DI usia 78 tahun Gerson Gubertus Poyk masih tetap menjalankan aktifitas rutin sebagai penulis yang digeluti lebih 55 tahun yang lalu. Di samping itu membaca buku terutama tentang teologi dan filsafat serta berkebun yang lokasinya sekitar 3 kilometer dari kediamannya Gang H Miun No.21 A, Cikumpa, Sukmajaya, Jl Raden Saleh, Depok, Jawa Barat. Dengan mengenjot sepeda, Gerson menuju kebun di tepi danau Cilodong, Depok. Gerson bekerja layaknya sebagai petani, yaitu mencangkul, menanam jagung, singkong, sayuran, membersihkan rumput dan sebagainya. Hasil tanaman itu dimasak dan sebagian dijual.
Ketika berkunjung ke rumahnya, beberapa waktu lalu, Gerson baru selesai menanak nasi. "Lauknya nanti dibeli saja di warung, di rumah masih ada sisa lauk kemarin," papar ayah dan kakek dari 8 cucu dan ayah dari 5 anak (Fanny, Frederik, Ateng, Ester dan Agnes) Gerson tinggal bersama anaknya Ateng usia sekitar 40 tahun yang menderita penyakit skisofrenia (pribadi pecah) dan masih ketergantungan obat.
Di samping ia menjaga cucunya Sisilana Diah Mariastuti Poyk (kelas 3 SMP), anak tunggal Edi yang beberapa tahun lalu kematian istrinya dan kini pindah di tempat lain tak jauh dari kebun.
Sejak tahun 70-an, Gerson hidup tanpa pendamping. Diakui Gerson ia gagal dalam berumah tangga yang diawali tahun 1958 dengan gadis Agustina Antoneta Saba (mantan penginjil) kini tidak tahu ke mana rimbanya karena menderita penyakit lupa ingatan.
Mereka pisah sejak tahun 1970. Beberapa tahun kemudian Gerson sempat berumah tangga dengan Anna Masie yang memberinya seorang putri (Agnes), namun biduk rumahtangga mereka hanya bertahan beberapa tahun, setelah itu bubar.
Bagi aktor terbaik (1956), hari-hari dalam kesepian itu justru memacunya untuk terus menulis. Ada konflik batin yang berkecamuk di dadanya di mana ia diakui sebagai sastrawan, namun ironisnya di sisi lain hidupnya sengsara. Di balik penderitaan batin itu sangat memperkaya imajinasinya.
Karya Gerson tak terhitung jumlahnya, berupa cerpen, novel, esai, atau artikel lainnya yang masih dipublikasi di beberapa media cetak. Ada karya tulisnya dijadikan skripsi dan tesis untuk gelar sarjana (S-1, S-2 dan S-3) di Indonesia dan di luar negeri Jerman dan Australia. Karyanya diterjemahkan beberapa bahasa yaitu Inggeris, Jerman, Belanda, Jepang dan Turki.
Novelnya antara lain Sang Guru, Cumbuan Sabana, Meredam Dendam, Tarian Ombak dan Sabana, Nyoman Sulastri, Aku dan Surabaya, Requiem untuk Seorang Perempuan, Sang Sutradra dan Wartawati Burung, Cintaku yang Tulus, dan Enu Molas di Lembah Lingko. Umumnya novel yang ditulis itu pernah dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar atau majalah.
Novel itu hanya beberapa diterbitkan antara lain oleh Yayasan Trimedia yang dirikannya. Namun kini novelnya hanya tertumpuk di kotak-kotak plastik karena tidak ada dana untuk diterbitkan.
Untuk berbincang-bincang penulis diajak ke ruang kerjanya di belakang samping rumah induk. Ruang kerja sangat sederhana, ada sofa panjang yang sudah usang, meja untuk menulis dan meja panjang tempat meletakan kotak plastik untuk menyimpan tulisannya, lemari susun plastik.
Di atas lemari itu terpajang tropi bergilir Adinegoro dari PWI Jaya. Gerson pernah dua kali menerima hadiah jurnalistik terbaik Adinegoro, pertama tahun 1985 (Menyusuri Jalan Daendels dan Sekitarnya), dan kedua tahun 1986 (Catatan Perjalanan Gerson Poyk Dari Padang Sabana Timor dan Sumba). Kedua artrikel ini dimuat di majalah Sarinah.
Ia pernah kehilangan komputer yang dicuri tetangga dekatnya, juga laptop milik cucunya. Waktu itu ia lagi pergi dan di rumah hanya tinggal anaknya Ateng yang tergantungan obat. Menurut Gerson, ada orang yang datang memberikan uang Rp.1000,- kepada Ateng. Lalu ia mengambil komputer dan laptop. Setelah kedua barang itu dibawa, pencurinya minta uang Rp.1.000,- yang diberikan tadi.
Meskipun tak ada alat mengetik, tidak melunturkan semangat Gerson untuk menulis yang biasa dilakukan malam hari. Ia menulis dengan tangan dan setelah itu menyewa komputer di rental komputer.
Diakui Gerson, sekarang ini novelnya terpengaruh pada novel Thomas More yang berbicara tentang sebuah masyarakat yang makmur jaya. Ia juga menulis tentang pengalamannya sejak masa kecil di desa kelahirannya Namodale-Baba, Pulau Rote, NTT 16 Juni 1931, berkelana sebagai guru dan wartawan, ketika tinggal di Surabaya, Bali dan Jakarta.
Gerson lebih senang menulis cerpen atau novel tentang humanisme dan sosial, dan budaya lokal, namun tidak senang menulis yang bernuansa cinta romantis. "Kalau humanisme itu sebagai tangga untuk menuju Tuhan," papar mantan wartawan Sinar Harapan (1963- 1970).
Alumni SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen di Surabaya (1953-1956) itu pernah berprofesi sebagai guru SMP/SGA di Ternate (Maluku) dan Bima, Sumbawa (NTB) 1956 1963, kemudian memilih jalan sebagai penulis lepas di berbagai media cetak.
Nama Gerson cukup dikenal. Ada beberapa dokter yang ia datangi mengenal nama Gerson. Suatu hari ketika ia berobat, ada dokter yang mengucapkan: "Puji Tuhan bisa bertemu Gerson". Ujung-ujungnya Gerson tak usah bayar. Namun setelah itu ia enggan balik ke sana.
Sebagai pengarang yang profesional, Gerson pernah menerima penghargaan dalam dan luar negeri, antara lain dari majalah Horison, Sastra, South East Asia (SEA) Write Award, 1989. dan Livetime Achievement Award, 1998.
Prinsip Gerson menulis sastra jangan hanya terlibat pada keindahan, juga harus terlibat pada kewajiban moral, kehidupan tiap individu. Untuk itulah ia juga menulis tentang berbagai masalah sosial, transmigrasi dan pertanian seperti tentang Tapos yang dimuat di Suara Karya.
Menurut informasi karyanya itu dibaca mantan Presiden Soeharto.Awalnya ia tidak percaya, tetapi setelah mendengar langsung dari orang dekat mantan orang nomor satu itu bahwa tulisannya itu dikliping dan diserahkan kepada Soeharto untuk dibaca, Gerson baru percaya. (Susianna)
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 Desember 2009
No comments:
Post a Comment