Sunday, December 13, 2009

Wicaksono Adi: "Terjadi Perluasan Kehadiran Teks"

SECARA umum, bagaimana Anda melihat perkembangan sastra Indonesia tahun 2009, baik dari segi kekaryaan maupun pemikiran? Adakah yang membedakan perkembangannya dengan tahun sebelumnya?

Sebagian orang memang cenderung melihat perkembangan sastra dengan ukuran "kebaruan" yang mengacu pada kemunculan karya-karya fenomenal sebagai suatu "penemuan besar" yang dapat mengubah lanskap sastra secara radikal. Perkembangan sastra dibayangkan terbentuk oleh serangkaian penemuan seperti yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan dan sains. Di situ orang menunggu munculnya karya-karya besar seperti menanti sosok para Messiah yang dapat memberikan pencerahan sejarah. Tentu, jika dilihat dari sudut pandang tersebut, orang dapat mengatakan bahwa tak ada perkembangan selama satu tahun terakhir. Sastra kita berjalan sebagai kegiatan rutin dan datar-datar saja. Buku-buku puisi dan novel tetap terbit. Cerpen dan puisi terpampang di surat kabar-surat kabar edisi Minggu sebagai pelengkap berita heboh soal-soal politik dan gosip ini itu. Memang di sana-sini muncul beberapa penulis baru di antara penulis lama yang tetap aktif menulis. Bahkan dapat dikatakan bahwa kini semua orang seolah-olah dapat menulis. Anak-anak sekolah, ibu-ibu rumah tangga, selebritis, praktisi hukum, karyawan biasa, bahkan TKW, dapat menerbitkan buku-buku sastra. Gairah menulis terus mengalir deras. Akan tetapi, tetap saja "penemuan besar" itu tak kunjung muncul.

Barangkali kita harus melihat perkembangan sastra dari sisi lain, yakni dalam konteks tindak komunikasi literer berupa tulisan. Bagaimana pun para penulis yang kian banyak jumlahnya itu adalah produsen tulisan dan si pembaca adalah konsumennya. Azas supply-demand-lah yang menggerakkan. Sastra menjadi kegiatan ekonomi biasa. Dalam konteks kegiatan situasi pasar semacam itu akan semakin banyak orang yang menulis, tetapi kian jarang yang dapat menulis sastra. Maksudnya, tulisan-tulisan mereka itu tak ubahnya hanya catatan biasa yang dicetak dalam bentuk buku dan disebarluaskan sebagai dagangan. Maka, tak akan banyak yang benar-benar serius bergumul dengan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh bahasa. Bahkan mereka rata-rata tak menguasai bahasa. Keterampilan berbahasa mereka rata-rata lemah. Itu juga terjadi pada penulis yang berpengalaman sekalipun.

Gejala itu saya anggap sebagai bentuk "pelecehan" bahasa. Dalam satu tahun terakhir ini gejala tersebut kian merajalela. Akan tetapi, tentu ada beberapa karya yang tidak terseret oleh ingar-bingar "pelecehan" tersebut. Dalam karya-karya jenis ini saya melihat gejala yang menarik, yakni, terjadinya pergeseran atau perluasan dari apa yang ingin saya sebut sebagai "bobot kehadiran" teks.

Dulu lazimnya orang menulis cerita karena memang memiliki sebuah "kisah" yang hendak dibagi kepada orang lain. Cerpen cenderung bertumpu pada alur cerita dan kekuatan karakterisasi serta hubungan dari berbagai elemen yang mendukungnya. Akan tetapi kini mulai muncul cerpen-cerpen yang tak memiliki cerita. Bobot kehadiran bergeser ke bentuk-bentuk deskripsi, rincian suasana, atau liku-liku gambaran visual dan situasi dari peristiwa-peristiwa. Kita tidak disodori oleh cerita yang jelas melainkan justru diajak untuk menelusuri liku-liku dan bentuk deskripsi, monolog interior, atau gambaran dan kilasan peristiwa-peristiwa.

Bagaimana juga dengan kritik sastra?

Selama 2009, saya tak menemukan tulisan yang layak disebut sebagai kritik sastra. Yang banyak adalah ulasan ringkas di surat kabar tertentu mengenai suatu karya dan tulisan-tulisan pengantar pada buku puisi, novel, atau kumpulan cerpen. Tulisan-tulisan tersebut tak jauh berbeda dengan yang terbit pada masa-masa sebelumnya. Barangkali lantaran tidak ada karya yang benar-benar menggugah maka tak muncul tulisan kritik yang menggugah pula. Jadi, pada 2009 ini dapat dikatakan tak ada perkembangan baru dalam kritik sastra kita.

Tahun 2009, Facebook pun jadi ruang baru untuk melakukan mediasi karya. Apa pendapat Anda?

Media cyber atau dunia maya memang dapat menjadi wahana penyebaran sastra secara lebih bebas dan mandiri. Akan tetapi, karya-karya penting di Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lainnya, tak lahir dari dunia maya. Para penyair, novelis, dan kritikus penting di sana tetap muncul dari majalah, jurnal, atau surat kabar-surat kabar yang menyediakan rubrik sastra, juga melalui media penerbitan buku. Saya yakin hal itu juga berlaku dalam sastra kita.

Jika harus memprediksi perkembangan sastra 2010, ke arah manakah Anda melihat kecenderungannya?

Dalam hal prosa saya menduga gejala pergeseran "bobot kehadiran" seperti yang saya sebutkan tadi akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Pada satu pihak mungkin akan semakin banyak muncul karya yang berani mencoba mengembangkan dimensi-dimensi lain tanpa harus menegasi sepenuhnya alur cerita dan keutuhan karakterisasi. Di dalamnya termasuk kekuatan deksripsi terhadap peristiwa tanpa dibebani oleh berbagai tendensi moral yang berlebihan.

Di lain pihak gejala "pelecehan" terhadap bahasa barangkali akan kian menjadi-jadi. Akan tetapi di situlah terletak paradoksnya. Sastra menjadi ruang pergumulan antara kekacauan dan eksperimentasi dengan daya-daya yang melekat padanya berupa keniscayaan untuk menata suatu dunia yang terkontrol dan dibayangkan utuh. Sementara itu, eksperimentasi membawa pada perluasan "bobot kehadiran" dan kekacauan membawa pada kesembronoan yang kelewatan dalam mengolah bahasa. Sastra bergumul pada garis tegangan antara kejelasan dan ketidak jelasan. Dalam tahun 2009 ini yang tampak kuat adalah ketidakjelasan. Barangkali ini bukan hanya terjadi pada sastra, tetapi juga pada berbagai sektor kehidupan yang lain. (Ahda Imran

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Desember 2009 ]

No comments: