TELEPON berkali-kali berdering, SMS berdatangan. Pertanyaannya satu: Benarkah Gus Dur meninggal dunia?
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena saya harus menjawab ”ya”. Dan, mereka semua menangis.
Mereka adalah orang-orang biasa dengan latar agama yang berbeda. Mereka tak pernah mengenal Gus Dur secara pribadi, tetapi merasa dekat dengan tokoh ini.
Bagi mereka, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas, Gus Dur pejuang Islam moderat, Gus Dur pembela demokrasi … dan masih banyak lagi.
Bagi saya, Gus Dur adalah tokoh besar yang sangat membumi. Perkenalan kami dimulai tahun 1992 ketika Gus Dur masih menjabat Ketua Tanfidziyah PB Nahdlatul Ulama di bawah rezim Soeharto. Secara intens kami sering berdiskusi di kamar kerjanya yang kecil dan bersahaja di Kantor PBNU di Kramat Raya.
Di antara buku-buku, kertas, tumpukan kaset dan CD musik klasik yang memenuhi meja kerjanya, Gus Dur kerap ”menyembunyikan” makanan lorju’ (kacang bercampur ikan kecil). Ia senang mengobrol sambil mengudap.
”Jangan bilang-bilang ya, nanti Mbak Nur (Shinta Nuriyah, sang istri) marah, saya kan disuruh diet. Tapi, ini makanan enak,” katanya sambil terkekeh.
Sudah sejak lama Gus Dur mengidap diabetes sehingga sebetulnya ia dilarang untuk makan seenaknya. Tapi, Gus Dur memang susah dilarang. Lagi pula, siapa di lingkungan PBNU yang berani melarangnya? ”Yang berani cuma Mbak Nur,” katanya.
Topik diskusi yang sering kami singgung—kadang bersama tamu-tamu lain—antara lain tentang masa depan Nahdlatul Ulama. Sejak belasan tahun lalu Gus Dur sudah memproyeksikan bahwa akan ada tiga corak di tubuh NU.
Yaitu corak kiai fikih yang dirangsang pikiran modern (Gus Dur saat itu mencontohkan Kiai Ishomudin), corak LSM (ia mencontohkan Masdar Mas’udi), dan corak gado-gado, yaitu masyarakat biasa maupun politisi yang memiliki pengabdian di NU.
Dialog dari ketiga corak inilah, kata Gus Dur, yang akan menentukan wajah transformatif NU di masa depan.
Perkembangan Islam di Indonesia, toleransi terhadap agama lain, perlindungan terhadap kaum minoritas, dan demokrasi juga merupakan topik yang bisa membuatnya semangat berbicara sampai berjam-jam.
Mengenai wajah Islam Indonesia, misalnya, Gus Dur kala itu mendukung pandangan almarhum Nurcholish Madjid. ”Tolong Cak Nur dibela ya. Kasihan, saat ini dia sedang mendapat banyak tentangan,” pesannya kala itu.
Setiap hari, warga NU dari berbagai daerah setia menunggu di ruang tunggu Kantor PBNU (yang masih belum direnovasi) untuk bertemu dengannya. Mereka datang untuk meminta petunjuk tentang persoalan di daerah dan Gus Dur melayani mereka satu per satu.
Gus Dur tak pernah membedakan kelas sosial. Warga NU yang menikah atau meninggal dunia akan dicoba untuk disambanginya. Meskipun ia harus masuk ke gang-gang kecil atau berkendaraan berjam-jam.
Saya masih ingat ketika ayahanda meninggal dunia tahun 1999, Gus Dur datang melayat dan ikut menshalati. Ia pun beberapa kali menelepon untuk menghibur dan memberi penguatan. ”Saya mengerti bagaimana kesedihan Anda. Saya juga sangat kehilangan ketika ibu dulu pergi,” kata Gus Dur tentang almarhumah ibunda, Ny Hj Solichah Wahid Hasyim.
Bahkan, Gus Dur masih menyempatkan menjenguk ketika saya terbaring di rumah sakit. Sungguh sebuah bentuk perhatian yang mengharukan dari tokoh bersahaja ini.
Indra keenam
Banyak yang meyakini Gus Dur memiliki indra keenam. Terlepas dari benar atau tidaknya, tetapi suatu siang pada tahun 1998 Gus Dur menelepon. Kali ini cukup lama, sekitar satu jam. Ia menceritakan tentang berbagai hal, termasuk mimpinya. Singkatnya, mimpi itu memberikan isyarat yang nyata bagi Gus Dur.
”Mbak, saya akan menjadi presiden,” katanya tenang.
Saya tidak menanggapi dengan serius, tetapi saya mencatat obrolan itu. Sekitar setahun kemudian, Gus Dur benar-benar menjadi presiden.
Ketika saya menemuinya di Istana Negara, Gus Dur hanya tertawa terkekeh ketika diingatkan akan mimpinya tersebut.
Wajah Istana Negara pada masa kepemimpinan Gus Dur berubah total, tidak lagi angker dan formal. Wartawan maupun masyarakat bisa memiliki akses yang leluasa. Hubungan pun lebih cair dan penuh guyon.
Pertemuan saya terakhir adalah pada hari ulang tahunnya bulan Agustus 2009. Tercekat rasanya melihat Gus Dur dibaringkan di ruang tamu. Gus Dur berusaha menyambut setiap tamu dengan mengangkat tangan dan menganggukkan kepala. Meskipun suaranya sudah lirih, Gus Dur tetap semangat bercerita tentang Indonesia.
Dari karangan bunga dan banyaknya tamu yang datang hari itu, jelas bahwa tokoh besar ini sangat disayang masyarakat. Seorang sahabat bahkan sampai menitikkan air mata ketika mendoakan kesehatan Gus Dur. ”Saya mendoakan dia berumur panjang. Karena dialah pembela kaum minoritas,” katanya.
Tuhan memiliki rencana sendiri. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tokoh besar ini meninggal dunia, Rabu (30/12), di tengah keluarga yang mencintainya. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seorang demokrat yang gigih memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.
Selamat jalan Gus, semoga kami bisa meneladani dan meneruskan semua perjuanganmu....
(Myrna Ratna)
Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment