-- Sutan Iwan Soekri Munaf
AMAT menarik membaca tulisan Damhuri Muhammad yang diberi tajuk Sastra Islami dan Ketajaman Lidah Pena (Republika, Minggu, 26 Juni 2005). Cerpenis dan pengamat sastra ini terpesona melihat limpah ruahnya karya sastra terutama cerpen dengan label Islam pada akhir-akhir ini di negeri ini. Bersaman dengan keterpesonaannya itu, agaknya Damhuri juga mempertanyakan dengan kekhawatiran: Apakah sastra islami itu sungguh-sungguh eksis? Sejauh manakah ciri khas Islam dapat terpahami pada fiksi islami?
Apakah label islami yang ditempelkan di sampul buku serta justifikasi quranik dalam setiap karya-karya mereka, sudah cukup memadai untuk menyandang predikat sastra islami? Adakah parameter konstan yang dapat mengukur derajat keislaman karya sastra?
Kekhawatiran ini, apa pasal? Damhuri menyatakan : Kesimpangsiuran pemahaman terhadap sastra islami seperti dipertanyakan di atas, nampaknya masih menjadi problem mendasar yang belum terselesaikan bagi para penulis yang tekun melahirkan fiksi islami. Ini adalah akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih dari sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah.
Apalagi jika cerpenis ini menyimak di luar sastra, yang akhir-akhir ini muncul di layar kaca kita. Banyak sekali sinetron ditayangkan broadcast swasta kita, yang katanya berlabel Islam dengan TV sebagai medium dakwah, namun cenderung menjauh dari dakwah. Pasalnya, banyak sekali pemirsa yang menonton tayangan itu dicekoki dengan dunia hantu, kemusrikan dan ada upaya sekadar menakut-nakuti pemirsa.
Kendati begitu, saya tercenung selepas membaca kesimpulan cerpenis ini, yang menyatakan kesimpangsiuran ini akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah. Apakah salah, jika sastra sebagai medium dakwah?
Pada hakikatnya sastrawan dan karyanya mempunyai tujuan berkomunikasi dengan pembacanya. Sesuai pendapat Harold D Lasswell, yang kemudian dijadikan salah satu teori komunikasi, bahwa saat manusia berkomunikasi selalu: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect. Maka sastrawan yang memiliki gagasan berupa karya itu, yang ingin disampaikan kepada pembacannya, tentu akan memilih medium sastra. Pasalnya, sang sastrawan sudah memperkirakan dampak dari gagasannya yang dikomunikaikan kepada pembacanya lewat medium sastra itu.
Sudah banyak karya sastrawan yang berdampak terhadap pembacanya, sehingga bangsanya berubah. Biar bagaimana pun, Chairil Anwar bukan sekadar mencatat peristiwa menjelang kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan di negeri ini. Sajak-sajaknya ikut menggerakkan dan memberi inspirasi anak bangsa negeri ini pada masa itu, bahkan hingga masa sesudahnya.
Berangkat dari kenyataan itu, bagi saya, sastra memang merupakan salah satu medium untuk menyampaikan gagasan dan perasaan, saat berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja, sastra bukan satu-satunya medium berkomunikasi!
Sejalan dengan itu, apakah salah, jika ada sastrawan yang ingin menyampaikan gagasan dan perasaannya tentang Islam dalam medium yang dikenal sebagai sastra? Bukankah karya sastra itu harus mencerahkan dan memberikan sesuatu yang berarti bagi pembacanya? Dan hal ini merupakan tanggungjawab sastrawan
Seorang sastrawan yang berkediaman di Bandung, Juniarso Ridwan mengetengahkan tangungjawab ini dengan mengutip pendapat Jean Paul Sartre. Tanggungjawab seniman, seperti halnya pengarang, senantiasa memperhatikan keberadaan dirinya dalam lingkup berbagai peristiwa aktual di seluruh pelosok bumi ini. Pengarang, selaku seniman, tidak bisa mengurung dirinya di dalam ruangan terkunci menara gading, seolah tak peduli dengan alam sekitarnya.
Disebutkan lebih jauh, bahwa perlu adanya tanggungjawab pengarang terhadap kondisi lingkungan, terlebih-lebih terhadap dirinya sendiri. Tanggungjawab ini diperlihatkan dengan sikap pengarang yang dengan tegas memilih pihak di dalam setiap peristiwa. Sikap untuk memilih ini dilakukan dengan penuh kesadaran, tidak untuk mencari keuntungan atau untuk mencari kesempatan berpetualang.
Berdasarkan naluri asasi manusia; yang berpijak pada cahaya kebebasan. Pihak mana yang dipilih, tidak penting dilihat, sebab dengan itu berarti sudah terpenuhinya tanggungjawab pengarang terhadap lingkungannya, baik ruang dan waktu, maupun terhadap dirinya sendiri.
Jadi, wajar seorang sastrawan (beragama Islam) dalam rasa tanggungjawabnya untuk menyampaikan pencerahan Islam dalam medium sastra. Apalagi bila menyimak sejarah, kehadiran Islam yang disampaikan Muhammad atas perintah Allah, justru pada kurun berjayanya sastra, terutama syair atau puisi di tanah Arab. Dan merupakan hak Allah untuk menyampaikan pesan-pesanNya dalam medium sastra (puisi). Mungkin salah satu tujuan Sang Khalik agar pesanNya cepat sampai pada orang-orang yang memahami dan menggandrungi sastra di kawasan itu.
Simak saja ayat-ayat Allah yang mencakup kaidah-kaidah sastra, baik dari segi estetik dan artistik maupun pesanNya maha amat puitik. Hal ini menunjukkan Islam dan sastra seperti ikan dan air, seyogianya di mana Islam berkembang, maka sastra pun berkibar pula.
Dalam sebuah esei di internet, Aguk Irawan, yang seorang penyair, cerpenis dan novelis yang berkediaman di Kairo, mengutip pendapat Najib Kaelani, sastrawan tersohor Arab, berkebangsaan Mesir. Najib berpendapat dalam pengantar bukunya yang sangat memukau Madhal Ila Adab Al-Islami (Pengantar Sastra Islam), bahwa kehadiran sastra Islami tidak sedikitpun menodai kekuatan estetik dan nilai artistik. Justru menguatkan apa yang orang sebut dengan sastra, karena subtansi Islam dan sastra berjalan seiring, yaitu tertumpuh pada dua unsur, yaitu keindahan dan pesan moral.
Lebih lanjut, kata Najib, sastra Islami bersumber pada konsep Islam terhadap kehidupan. Dan luasnya konsep ini melampaui kapasitas imajinasi yang terkandung dalam sastra, mulai dari konsep kebendaan, alam dan metafisika, serta hubungan sosio-kultur antar ummat manusia. Karenanya membawa benderah dakwa Islam, menurutnya adalah membawa misi kemanusian yang juga sebagai ujung tombak dari sastra itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran sastra Islami adalah mencoba membumisasikan Islam KRGatau nilai IslamKRG tidak melalui pintu formalitas. melainkan jalur yang bisa menembus segala ruang dan waktu, yang dibungkus dengan label sastra.
Mungkin yang jadi masalah, sebagaimana kekhawatiran Damhuri, bahwa penulis yang memperkuda sastra dalam penyampaian pesan tanpa mengusung nilai-nilai estetik dan artistik, sehingga sulit melahirkan karya yang berkekuatan pesan.
Namun, sejalan dengan itu, pembaca makin hari makin meningkatkan kemauannya membaca karya sastra yang berkekuatan pesan dan tidak meninggalkan nilai artistik. Pada saatnya, pembaca akan meninggalkan penulis yang memperkuda sastra sebagai medium dakwah. tanpa mengindahkan kaidah sastra. Karena, pada hakikatnya, pembaca bukanlah sasaran tembak yang diam, namun manusia yang penuh keunikan dan selalu berkembang.
Berangkat dari kenyataan ini, saya merasa bersyukur dengan limpah ruahnya kaya-karya sastra (terutama cerpen) yang diterbitkan sejumlah penerbit, baik berupa majalah maupun buku sebagaimana diutarakan Damhuri Muhammad. Sudah menjadi tanggungjawab sastrawan unuk meningkatkan kualitasnya, sehingga menghasilkan karya sastra yang mengusung pesan dakwah namun amat mengindahkan keartistikan dan estetik. Bila tidak, sastrawan kehilangan pembacanya!
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 19 Desember 2009
No comments:
Post a Comment