-- Dahono Fitrianto
SEPULUH tahun sudah lewat sejak Timor Timur berpisah dari Indonesia. Selama itu pula, ribuan pengungsi dari bekas provinsi termuda di NKRI tersebut tinggal menetap di provinsi tetangga, yakni Nusa Tenggara Timur.
Reka ulang suasana eksodus para pengungsi dari Timor Timur menuju wilayah NKRI pascakemerdekaan Timor Timur pada 1999 menjadi bagian dari pengambilan gambar film Tanah Air Beta di Desa Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, hari Selasa (8/12). (KOMPAS/DAHONO FITRIANTO)
Status mereka memang sudah bukan pengungsi. Seperti diungkapkan oleh mantan Wakil Bupati Belu Gregorius Maubili, saat ini tidak ada lagi yang namanya pengungsi eks Timor Timur. Yang ada adalah warga baru Kabupaten Belu, kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). ”Data terakhir warga baru Belu eks pengungsi Timtim ada 18.400 KK, atau sekitar 55.000 jiwa,” ungkap Gregorius kepada Kompas.
Secara legal mereka memang sudah bukan lagi pengungsi. Mereka memiliki kartu tanda penduduk resmi, bukti pengakuan sah sebagai warga negara Indonesia.
Namun, mereka tetaplah pengungsi, dalam arti orang- orang yang terpaksa tercerabut dari kampung halaman dan akar kehidupan sebelumnya demi untuk menyelamatkan nyawa. Sepuluh tahun silam, mereka terpaksa meninggalkan rumah, tanah leluhur, segala harta benda, dan tak jarang bahkan keluarga terdekatnya, setelah terjadi chaos pascajajak pendapat tahun 1999.
Hingga kini, tidak sedikit di antara mereka yang terpisah dari keluarga besar dan tak tahu kapan bisa berkumpul lagi. Suasana Natal, yang biasanya menjadi momen untuk berkumpul dalam kegembiraan bersama seluruh keluarga, kembali dijalani dengan sepi oleh para pengungsi, yang mayoritas beragama Katolik, ini.
Joseph Porques (35), salah satu pengungsi di kompleks penampungan pengungsi SP-1 di Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terpisah dengan kedua orangtuanya sejak ia mengungsi dari Dili, Timtim, September 1999. ”Sampai sekarang, orangtua saya dan orangtua istri masih tinggal di Dili,” tutur Joseph, yang mengungsi karena sebagai anggota milisi pro-integrasi, waktu itu nyawanya terancam.
Sejak saat itu, baru empat kali ia bertemu dengan orangtuanya, yang datang berkunjung ke NTT. Tidak jarang orangtuanya harus menempuh perjalanan melalui jalan-jalan tikus di perbatasan untuk menghindari pemeriksaan imigrasi yang memakan biaya.
Joseph sendiri belum pernah sekalipun gantian menengok orangtuanya karena biaya perjalanan dan ongkos keimigrasian mahal. ”Untuk bikin paspor saja Rp 500.000, masih ditambah visa Rp 300.000 per orang. Sementara hidup di sini masih susah,” ujarnya di Ponu, NTT, Senin (7/12).
Kalah
Ermenegildo Pereira (32), pengungsi lain di SP-1, mengaku sudah 10 tahun ini tidak pernah lagi merayakan Natal secara meriah bersama keluarga besar. Sejak mengungsi bulan Desember 1999, ia dan keluarganya terpisah dari keluarga besar di Ermera, yang kini masuk wilayah RDTL. ”Kakek-nenek dan keluarga lain masih tinggal di Ermera. Kami berhubungan melalui surat saja karena kalau harus ke sana mahal,” ungkap Ermenegildo, yang waktu itu terpaksa mengungsi karena ayahnya seorang anggota TNI.
Tahun 2002, kakek dan neneknya mengunjungi keluarga Pereira di NTT. Pulang dari mengunjungi anak cucunya di pengungsian, nenek Ermenegildo meninggal dunia.
Ada juga pengungsi yang tidak sampai tercerai-berai dengan keluarganya karena waktu itu mengungsi bersama-sama dengan penduduk satu desa. Seperti para pengungsi di kompleks penampungan Salore di Desa Tulakadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. ”Seluruh pengungsi di sini berasal dari satu suku dan satu desa, yakni Suku Balibo dari Desa Fatuklaran, Balibo, Timtim. Kami mengungsi karena ikut raja,” ungkap Carlos Dasilva (50), salah satu sesepuh warga pengungsi di Salore, Minggu, (6/12).
Raja yang dimaksud adalah kepala Kerajaan (keluarga besar) Tavatu di Balibo, yang kini dipegang oleh Arnaldo Dasilva Tavares (40). Arnaldo, yang akrab dipanggil Siku—singkatan dari Sikuliurai (liurai dalam bahasa Tetun adalah sebutan untuk penguasa), adalah putra pertama dari mendiang Panglima Pro-Integrasi Joao Dasilva Tavares. ”Begitu kami kalah dalam jajak pendapat, ayah waktu itu memimpin seluruh kerajaan untuk mengungsi ke sini,” tutur Siku, yang sekarang menjadi anggota DPRD Kabupaten Belu dari Partai Demokrat itu.
Meski demikian, beban hidup mereka tidak lebih ringan dari para pengungsi di SP-1. Mereka tetap kehilangan tanah garapan, hewan ternak, dan segala sumber mata pencarian lain yang mereka tinggal di Balibo. ”Tahun 2008 sempat terpikirkan untuk membawa mereka pulang ke Balibo. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, hidup di sana juga susah karena sekarang serba mahal, uangnya pakai dollar Amerika. Lagi pula, kami ini orang Indonesia,” kata Siku.
Dalam segala keterbatasan dan keprihatinan itu, para pengungsi ini tetap memilih menjadi warga negara Indonesia. Mereka mencoba bertahan hidup dengan kepala tegak meski setelah sepuluh tahun, nasib mereka hampir dilupakan oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air mereka. ”Saya sudah telanjur cinta Indonesia,” ucap Ermenegildo lirih.
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment