiasi adalah penyajian logika argumen yang sistematis, pendefinisian konsep yang konkret, adanya justifikasi pilihan atau penggunaan metodologi penelitian yang jelas, dan penjelasan tentang kelemahan-kelemahan dalam literatur ilmu politik serta bagaimana buku ini berkontribusi pada bangunan literatur yang sudah ada.
Namun, di sisi lain terdapat pula berbagai kelemahan dalam buku ini. Kritik utama terletak pada kelemahan dari sisi argumentasi tentang penjelasan munculnya kartel. Logika argumen yang diajukan dalam buku ini adalah sebagai berikut. Kartel dibutuhkan untuk menghindari adanya penyingkapan praktik penggunaan dana-dana ilegal oleh elite politik. Dengan membagikan akses dana negara secara proporsional, kartel dapat menjaga kekompakan para elite politik. Bukti dari argumen ini dipaparkan dalam Bab VI melalui penyajian kasus-kasus Departemen Kelautan dan Perikanan, kasus Buloggate I dan II, serta kasus Bank Bali, di mana dalam kasus-kasus tersebut terlihat jelas bagaimana para elite politik bernegosiasi guna menghindari penyingkapan penggunaan dana-dana ilegal untuk mencegah guncangan politik yang terlalu besar. Sementara itu, dalam Bab IV, penulis buku ini menggunakan kasus pembuatan UU Sisdiknas, UU BUMN, UU Tenaga Kerja, dan UU Otonomi Daerah untuk menunjukkan minimnya tautan elektoral partai dan tidak jelasnya garis program dan ideologi partai-partai politik yang menjadi karakteristik sebuah kartel
Patut dipertanyakan, apa hubungan di antara kedua rangkaian kasus-kasus itu? Tidaklah jelas dan tampak sangat minim penjelasannya mengapa anggota kartel perlu mengorbankan ideologi atau posisi programnya dalam pembuatan UU yang kaitannya dengan pembagian rente. Padahal, bisa saja kartel dibentuk untuk mencegah penyingkapan penggunaan dana ilegal. Namun, partai-partai politik dapat dengan bebas dan leluasa mendorong warna ideologi dan programnya masing-masing dalam proses-proses legislasi yang ada. Singkatnya, masih ada diskoneksi antara pendefinisian atau operasionalisasi konsep kartel dan penjelasan munculnya kartel yang disajikan dalam buku ini.
Penjelasan alternatif untuk munculnya kartel dalam politik Indonesia yang tidak sekontroversial yang ditawarkan oleh buku ini adalah konvergensi kepentingan di antara berbagai elite politik. Di satu sisi, pemenang pemilu memiliki kepentingan untuk menjaga agar pemerintah dapat berjalan relatif stabil dan efisien. Di sisi lain, akses terhadap sumber daya keuangan juga penting bagi aktor politik yang kalah dalam pemilu. Sistem semipresidensial Indonesia yang dikombinasikan dengan sistem multipartai mengharuskan pemenang pemilu merangkul partai-partai politik untuk mendorong parlemen yang akomodatif terhadap pemerintah sehingga pembagian kursi di kabinet maupun di komisi pun cenderung mengakomodasi realitas politik ini. Dengan pembagian kursi kabinet dan kursi komisi, aktor pemenang pemilu berharap mendapat dukungan di parlemen untuk menjaga agar pemerintah relatif stabil dan efisien, sementara aktor politik yang kalah dapat memperoleh bagian terhadap akses dana negara maupun kue kekuasaan.
Kekinian kartel
Pertanyaan selanjutnya yang muncul tentu saja mengapa dibutuhkan kartel yang cenderung menciptakan koalisi yang oversize? Padahal, secara logis, koalisi mayoritas minimal atau koalisi yang menguasai kursi parlemen sedikit di atas 50 persenlah yang dibutuhkan untuk memuluskan menjaga parlemen agar tetap akomodatif. Di sinilah keunikan koalisi di Indonesia. Dalam perspektif komparasi, koalisi di Indonesia relatif tidak stabil, yang artinya adalah tidak ada kepastian yang jelas apakah koalisi yang terbentuk bisa bertahan dan dijamin soliditasnya. Artinya, untuk menjamin kontrol mayoritas di parlemen, dibutuhkan koalisi yang cenderung oversize.
Penjelasan munculnya kartel yang diajukan dalam buku ini secara logis lemah. Jika memang betul sumber atau motivasi utama terbentuknya kartel adalah karena kekhawatiran munculnya whistleblower, terutama dari pihak yang terpinggirkan atau yang tidak mendapatkan bagian, sudah barang tentu setiap anggota kartel mempunyai peran yang sama pentingnya. Implikasinya adalah pembagian akses terhadap sumber pendanaan secara proporsional, seperti yang terpaparkan pada halaman 289, menjadi tidak masuk akal. Seharusnya, partai-partai kecil atau menengah memperoleh bagian yang secara rata-rata di atas proporsi peroleh suara atau kursinya dalam pemilu dan yang sebaliknya dengan partai-partai besar. Namun, pembagian akses atau posisi secara proporsionallah yang cenderung terjadi di Indonesia.
Terlepas dari segala kelemahan yang ada, substansi buku ini menjadi salah satu buku yang wajib dibaca oleh siapa pun yang ingin memperoleh perspektif yang baru dari konstruksi politik Indonesia. Demikian pula bagi siapa pun yang tertarik untuk memperoleh pelajaran terkait dengan metode yang baik dan efektif untuk mempelajari topik yang sensitif dan tertutup, tetapi sangat penting dan aktual.
Sebagai catatan penutup, menarik untuk melihat bagaimana kartel politik yang digambarkan dalam buku ini bekerja dalam kasus Bank Century yang sedang menjadi narasi utama dalam panggung politik Indonesia. Jika betul kartel politik masih bekerja secara efektif, hampir dapat dipastikan proses penggunaan hak angket di DPR akan cenderung hati-hati, bahkan setengah hati, untuk menghindari munculnya riak politik yang besar yang dapat mengguncang kartel politik yang ada.
* Sunny Tanuwidjaja, Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Desember 2009
No comments:
Post a Comment