-- Putu Fajar Arcana
EMPAT tahun setelah novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit tahun 2004, dunia film mengangkatnya menjadi semakin populer. Film berjudul sama yang disutradarai Hanung Bramantyo itu setidaknya berhasil menjaring 3,7 juta penonton. Sebuah angka fantastis yang dicapai dalam waktu singkat. Teks sastra sebagai novel mungkin akan ngos-ngosan jika ingin melampaui pencapaian itu!
Sukses AAC, baik sebagai novel maupun film, menjadi pemicu lahirnya film-film yang berangkat dari novel. Bahkan, belakangan pada saat sebuah novel terbit, pada bagian sampulnya sudah diterakan tulisan, ”Segera Difilmkan”. Di luar sukses film Laskar Pelangi yang berangkat dari novel karya Andrea Hirata dan sekarang diteruskan lewat sekuel Sang Pemimpi, menarik dicermati kemunculan novel-novel bernuansa islami. AAC diikuti oleh munculnya novel dan film Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy), kemudian dua seri Ketika Cinta Bertasbih (Habiburrahman El Shirazy), serta segera menyusul Negeri 5 Menara (A Fuadi).
Fenomena ini bisa jadi memang ulangan dari sinergi antara teks sastra dan film sebagaimana pernah terjadi pada dekade 1970-an sampai 1980-an. Kita tentu masih ingat sukses Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar), Karmila (Marga T), kemudian disusul Gita Cinta dari SMA (Eddy D Iskandar), serta beberapa lainnya. Hal yang membedakan ”semangat” dalam novel-novel populer mutakhir dipenuhi oleh keinginan untuk melakukan semacam identifikasi diri sebagai bangsa yang mayoritas warganya memeluk Islam.
Hal menarik lain, sebagian dari novel itu ditulis oleh para pengarang yang memiliki basis pendidikan Islam di pondok-pondok pesantren, tetapi kemudian menjadi mahasiswa dan bekerja di luar negeri. Mereka tadinya adalah orang-orang desa, bahkan tanpa pernah tinggal di Jakarta, langsung menuju pusat-pusat pendidikan Islam seperti Mesir atau kota megapolitan, seperti Washington DC. Fakta sosiologis ini menguatkan hipotesis bahwa dari merekalah kemudian dilahirkan karya-karya bernuansa islami yang menunjukkan keislaman modern. Periode ini muncul ke permukaan seturut dengan menguatnya Islam simbolik di perkotaan, terutama pascareformasi 1998 serta peristiwa 11 September 2001 di Amerika.
Pengajar filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, melihat fenomena ini dalam tiga hal. Pertama, bisa jadi penerbitan serta pembuatan film-film islami itu sebagai rumusan dari kegelisahan khalayak sehingga hal-hal yang tadinya dianggap tabu dibicarakan dalam Islam memperoleh outlet lewat media-media populer.
”Meski belum begitu berani, setidaknya karya-karya ini mengartikulasikan kepentingan orang-orang urban,” kata Bambang. Kedua, adanya problem identitas yang meluncur ke permukaan pascaperistiwa 11 September 2001, di mana Islam diidentifikasi sebagai agama yang dipenuhi kekerasan. Di situ pula seolah-olah terdapat benturan hebat antara Islam dan modernitas. ”Novel-novel ini justru menggambarkan betapa Islam itu tidak bertentangan dengan modernitas, Islam juga bisa diterima oleh orang-orang yang kosmopolit,” ujar Bambang. Ketiga, dalam benturan tradisional dengan modern itulah justru orang-orang kota membutuhkan bentuk-bentuk konfigurasi simbolis untuk menunjukkan bahwa kekotaan itu tidak berarti menghilangkan religiusitas di dalam diri mereka.
Kritik
Kritik Bambang terhadap novel-novel ini, persoalan yang telah demikian hebat dipaparkan, tentu dengan kutipan-kutipan ayat kitab suci, nyatanya hanya berhenti pada sentimentalisme simbolik yang mengelus-elus semata. Problem-problem nyata dari masyarakat urban tidak terogoh (istilah Bambang) secara mendasar. Problem seperti kawin campur yang jelas tak terhindarkan dalam masyarakat urban, misalnya, kata Bambang, nyaris tidak tersentuh. ”Padahal itu kan problem nyata sekali dalam masyarakat global ini,” katanya.
Kritik juga datang dari peneliti sastra Universitas Indonesia, Riris K Sarumpaet. Riris melihat novel-novel itu tak lebih dari konspirasi dunia konsumsi semata-mata. Peneraan label ”Best Seller” pada novel Negeri 5 Menara atau bahkan ”Megabestseller” dalam Ketika Cinta Bertasbih, jelas menunjukkan metode dagang semata-mata. ”Tetapi itulah cara-cara sastra memasuki dunia populer, termasuk memasuki dunia film juga,” ujar Riris. Kencenderungan yang terjadi pada manusia perkotaan, katanya, mudah sekali digiring oleh hal-hal yang menurut mereka berada di luar dirinya serta sedang menjadi tren. ”Orang pada dasarnya belanja gaya hidup, termasuk dalam konteks novel dan film-film islami itu belanja religiusitas,” kata Riris.
Riris tak mengingkari bahwa kemunculan novel-novel ini didorong oleh keinginan dakwah, terutama di kalangan masyarakat kota yang tadinya cenderung sekuler. Berdakwah pada orang- orang kota tentu harus menggunakan bahasa yang mereka kenal dan akrabi sehari-hari. Disitulah media seperti film dan novel memperoleh tempatnya. ”Yang nonton film dan baca novel kan para kelas menengah kota toh?” ujar Riris.
Lepas dari itu semua, rumusan Bambang dan kritik Riris telah memperlihatkan kepada kita bahwa fenomena kemunculan novel-novel bernuansa islami bisa menjadi fakta untuk membaca realitas sosial yang kini sedang terjadi. Selain secara sosiologis ditulis oleh generasi yang menjadi anak zaman (kaum urban), pada bagian-bagian novel sangat jelas ditunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai moderat. Bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan apalagi terorisme. Islam adalah juga sebuah nilai atau ajaran yang toleran terhadap agama lain, termasuk kosmopolitanisme yang dibawa oleh peradaban Barat.
Novel-novel itu menunjukkan wajah Islam yang ramah, tidak kaku, apalagi fundamentalis sebagaimana opini yang selama ini dibentuk oleh media-media Barat. Di luar bahwa kemudian teks sastra diperlakukan sebagai wahana dakwah—dan ini bukan hal baru dalam ranah sastra kita—praktik kerja sastra bagi generasi Habiburrahman, Abidah, A Faudi, serta pengarang islami lainnya adanya kepentingan, apa yang disebut oleh Bambang sebagai reartikulasi Islam modern yang tidak norak. Reartikulasi itu memang pada awalnya cukup mengejutkan kalangan Islam sendiri, tetapi kemudian justru merasa terwakili.
Maka tidaklah heran jika saat pemutaran film AAC atau Perempuan Berkalung Sorban, misalnya, datang berduyun-duyun kelompok ibu-ibu berjilbab yang selama ini berjarak dengan dunia bioskop. Bolehlah ini kita tanggapi tidak sekadar sebagai apresiasi, apalagi sekadar mencari hiburan semata, tetapi lebih pada keinginan untuk turut serta berada dalam barisan pembahasaan keramahtamahan Islam.
Peristiwa 11 September 2001 serta berbagai kasus terorisme di Tanah Air mau tidak mau telah memicu opini yang mencitrakan Islam selalu berlumur kekerasan. Novel dan film-film tadi lalu seolah hadir menjadi ”juru bicara” untuk memperlihatkan sisi-sisi menyejukkan dan humanis, serta nilai-nilai islami yang sama sekali tidak perlu ”berkelahi” dengan urbanisme, yang dibawa oleh peradaban perkotaan.
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment