Sunday, December 13, 2009

Mengajar Sastra tidak Mudah

PADA dasarnya, guru bahasa dan sastra Indonesia mengenal dengan baik puisi "Senja di Pelabuhan Kecil" karya penyair Chairil Anwar, yang ditulis pada 1946. Apa sebab? Karena puisi tersebut sering dicatat penulis buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk tingkat SMA. Namun demikian, bila ditanya lebih jauh, apakah Anda tahu puisi tersebut terdapat dalam buku puisi yang mana, khususnya bagi para guru yang mengajar di daerah, maka jawabnya adalah tidak tahu. Sebab buku-buku teks semacam itu sulit didapat, baik di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah.

Dengan demikian, pelajaran sastra Indonesia, sebagaimana dikatakan Neneng Sri, seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di Kuningan, lebih mengarah kepada pelajaran sejarah sastra. Seperti kapan Chairil Anwar lahir dan meninggal, serta buku apa saja yang ditulisnya. Selain itu, pengetahuan guru tentang apa dan bagaimana puisi, juga sangat kurang. Kurangnya pengetahuan guru tentang puisi juga disebabkan buku-buku khusus tentang apa dan bagaimana puisi ditulis juga sangat jarang terbit. Tidak semudah mendapatkan buku tentang apa dan bagaimana menulis cerita pendek, yang antara lain ditulis oleh Jakob Sumardjo, Panuti Sudjiman, dan sejumlah teoritikus lainnya.

"Berkaitan dengan langkanya buku tentang apa dan bagaimana menulis puisi, perlu diselenggarakan lokakarya penulisan puisi, yang pada satu sisi akan memudahkan para guru untuk memahami puisi dan mendalami puisi dalam pelajaran sastra Indonesia," ujar Neneng Sri, dalam acara diskusi sastra yang digelar Fakultas Ilmu Keguruan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Kuningan (Uniku) beberapa waktu lalu, dengan pembicara antara lain penyair Acep Zamzam Noor.

Berkaitan dengan tidak adanya buku semacam itu, tidak aneh kalau banyak guru bahasa dan sastra Indonesia tidak tahu lebih lanjut tentang puisi yang ditulis oleh Chairil Awar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Rendra, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono.

Berkaitan itu pula, jangan harap guru bahasa dan sastra Indonesia bisa mengetahui dengan mendalam karya-karya puisi yang ditulis Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag., Yudhistira A.N.M. Massardi, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, hingga generasi kemudian seperti yang ditulis oleh Ahda Imran, yang juga bukunya sulit didapat di daerah karena memang peredarannya terbatas. Alasan klasik adalah, sebagaimana dikatakan para penerbit, buku puisi merupakan projek rugi. Jika pun masuk ke dalam projek pengadaan buku, potongannya sangat besar.

**

PENGETAHUAN guru tentang puisi dan mendalaminya secara sungguh-sungguh, menjadi penting dilakukan. Karena selain soal gaya bahasa, metafora, dan majas, yang kelak diajarkan dari puisi adalah nilai yang dikandung di dalam puisi itu sendiri. "Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia memang harus kreatif ketika buku-buku itu sulit didapat, meski pengajaran sastra bukan hanya puisi," ujar Kikin Kuswandi, guru bahasa dan sastra Indonesia di Banjar, Jawa Barat.

Yang dimaksud dengan daya kreativitas dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam konteks yang demikian itu, antara lain dalam mengatasi sulitnya mendapatkan buku-buku teks sastra sebagai sumber rujukan, seorang guru pelajaran bahasa dan sastra Indoensia memang harus aktif dengan cara antara lain mencari bahan-bahan sendiri, entah lewat internet ataupun koran. Kalau perlu ramai-ramai datang ke dinas pendidikan setempat untuk minta buku, atau minta diselenggarakan pelatihan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang diselenggarakan dengan cara kerja sama, entah dengan majalah sastra Horison, Pusat Bahasa, maupun dengan Balai Bahasa, dan lembaga lainnya.

Tadi disebutkan bahwa pengetahuan guru bahasa dan sastra Indonesia tentang apa dan bagaimana puisi itu sangat kurang. Hal itu disebabkan banyak hal. Pertama guru memang tidak suka sastra, kedua karena guru yang mengajar bukan dari bidangnya, dan ketiga karena mahasiswa tidak aktif dalam kegiatan sastra. Berkaitan dengan itu, lagi-lagi, sebagaimana dikatakan penyair Nita Widiati Efsa, pengajaran sastra harus menyenangkan. Apa sebab? Karena ia tidak hanya mengajak siswa ke pengetahuan bahasa itu sendiri, tetapi juga ke makna-makna yang dikandungnya.

Sebagai contoh kita baca petikan puisi di bawah ini, yang ditulis almarhum Rendra, dalam pola ucap naratif: …/ Tetapi ini/ Seonggok jagung di kamar/ dan seorang pemuda tamat SLA/ Tak ada uang tak bisa menjadi mahasiswa/ Hanya ada seonggok jagung di kamarnya// Ia memandang jagung itu/ dan ia melihat dirinya terlunta-lunta/..//

Inti dari petikan puisi "Sajak Seonggok Jagung," tidak hanya bicara soal kemiskinan itu sendiri pada satu sisi, tetapi pada sisi lainnya bicara juga soal gagalnya pendidikan, yang menyebabkan macetnya daya kreativitas di dalam diri seseorang – karena keberhasilan selalu diandaikan dengan lulus dari perguruan tinggi. Padahal pada kenyataannya di dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang lulus dari perguruan tinggi tidak bisa mendapat pekerjaan, dan malah jadi parasit bagi lingkungan hidupnya. Inilah yang dikritik Rendra. Lebih jauhnya, puisi yang ditulis oleh Rendra itu hendak berbicara bahwa seorang pemuda dengan seoonggok jagung di kamar itu sesungguhnya bisa hidup jika ia kreatif, yakni dengan cara mengolah jagung itu sendiri. Jagung dalam puisi tersebut adalah serupa simbol, atau metafora, atau apa pun, yang bisa diolah, yang bisa dijadikan bahan sebagai sumber penghidupan.

Dalam konteks yang demikian sebagaimana dikatakan Sapardi Djoko Damono dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di Bandung, guru bahasa dan sastra Indonesia dalam mengajarkan puisi di kelas, bukan hanya mengetahui apa dan bagaimana bentuk-bentuk pengucapan puisi itu sendiri, tetapi juga harus luas pengetahuan dalam menafsirnya. "Puisi tidak hanya bersangkutan dengan realitas sosial, tetapi juga dengan persoalan-persoalan religius, dan hal-hal yang bersifat psikologis," ujar penyair Sapardi yang juga dikenal sebagai akademisi sastra Indonesia modern.

Jika dalam menafsir puisi berhadapan dengan pengetahuan semacam itu, tentu saja dalam pelajaran sastra lainnya, dalam hal ini pelajaran cerita pendek, novel, dan drama, pastilah berhadapan dengan soal yang sama pula. Apalagi dalam pelajaran drama, ada yang namanya bedah karakter, selain bedah plot. Pengetahuan guru tentang psikologi tentu dituntut banyak.

Pertanyaannya, jika menyangkut soal drama yang sekarang lebih sering disebut teater itu, adakah sekolah-sekolah bisa menyediakan teks (naskah) drama secara utuh, seperti yang ditulis oleh Arifin C. Noer, Rendra, Putu Wijaya, N. Riantiarno, dan lainnya? Jawabnya sama, seperti dikatakan Lilis Ramawati, guru di Tasikmalaya, tidak mudah didapat. "Padahal perguruan tinggi teater sekarang ada di Bandung, Yogyakarta, dan beberapa kota lainnya," ucapnya.

Lepas dari semua itu, dalam konteks ini saya melihat, model lokakarya penyelenggaraan acara sastra yang digelar majalah sastra Horison bekerja sama dengan Ford Foundation dan dinas-dinas terkait, perlu diteruskan oleh pemerintah dengan penyelenggaraan yang merata ke seluruh sekolah, atau ke seluruh kabupaten dengan sasaran para gurunya.

"Kita kalah dengan Malaysia. Mereka serius dalam mengajarkan bahasa dan sastra mereka. Karya-karya sastra penting yang ditulis oleh para sastrawan Indonesia dipelajari mereka. Di kita, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia itu seperti main-main saja," ujar penyair Taufiq Ismail dalam suatu kesempatan di Jakarta.

Ini memang suatu masalah yang perlu dipecahkan penyelenggara pendidikan pada 2010. Itu pun kalau Menteri Pendidikan peduli dengan semua itu. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Desember 2009 ]

No comments: