-- Afrizal Malna
Teater terjadi karena pertemuan, kata mereka.
Beberapa seniman teater dari Semarang, Magelang, Solo, dan Yogyakarta melakukan sebuah pertemuan kecil di Kampung Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, 29 November lalu. Acara diselenggarakan Bengkel Mime Teater dengan tema: anak muda dari kota-kota.
Salah satu penampilan Boedi S Otong. (DOK AFRIZAL MALNA)
Teater telah diambil oleh Facebook, kira-kira ada nada dasar seperti ini dalam pertemuan mereka. Atau bisa juga dibaca terbalik: bagaimana teater bisa memiliki jejaring seperti ”gurita Facebook”? Tidak ada kata-kata yang bisa menggetarkan pertemuan itu. Semangat berteater seperti berada dalam ban bocor yang sudah tidak bisa ditambal lagi. Akhirnya muncul pertanyaan yang hampir tidak terdengar: kita berteater kalau kita memang masih memiliki harapan dengan teater.
Apakah teater sudah mati? Suara seperti ini sudah cukup banyak terdengar. Kalau sudah mati, apa yang harus dilakukan? Sekitar tahun 2006, saya sempat membicarakan hal ini dengan BOT (begitu Boedi S Otong menyebut dirinya kini, sutradara Teater Sae yang telah vakum atau membubarkan diri sejak awal tahun 1990-an). ”Ini kenyataan global,” katanya. Bagian dari krisis kepemimpinan di tingkat global. Krisis aktor: manusia seperti kehilangan sesuatu yang mendasar dari keberadaannya. Lapangan kerja dan pendidikan menjadi segala-galanya.
Teater menjadi angkuh, melebihi kenyataan kita sendiri. Rumit, mahal, dan terisolasi dalam gedung-gedung pertunjukan. Boedi sekarang memang telah meninggalkan teater sama sekali. Dia masuk ke performance art. Berada dekat dalam pergaulan Boris Nielsony dari Black Market, sebuah jaringan performance art di Berlin. Dalam jaringan ini (berbeda dengan Marina Abramovic yang telah menjadi kanon besar dalam performance art) berkumpul banyak seniman yang merasa telah kehilangan dirinya berada dalam kanon-kanon besar kesenian: mereka yang telah meninggalkan teater, tari, musik, seni rupa, atau sastra. Dalam jaringan performance art ini, mereka merasa lebih bisa berhadapan dengan diri sendiri dibandingkan dengan kanon-kanon seni yang menjauhkannya.
Bagi Boedi, jaringan performance art itu sudah seperti komunitas baru untuk cara memandang manusia yang lebih sederhana. Sebuah percobaan yang dilakukan pada diri sendiri lewat pertemuan-pertemuan antarpribadi dan bukan antarprofesi. Kalau begitu, apakah perkembangan teater telah membunuh dirinya sendiri sehingga manusia harus dicari kembali di luar teater? Apa yang bisa kita lihat? Bagaimana pandangan seperti Suyatna Anirun, misalnya, yang pernah meyakini bahwa berteater untuk menemukan manusia, berhadapan dengan kenyataan seperti ini?
Pertama, darah teater telah diambil oleh performance art; kedua, telah diambil oleh Buttoh; ketiga, telah diambil oleh media digital (dan tubuh, terutama sekali telah dirampas oleh TV). Tari juga mengalami hal serupa dengan teater. Kedua jenis pertunjukan ini seperti ”mayat bingung” berhadapan dengan industri global masa kini. Pembacaan seperti juga bisa dibalik untuk membuat teater seakan-akan bisa hidup kembali, yaitu dengan mengambil kembali semua hal yang telah merampas darah teater itu: Buttoh, performance art, media digital, bahkan koreografi. Semuanya diambil kembali sebagai materi teater. Mereka mengambil semua hal yang bisa mereka ambil untuk membuat pertunjukan mereka menjadi semacam ”hiburan visual” sehingga pertunjukan mereka kian mendekati seni akrobat yang kekurangan modal. Apakah kematian itu bisa diubah dengan strategi seperti ini?
Kenyataan seperti di atas sebenarnya bisa kita curigai melanda hampir semua seni yang sudah menjadi kanon besar. Untuk menemukan karya seni yang kita sukai, misalnya, kini kita seperti harus jadi pemulung di tengah timbunan ”sampah seni”. Teknologi penggandaan melanda sedemikian rupa, masuk ke dalam jantung-jantung penciptaan karya seni dan sastra sehingga kesenian pun masuk ke dalam bagian fenomena sampah global ini. Kekuasaan pasar menghasilkan pragmatisme nilai yang mengacaukan pembacaan kualitas dengan kuantitas. Art fair dan biennale, misalnya, kini kian tidak ada bedanya. Banyak festival berlangsung hanya sebagai setoran pertunjukan dari grup satu ke grup lainnya, baik teater maupun tari.
Krisis kepemimpinan dan kemanusiaan yang disebut Boedi S Otong di atas kita alami langsung di Indonesia lewat fenomena budaya korupsi dan premanisasi yang terus berlangsung hingga kini. Krisis nasionalisme lewat utang yang berkepanjangan, tidak adanya jaminan atas warga Indonesia yang bekerja di luar, serta kosongnya reputasi internasional. Politik luar negeri yang sama bangkrutnya dengan politik dalam negeri kita.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memang tidak menghasilkan teater, melainkan menghasilkan ”sinetron politik”. Kondisi obyektif waktu itu membutuhkan tokoh-tokoh reformis. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Jatuhnya Abdurrahman Wahid dan kematian Munir merupakan peristiwa metafor politik atas ”pembersihan” tokoh-tokoh reformis ini. Dan, setelah itu kota dibanjiri iklan-iklan media seluler, memasuki konsumerisme sebagai bentuk budaya lisan yang baru.
Sinetron politik itu menghasilkan generasi yang membaca kekuatan selalu berada di luar mereka. Maka, mereka harus keluar untuk menemukan kekuatan itu. Pertanyaan yang muncul dari generasi ini adalah ”bagaimana caranya membuat teater yang baik?” Standardisasi teknik kemudian banyak dilakukan lewat workshop-workshop teater. Menghasilkan generasi yang cenderung bersembunyi dalam teknik. Dan kehilangan cara untuk bisa ”membaca diri sendiri”.
Pada tingkat tertentu teater boleh mengambil apa pun sebagai materi penciptaan, lebih lagi dengan teknologi lighting dan media digital dewasa ini. Tetapi, terus terang: apa dasarnya teater membutuhkan kecanggihan seperti ini? Kecanggihan yang memerlukan investasi besar dan belum tentu negara mau memenuhinya. Strategi seperti ini saya kira merupakan produk dari pembacaan yang konsumeristis atas perubahan yang berlangsung di sekitar kita. Semakin banyak teater mengambil banyak hal dari gaya hidup konsumeristis di sekitar kita, semakin tebal usaha teater untuk menutupi kematiannya.
Kematian teater bisa dibaca sebagai manifestasi dari cara-cara kita menghadapi berbagai hubungan di sekitar kita. Kalau teater dibaca kembali dari sudut pandang seperti ini (membaca ”kematian teater” sebagai ”teater dari kematian”), maka suara teater mungkin lebih berbunyi. Teater tidak dilihat sebagai peristiwa pertunjukan semata. Dia berdiri dekat atas kenyataan yang dihadapinya. Dan bukan memanipulasinya dengan make up kematian.
Teater berawal dari terjadinya pertemuan, seperti yang dinyatakan dalam pertemuan di Kampung Nitiprayan itu, merupakan dasar untuk menyusun kembali kepercayaan bersama. Pertemuan itu bukan lagi gosip antara sutradara dan aktor. Pertemuan itu adalah pembelajaran bersama untuk mengenali kembali tubuh biasa kita, hal-hal kecil yang sebelumnya kita anggap tidak berarti; memerhatikan urat dan otot, bukan untuk memperbesarnya; memerhatikan rambut dan kulit, bukan untuk mengecatnya menjadi berwarna.
Dan: Membuat titik dan koma dari rutin yang kita hadapi untuk membaca dan bertemu dengan kesadaran yang mengherankan. Deleuze dan Guattari: Menciptakan diri sendiri sebagai manusia bebas, tidak bertanggung jawab, menyendiri, gembira mengatakan dan melakukan sesuatu atas namanya sendiri, tidak minta izin kepada siapa pun, hasrat yang tidak membutuhkan apa pun, aliran perubahan yang mengatasi berbagai hambatan dan kode, nama yang tidak lagi menandakan ego apa pun, ia telah melampaui ketakutan menjadi gila.
* Afrizal Malna, Penyair
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Desember 2009
No comments:
Post a Comment